Monday, April 10, 2006

A TRIBUTE TO WS RENDRA

Judul buku : MENONTON BENGKEL TEATER RENDRA
Editor : Edi Haryono
Penerbit : Kepel Press,2005
Tebal : 1692 halaman [ + kata pengantar xxxix & biodata penulis+indeks nama,judul & istilah]
Harga : Rp 500.000,-


Hadiah yang pantas pada ulang tahun Rendra yang ke 70 beberapa bulan yang lalu adalah dengan terbitnya buku ini.Sebuah buku besar dengan ketebalan lebih dari seribu lima ratus halaman dan berisi berita berita ulasan-ulasan dan artikel-artikel yang cukup bermutu dan kritis terentang dari wartawan, penyair, sutradara, novelis, teolog, pelukis, penari,editor buku, peneliti, dosen-dosen, seorang editor dari Malaysia, berita-berita di koran Jepang dan Korea Selatan.Semua relung –relung kehidupan dan denyut jantung Bengkel Teater Rendra [BTR] tampak dengan transparan, seakan-akan tak ada yang tersembunyi.Tampak bayangan Rendra berdiri seutuhnya disana dan tampaknya cuma pribadi seperti itu yang mampu membangun sebuah sanggar teater sehebat Bengkel Teaternya.
Dapat kita katakan buku ini berisi banyak tanggapan para penulis terkemuka Indonesia yang telah menjadi saksi keteateran dan sikap berkesenian seorang Rendra. Dan kita juga bisa bilang,bahwa tanggapan,respons Rendra terhadap kehidupan sekitarnya. Seperti dikatakan oleh Nietzsche dalam buku The Rebel karya Albert Camus, “tak ada seniman yang dapat menerima kenyataan”, tapi dengan cepat dijawab olehnya,”tak ada seniman yang bisa terus melangkah di luar kenyataan.Pemberontakan dapat dijumpai pada seni dalam keadaannya yang murni dan kompleksitas purbanya”.Sebenarnya dari sinilah dasar pemahaman kita terhadap seni Rendra.

Arti penting kedua terbitnya buku ini adalah seperti ditulis oleh Max Lane pada kata pengantarnya.”Kerja ini sepantasnya mendapat penghargaan tersendiri dari masyarakat, karena usaha ini bisa berarti telah dimulainya suatu perjuangan yang harus diteruskan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan seni budaya Indonesia yang terjadi karena kriminalitas Orde Baru di bidang budaya”. Lebih lanjut dosen University of Sydney Australia itu menulis:” perjuangan kemerdekaan lewat perjuangan aksi massa dulu harus dibarengi dengan perjuangan di bidang budaya dari sastra Tirtoardisoeryo, Mas Marco terus ke Chairil Anwar;sastra menjadi sebuah bagian yang sangat dibutuhkan bagi perjuangan menciptakan sebuah kepribadian dan sebuah khazanah karya yang membantu manusia Indonesai melihat dunia”. Karya-karya Rendra , Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul dan lain-lain sudah seharusnya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah.

Pertama kali Rendra tampil tahun 1968 sepulang dari AS dengan pementasan Mini Kata nya,Bip Boop, sejak itu tampil sebagai salah satu jenis seni modern yang mau ditumbuhkan di Indonesia oleh Rendra. Di sana sudah muncul pro dan kontra: yang memuji dan yang mencelanya. Sri Laksono SE menulis surat pembaca di Kompas yang menduga Rendra dilahirkan terlampau dini di Indonesia atau sepantasnya Rendra menjadi penghuni pasien poliklinik psikiatri. Suara yang sama datang dari dr Waluyo Suryodibroto [ dari bagian gizi FKUI Jakarta].Lain halnya tanggapan DR Fuad Hasan di Kompas Juni 1968.Menurut Fuad Hassan, Rendra ingin mendramatisasikan penghayatan konflik pada manusia di abad modern ini tanpa elaborasi intelektual yang sadar; ia telah berhasil mengonstantir konflik yang khas dalam abad modern ini yaitu individuasi versus massifikasi atau lebih mendesak lagi humanisasi versus dehumanisasi.
Kerja kesenimanan Rendra merupakan suatu “dehuman syndrome”-penurunan derajat atau reduksi manusia oleh modernitasnya sendiri, perusakan kemanusiaan kita oleh teknologi, kekerasan dan kebudayaan nihilisme. Akibat reduksi tersebut realitas hidup manusia menjadi miskin dan tanpa makna. Pengalaman pribadi manusia gampang dinafikan, dinisbikan, disepelekan dan dimanipulasi. Drama Mini Kata masih fasih berbicara untuk zaman kita sekarang setelah dipentaskan 37 tahun yang lalu. Malah terlalu fasih.
Dan sejak itu membentang waktu selama 37 tahun – sampai Juni 2005- dengan mementaskan 23 buah naskah: asing/ adaptasi 14 naskah, naskah sendiri 7 buah dan naskah orang lain 1 buah [ Sobrat karya Arthur S Nalan].
Ia telah berpentas di Sabang, Langsa [Aceh], di hampir semua kota besar di jawa, di Pontianak, Samarinda, di Jepang, Malaysia, Korea Selatan dan di AS [ 1998] dengan membawa drama Selamatan Anak Cucu Sulaiman.Koran New York times memuat komentar D.J.Bruckner pada 24 Juni 1988. namun sayang Rendra tak pernah menginjakkan kaki di kota-kota Indonesia bagian timur: Bali, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua. Terdapat 172 orang yang menulis tentang Rendra dan pementasan-pementasannya yang terkumpul dalam buku ini.

DRAMATURGI RENDRA
Dalam krisis mungkin kita membutuhkan drama. Atau meniru Martin Luther king JR yang berteriak: “ Dalam suatu krisis kita harus punya satu rasa drama” dan ia menggerakkan anak-anak kulit hitam di jalan-jalan Birmingham pada suatu hari minggu yang damai, kota yang pernah membunuh anak-anak hitam yang tak bersalah. Martin Luther King JR tampil laksana seorang aktor besar di pentas dengan gerak tangan yang anggun. Semuanya berkahir memang sebagai sebuah ikhtiar politik; atau memang sebuah kisah panggung. Tapi Rendra bukan bergerak di jalan-jalan tapi benar-benar di atas pentas. Untuk itu dia membutuhkan komunikasi. Banyak orang mengatakan [ periksa antara lain buku Eric Bentley A Century of Hero-worship atau dalam dunia fotografi kita temukan prinsip dari Henri Cartier Bersson yang disebut “the decisive moment”-ketepatan dalam menentukan moment dalam hidup manusia], bahwa Rendra muncul di era yang tepat dan kemudian mampu menjadi juru bicara zamannya. Seniman memerlukan ketegangan tertentu dalam berhubungan dengan masyarakatnya karena ia ingin memperluas cakrawala pengalaman, menciptakan suatu paham utuh dari berbagai gaya dan ide, untuk mencari sesuatu yang baru atau untuk memapankan suatu perbedaan. Tidak heran bila Rendra dan kelompoknya menamakan dirinya sebagai “orang urakan”, yaitu orang-orang yang menolak untuk mengikuti aturan-aturan yang didiktekan oleh lingkungan. Sejak 1970 an dapat dikatakan Rendra menjadi ujung tombak dari suara kritis hati nurani rakyat Indonesia. Katakanlah dramanya yang terkenal Mastodon dan Burung Kondor yang menyindir kediktatoran militer. Lysistrata yang mengritik mental militer. Panembahan Reso yang merupakan esei-esei kekuasaan yang mencekam. Atau Kisah Perjuangan Suku Naga yang merupakan cerita satir terhadap kediktatoran Soeharto dan terhadap sebuah fenomena yang zaman sekarang akan disebut “globalisasi”. Keindahan dan kekuatannya yang anggun, kekenesannya dan kepiawaiannya- yang dijuluk Si Burung Merak itu- memang menusuk ke benak sekaligus emosi [ perhatikan pemilihan naskah-naskah yang seperti ditulis dalam bentuk blank verses karena memahami benar kekuatan dari kalimat-kalimat yang puitik.
Menurut Max Lane ada 4 kondisi atau faktor yang memelejitkan Rendra sejak 1978.1.Mahasiswa terbungkamkan; 2.Ali Sadikin yang independent itu tidak jadi Gubernur lagi; 3.kapitalisme “Big Boss” dan “Mr Joe” dan para kroni berhasil berakar di Indonesia tapi dalam wajah yang negative; rakus dan keserakahan; 4.sektor pikiran sosialis humanis kritis meraih ruang kembali.
Di sanalah kita melihat strategi dramaturgi Rendra.Ia mencoba atau memang menyajikan unsur-unsur responsi politis-filosofi, suatu kritik budaya. Juga mencoba menemukan substansi estetik teater dan merumuskan fungsi terapautik teater bagi masyarakat saat itu. Disana memang kita akan melihat refleksi kompleksitas persaingan nilai-nilai estetik dengan nilai-nilai hegemonic dalam struktur dan kehidupan institusional masyarakat. Kalau kita mengikuti Pierre Bourdieau dalam bukunya The Field of Cultural Production [ Columbia University press 1993] maka dapat disebut bahwa dramaturgi [teater Rendra] merupakan fiksasi dari model perjuangan dengan memakai instrument artistik teater sebagai media pencapaiannya.
Dan strategi dramaturgi seperti itu bukannya tidak menimbulkan kritik menurut sementara orang naskah-naskah drama dan terutama naskah-naskah asing yang diadaptasi terlalu dan selalu diletakkan di bawah kemauan dan keinginan Rendra dan terlalu menggurui yang menyebabkan Pamusuk Eneste tidak suka nonton Teater Rendra [halaman 1037]/ untuk tidak mengatakan ia “memanipulasi” naskah-naskah itu.
Kritik-kritik bersliweran dalam buku yang tebal ini. Secara acak ambil tulisan Goenawan Mohammad di Tempo 25 Desember 1976 yang melontarkan sinyalemen-sinyalemen bahwa Bengkel Teater Rendra kekurangan aktor dan dalam tiga kali pementasan Hamlet praktis Rendra bermain sendiri dan menggelembungkan dirinya [halaman 630] , sampai ke tulisan Putu Fajar Arcana di Kompas 26 Juni 2005 , kritikan terhadap pementasan Sobrat [halaman 1635] yang mensinyalir gagalnya proses regenerasi dalam Bengkel Teater Rendra, yang mengorbankan penonton. Padahal Bengkel Teater Rendra sedang berhadapan dengan publik dalam arti luas, yang terdiri atas komunitas teater, publik awam, pers, cendekiawan dan sponsor. Tapi Rendra menjawab enteng: “ Tak masalah bagi saya pertunjukkan ini dibilang baik atau jelek” di sana terkandung nada suara kecewa, kesal dan lelah. Usia Rendra sudah 70 tahun; apakah ia akan bilang seperti ditulis Stanislavsky dalam bukunya My Life in Art [halaman 458] ketika ia juga berusia 70 tahun: I am not young and my life in art is approaching it’s last. The time is come to sum up the result and to draw up a plan of my last endeavour in art”, yaitu menulis sendiri buku tentang dirinya tentang konsep-konsep artistiknya dalam teater seperti ditulis Stanislavsky dalam My life in Art itu yang akan disambung dengan 8 jilid lagi. Itu yang sebenar-benarnya yang kita tunggu.
Tribute to WS Rendra.

Max Arifin, pengamat teater.
Tinggal di Jl.Bola Volley Blok E 33,
Perum Griya Japan Raya,Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361,
Jawa Timur
telp 0321- 326915
Hp 085 2300 39 807.
email: daxxenos2@yahoo.com

NB:
artikel ini telah dimuat di Jawa Pos, Minggu, 9 April 2006. Ini adalah versi selengkapnya.