Thursday, October 05, 2006

Absurditas Dari Mojokerto (foto)

Wawancara Max Arifin di Jurnal Budaya Surabaya

Apalah Arti Gedung Kesenian yang Megah dan Representatif
“Kota seperti Surabaya, saya kira, memang memerlukan sebuah gedung kesenian yang representatif. Surabaya perlu menampilkan wajah yang berbudaya, bukan wajah sangar seperti sekarang. Namun, apalah arti sebuah gedung kesenian yang megah dan representatif bila kita tidak mampu mengisi dengan kesenian-kesenian yang bermutu.”


Tanggal 18 Agustus lalu, Max Arifin genap berusia 70 tahun. Ulang tahunnya dirayakan kecil-kecilan di rumahnya oleh sejumlah seniman muda, baik dari dalam maupun luar kota (Mojokerto), yang selama ini memang sering mengunjunginya, di Jl.Bola Voli Blok E 33, Perum Griya Japan Raya, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Yang sangat membanggakan, bertepatan dengan hari ulang tahunnya itu, buku terbarunya, “Antonin Artaud, Ledakan dan Bom” (terjemahan dari karya Stephen Barber, Blows and Bombs,) telah diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tentunya ini semakin membuat hari ulang tahun Max Arifin di Bulan Agustus itu semakin spesial.
Pada suatu kesempatan ketika Max Arifin diundang menjadi pembicara dalam forum diskusi yang digelar oleh Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), akhir Agustus lalu, tentang buku terbarunya ini sudah banyak ditanyakan oleh sejumlah seniman Surabaya yang menyapanya. Namun, buku yang bercerita tentang biografi dan konsep teater Antonin Artaud tersebut ketika itu masih belum sampai di Surabaya. Jadilah para seniman yang menanyakannya itu harus gigit jari. Adapun buku itu baru beredar di Surabaya pada bulan berikutnya. Isinya telah dibedah di DKJT pada Selasa, 19 September lalu.
Buku Stephen Barber ini memotret Antonin Artaud sebagai sosok yang unik sekaligus sangat memilukan--sebuah buku yang luas dan otoritatif tentang sejarah hidup dan karya dari orang yang mengubah arus teater modern. Antonin Artaud adalah salah seorang dari legenda-legenda kultural besar abad dua puluh. Theatre of Cruelty-nya mengubah arah arus teater modern dan eksperimen-eksperimennya dengan gerakan Surrealis telah memberi inspirasi yang menembus Eropa dan Amerika.
Di akhir dari sebuah rangkaian perjalanannya yang panjang--baik fisikal maupun spiritual yang ditujukan untuk menciptakan sebuah budaya yang magis dari tubuh manusia--dia ditahan dan dikurung selama sembilan tahun di berbagai asilum di Prancis, di mana dia menderita kelaparan dan menjadi “kelinci percobaan” dari lima puluh kali pengobatan lewat kejutan listrik (electroshock). Digambarkan dalam buku itu, kehidupan Artaud merupakan kegagalan yang mengerikan dan konfrontasi dan eksplorasi yang ekstrim dari luka derita dan kegembiraan.
Sampai hari ini, Max Arifin, kira-kira sedikitnya telah menghasilkan 34 karya buku. Jumlah itu belum termasuk beberapa puisi dan cerpen dari timur tengah yang juga sempat diterjemahkannya. Memang, sebagian besar dari total karyanya itu, 26 di antaranya adalah karya terjemahan, termasuk tujuh karyanya yang belum diterbitkan. Seperti; Suara yang Lain (dari buku The Other Voice, karya Octavio Paz); Surat-surat Negro (The Fire Next Time, karya James Baldwin); Teater Politik (Political Theatre, karya David Goodman); Teater dan Kembarannya (Theatre and it’s Double, karya Antonin Artaud); Masalah-masalah Seni (The Problems of Art, karya Susanne K. Langer); Kapal Orang-orang Bodoh (Ship of Fool, dari karya Christiana Perri Rossi) dan Hidupku dalam Seni (My Life in Art, karya Konstantin Stanislavsky).
Beberapa di antara judul-judul buku yang belum diterbitkan tersebut telah berada di tangan penerbit. Seperti; Masalah-masalah Seni yang sudah berada di penerbit Bentang, Yogyakarta; Hidupku dalam Seni yang telah ditangani oleh penerbit Pustaka Kayutangan, Malang dan Kapal Orang-orang Bodoh yang kini berada di tangan penerbit Biduk, Bandung.
Pada karya yang disebut terakhir, bahkan telah berada di pihak penerbit sejak lima tahun yang lalu. Namun tak pernah ada kabar sampai sekarang. Celakanya Max Arifin tidak menyimpan kopi terjemahannya. Untungnya naskah dari buku aslinya, Ship of Fool, masih tersimpan rapi di rak bukunya.”Ah, sudahlah, saya tak ingin ribut dengan orang soal itu,” katanya ketika disinggung tentang nasib karyanya yang satu ini.
Begitulah, Max Arifin sebenarnya punya seabrek pengalaman yang tidak enak semacam itu. Contoh lain, naskah Surat-surat Negero yang diterjemahkannya dari karya James Baldwin sempat dinyatakan raib ketika dibawa oleh salah seorang redaktur budaya untuk dimuat di koran harian nasional terbitan Surabaya. Pengalaman pahit seperti itu sering terjadi karena Max Arifin selalu ingin membagi isi buku tersebut kepada orang lain. Suatu keinginan yang selalu ada dibenaknya setiap kali dia akan mengawali menerjemahkan buku.
Adapun sampai hari ini Surat-surat Negero tak pernah muncul di koran seperti yang telah dijanjikan oleh redakturnya tersebut. Hingga suatu ketika pernah Max Arifin mengirim pesan singkat (SMS) kepada Jurnal: ”Malam ini, salah satu televisi swasta menayangkan Malcolm X. Namun pikiranku melayang pada Surat Surat Negro.”
Karir Max Arifin sebagai penerjemah buku kira-kira berawal sejak tiga puluh tahun yang lalu. Bermula dari seorang wartawan Kompas bernama Trees Nio yang datang mengunjungi Dirman Toha, sahabat Max Arifin, yang merupakan koresponden Kompas di Mataram. Saat itulah Trees Nio melihat dua naskah novel terjemahan karya Max Arifin, masing-masing Walkabout, karya James Vance Marshall dan The Sound of Waves, karya Yukio Mishima.
Trees Nio langsung tertarik dengan dua naskah itu dan membawanya ke Jakarta. Berturut-turut kemudian masing-masing dijadikan Cerita Bersambung (Cerber) di Kompas (1976 dan 1978). ”Honor dari Kompas waktu itu sebesar delapan puluh rupiah. Sementara gaji sebagai pegawai negeri tujuh puluh lima rupiah,” kenang Max Arifin.
“Kami langsung beli pompa air yang uangnya dikumpulkan dari sebagian honor Kompas itu. Waktu itu kira-kira harganya Rp. 125 ribu,” timpal Siti Hadidjah (70), isteri Max Arifin, yang juga pekerja seni. Sementara, Max Arifin, masih dari sebagian honornya itu, pada 28 Februari 1986, membeli mesin ketik Brother Deluxe 550 TR untuk hadiah ulang tahun isterinya, dengan tak lupa dituliskannya pesan pendek terlebih dahulu: Without Fear and Favor!
Karya-karya naskah/ buku yang pernah ditulis Max Arifin memang kemudian banyak yang dijadikan cerber di sejumlah koran harian yang terbit di negeri ini. Selain dua karya yang telah disebut tadi, masih ada Kecantikan dan Kesedihan (terjemahan dari naskah The Beauty and Sadnes, karya Yasunari Kawabata) yang juga menjadi cerber di Kompas pada tahun 1984.
Selain itu, masih ada lagi; Matinya Demung Sandubaya yang menjadi cerber di harian Suara Nusa (Mataram); Kemelut (naskah terjemahan dari The Blind Owl, karya Sadeq Hedayat) yang menjadi cerber di Surabaya Post; serta Seratus Tahun Kesunyian (naskah terjemahan dari One Hundred Years of Solitude, karya Gabriel Garcia Marques) yang menjadi cerber di Jawa Pos (1997).
Kendati demikian, dengan jumlah karya yang telah dihasilkannya sebanyak itu, Max Arifin tidak mau disebut sebagai sastrawan. “Saya ini orang teater, bukan sastrawan,” ujarnya. Barangkali dia berkata begitu karena kebanyakan karyanya, baik itu yang terjemahan maupun tidak, sebagian besar adalah tentang drama/ teater.
Terlebih, dia juga pernah mendirikan kelompok teater Gugus Depan di Mataram. Bahkan, selama tinggal di Mataram dulu, dia adalah pembina teater di beberapa SMA dan universitas. Pun di tempat kerjanya, Depdikbud Nusa Tenggara Barat (sekarang sudah pensiun, red), dia juga diserahi tugas untuk menangani bidang Kesenian seksi drama (tradisional dan modern).
Kepada Jurnal, Max Arifin bersoloroh, jika ada yang mengira bahwa dirinya adalah seorang sastrawan, itu karena selama berkesenian dia juga suka menulis puisi dan cerpen. Percayalah, Max Arifin akan lebih antusias jika diajak ngobrol soal teater.
*****
Bagaimana perkembangan teater di tanah air, khususnya di Surabaya dan Jawa Timur (Jatim)?
Perkembangan teater di Indonesia timbul tenggelam. Ada masa ketika teater itu sedang marak, atau sedang digandrungi, ada juga masa ketika teater sedang sepi.

Perkembangan teater di Surabaya atau Jatim sekarang ini, termasuk pada masa yang mana?
Seperti yang anda lihat sendiri, sejak beberapa tahun terakhir, banyak festival dan pementasan (teater) di sini (Surabaya, red). Itu artinya teater sedang berkembang pesat di sini. Tapi itu kalau kita bicara soal kuantitas loh ya…

Kebanyakan dari mereka tidak berkualitas, ya, Pak?
Tidak semua kelompok teater yang pernah mentas--sepanjang yang saya saksikan--tidak berkualitas. Ada beberapa yang cukup berkualitas di samping ada yang memang di bawah standar.

Apa kira-kira yang membuat penampilan kelompok-kelompok teater kita banyak yang tidak berkualitas?
Ada banyak faktor. Tapi, sebenarnya, kualitas bisa dicapai bila kelompok-kelompok teater tersebut memahami benar tuntutan-tuntutan atau hukum-hukum yang ada dalam seni teater. Bukan cuma memahami secara teoritik, tetapi mampu mengimplementasi aspek-aspek teoritik tersebut ke dalam praktik, ke dalam realitas pentas yang bersifat visual.
Tuntutan-tuntutan atau hukum-hukum yang ada dalam seni peran (teater) tersebut memang cukup tinggi. Saking tingginya, orang memerlukan membangun sekolah tinggi yang mengajar seni teater dan seni teater merupakan suatu disiplin tersendiri.

Ada kelompok teater yang sejak awal penampilannya tidak berkualitas dan celakanya pada penampilan selanjutnya, hingga sampai pada penampilannya yang kesekian kali atau bahkan sampai sekarang tetap saja tidak berkualitas. Bagaimana caranya meningkatkan kualitas kelompok teater yang seperti ini, atau sudah susahkah untuk memperbaiki kualitas pada kelompok teater yang seperti ini?
Saya tidak mengatakan susah atau tidak susah, karena semuanya juga akan terpulangkan pada manusianya. Sebagaimana seni-seni yang lainnya, seni teater menuntut latihan-latihan yang terus menerus dan studi, di samping--barangkali--sedikit bakat.
Latihan-latihan dibagi dalam dua macam: latihan-latihan persiapan dan latihan-latihan produksi. Mereka yang sudah matang dalam latihan-latihan persiapan baru bisa mengikuti latihan-latihan untuk produksi, untuk pementasan. Ada jenjang-jenjang di setiap macam atau tahap latihan tersebut. seni teater disebut juga sebagai seni vokal dan seni akting. Ada tuntutan-tuntutan yang cukup berat untuk keduanya. Sudah terlalu banyak buku yang mengupas masalah tersebut. Lalu tanpa membaca satu bukupun, apakah bisa dikatakan adanya pementasan yang berkualitas?
Menurut saya, tak ada cara lain untuk meningkatkan kualitas selain dari belajar, studi dan latihan yang terus menerus. Seperti dikatakan oleh Stanislavsky, aktor-aktor harus menjalani latihan-latihan dan disiplin yang ketat, selalu menguji dirinya, standar-standar etika yang tinggi, mengejar selera yang baik di atas dan di luar pentas. Ia menolak aktor-aktor yang bebal, malas, yang suka mejeng, melacurkan hidupnya hanya untuk dikeploki penonton.
Aktor harus memiliki disiplin ketat. Aktor harus selalu menguji dirinya, memiliki standar etika yang tinggi dan mengejar selera, baik di atas pentas maupun di luar pentas.Sutradara-sutradara pun harus memahami sejarah teater--di dunia dan di tanah air--paham-paham, gagasan-gagasan yang ada dalam dunia seni teater dan memahami perbedaan-perbedaannya.
Paham-paham atau gagasan-gagasan ini mungkin saja akan menuntun dia dalam menentukan strategi dramaturgi yang akan dipakai dalam pementasannya. Sutradara dan aktor harus memahami di mana letak keindahan seni teater dan mampu mewujudkan keindahan tersebut dalam realitas pentas.

Menurut anda, apakah workshop-workshop, tentang teater khususnya, yang digelar oleh komunitas atau lembaga atau instansi pemerintah, yang umumnya paling lama cuma berlangsung satu minggu, bisa bermanfaat bagi seorang aktor/ aktris, terlebih dalam kaitannya demi meningkatkan kualitas pertunjukan mereka di atas panggung?
Tergantung pada sistem, metode yang dipakai oleh instruktur workshop itu. Seperti workshop-workshop yang saya perhatikan selama ini, saya tidak begitu yakin akan segera meningkatkan kualitas seni pertunjukan. Walau dia mengundang Rendra atau Putu Wijaya sekalipun. Mereka cuma mempelajari bagaimana sebuah peran itu (akan) dimainkan dan bukan tentang bagaimana hal itu diciptakan secara organik.
Seni sejati harus mengerjakan bagaimana cara membangkitkan dalam diri seorang aktor apa yang disebut “Superconscious Creative Nature” untuk menjadi “The Superconscious Organic Creation”. Saya mengusulkan sistem workshop yang berjenjang dan berkelanjutan: elementer, intermediate dan advance dengan kurikulum yang berjenjang pula. Dengan begitu akan ada seleksi alam di sana. Pada jenjang advance, tahun ketiga, saya yakin akan tinggal beberapa orang saja dan itu adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tekun dan disiplin atau mau maju.

Belakangan ini ramai disoal tentang perlunya gedung kesenian di Surabaya, sampai beberapa waktu yang lalu pernah dijadikan bahan diskusi dalam forum yang digelar oleh Kompas (Jatim). Banyak yang berpendapat, kota sebesar Surabaya sudah saatnya (perlu) punya gedung kesenian yang representatif. Menanggapi tuntutan itu, Wakil Walikota, Arif Affandi, menjanjikan akan membangun gedung tersebut di Kompleks Balai Pemuda pada 2008 nanti, yaitu menunggu kontrak Gedung Mitra 21 di kompleks tersebut habis. Gedung bioskop inilah yang akan direnovasi untuk gedung kesenian. Menurut anda, apakah memang perlu dibangun gedung kesenian (yang representatif) di kota Surabaya?
Kota seperti Surabaya saya kira memang memerlukan sebuah gedung kesenian yang representatife. Surabaya perlu menampilkan wajah yang berbudaya, bukan wajah yang sangar seperti sekarang.

Setelah ada gedung kesenian (yang representatif) itu dibangun, dengan seniman atau kelompok kesenian di kota ini yang kebanyakan kualitasnya masih dibawah standar, lalu selanjutnya apa?
Memang, apalah arti sebuah gedung kesenian yang megah dan representative bila kita tidak mampu mengisi dengan kesenian-kesenian yang bermutu. Oleh sebab itu, di samping akan dibangunnya gedung kesenian itu, grup-grup/ sanggar-sanggar harus meningkatkan mutu dan kualitasnya untuk bisa tampil di sana.

Berarti, tentang siapa saja (seniman/ kelompok kesenian yang seperti apa) yang berhak main di gedung yang representatif itu, harus disaring terlebih dahlu. Hanya seniman atau kelompok kesenian yang sudah terbukti kualitasnya saja yang berhak main di gedung itu, seperti itukah nantinya? Lalu, siapa (orang) yang berhak menyaringnya?
Untuk bisa main di gedung itu memang perlu selektif dalam arti tidak asal-asalan. Ada ukuran atau patokan. Memberikan kesempatan pada kelompok yang (mau) maju agar kreatifitasnya meningkat. Patokan atau ukuran itu dibuat oleh badan pengelola itu sendiri.

Sebaiknya gedung kesenian itu dikelola oleh siapa (misalnya: pemerintah, swasta, seniman, dewan kesenian, atau tak satupun dari mereka)?
Dalam badan pengelola nanti harus ada tiga unsur itu (pemerintah, swasta dan seniman). Badan ini harus independen dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya. Tapi harus dicatat: dia yang mewakili pemerintah bukanlah orang-orang yang gampang diatur (lagi) oleh atasannya. Swasta pun bukanlah kepanjangan tangan untuk mengurus para rekanan. Serta, seniman, bukanlah kepanjangan tangan sebuah partai yang lalu bergagahgagahan bahwa dia dekat dengan gubernur, bupati atau walikota karena satu partai. Orang-orang seperti itu cuma akan jadi broker kesenian. Celaka, bukan? Untuk itu perlu digariskan kualifikasi-kualifikasi yang diperlukan.

Menurut anda, apakah pemerintah seharusnya turut bertanggungjawab/ ikut andil dalam membentuk kualitas seniman?
Pemerintah juga berkepentingan bila kesenian di daerahnya berkualitas. Sebab persyaratan sebuah kota berbudaya sangat bergantung pada karya-karya kreatif dan berkualitas para senimannya.

Sebaliknya, haruskah seniman bergantung pada pemerintah untuk berkesenian atau mengembangkan kesenian di kotanya?
Seniman tidak harus bergantung pada pemerintah dalam mengembangkan keseniannya. Namun tidak dapat dipungkiri, ada seniman yang bergantung pada (sumbangan) pemerintah dan ada yang tidak. Tergantung sejauh mana sikap seniman itu menjaga independensinya.

Haruskah kita/ seniman menuntut pemerintah untuk memperhatikan kesenian, atau keberadaan senimannya?
Kita tidak menuntut, tapi memang kewajiban pemerintah untuk memperlakukan kesenian atau keberadaan senimannya.

Kebanyakan seniman, biasanya kelompok teater, di Surabaya khususnya, masih bergantung pada pemerintah untuk urusan membiayai ongkos produksinya. Haruskah begitu, atau, kalau tidak, alternatifnya seperti apa?
Selain pemerintah, masih ada masyarakat dan pihak swasta yang peduli pada perkembangan kesenian. Tapi seniman perlu memperbaiki citranya dalam mengelola bantuan (baik dari pemerintah maupun swasta). Ada seniman atau badan/ kelompok yang kurang sehat dalam mengelola bantuan ini. Lalu kita harus bagaimana terhadap seniman/kelompok yang seperti itu? Indonesia adalah negara terkorup nomor tiga di dunia, bukan? Ya, mau gimana lagi…
*****
Dalam suatu kesempatan di Museum Mpu Tantular, Surabaya, saat ditemui seusai berbicara dalam suatu forum diskusi yang digelar oleh DKJT akhir Agustus lalu, kepada Jurnal, Max Arifin sempat melontarkan gagasan tentang seniman teater yang professional. Dalam artian: 24 jam seorang seniman mengabdikan hidupnya untuk teater, mencari makan dari teater. “Seniman ludruk bisa (professional), kenapa seniman teater (modern) tidak?,” ungkapnya.
Diakuinya, seniman teater modern memang sulit untuk berlaku seperti seniman ludruk. Sebab seniman teater (modern) terikat pada banyak hal, seperti hukum-hukum yang melingkupi seni teater tersebut, semacam menghafal naskah, latihan-latihan blocking, grouping dan lain-lain yang berbeda-beda sesuai dengan (tuntutan) naskah yang akan dipentaskan. (Untuk keterangan lebih terperinci, lihat buku Jamaes L.Peacock, Ritus Modernisasi, hal.58 dst,).
Sehingga dengan begitu, dalam sekali berproduksi saja, dalam kaitannya untuk memenuhi naskah yang akan dipentaskan itu, sebuah kelompok teater sedikitnya butuh waktu enam bulan, bahkan ada yang sampai satu tahun, untuk kemudian dipentaskan.
Berbeda dengan seniman ludruk yang memang nonkonsptual sehingga tanpa berlatih terlebih dahulu, langsung naik ke atas panggung pun jadi. “Seni ludruk dari dulu tetap begitu-begitu saja. Tak ada "keinginan" untuk meningkatkannya. Yang ada adalah pakem-pakem dan ugeran-ugeran. Tak ada pertimbangan nilai pada kualitas bentuk-bentuk kesenian tersebut yang mempunyai pola dramatik tertentu yang dapat diduga sebelumnya. Tak ada naskah, yang ada cuma catatan-catatan (outline),” terang Max. Namun begitu, bukan berarti seniman teater modern tidak bisa professional.
“Profesioanalisme dalam arti yang ketat membutuhkan kualifikasi, pemahaman teoritik yang mendalam, seperangkat etika profesi, sertifikasi sebagai pengakuan akan kemampuannya. Juga dibutuhkan ketekunan dan dedikasi. Dalam pengertian tersebut, seniman teater (modern) dimasukkan ke dalam seniman yang professional,” terangnya. “Sementara itu, dalam arti yang longgar (sehari-hari), orang yang bisa mencukupi hidupnya dengan pekerjaan yang ditekuni disebut sebagai orang-orang profesional. Ludruk dapat dimasukkan ke sana,” ujarnya menambahkan.
Max Arifin lahir di Sumbawabesar, Nusa Tenggara Barat (NTB), 18 Agustus 1936. Masa kecilnya, dari SD hingga SMP, dihabiskan di kota kecil itu. Dia sempat pindah ke Yogjakarta dan menyelesaikan pendidikan SMA-nya di sana. Dia pun sempat mengenyam pendidikan di jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada. Tapi tak lama kemudian dia kembali lagi ke NTB dan melanjutkan pendidikannya di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris IKIP Mataram.
Lalu dia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Depdikbud Provinsi NTB, Mataram (Lombok). Di masa pensiunnya, dia kini tinggal di Sooko, sebuah kecamatan yang terletak di kota Mojokorto, Jatim. Praktis Max Arifin lebih banyak menghabiskan hidupnya di kota-kota kecil.

Menurut anda, bagi seniman muda di daerah, tanpa harus datang ke kota besar, seperti Surabaya atau bahkan Jakarta, misalnya, bisakah karyanya menasional?
Yang penting, bagi seni modern adalah bagaimana meningkatkan mutu dan bobot karya, terlepas di manapun dia berdomisili, di pusat atau daerah, di tempat terpencil sekalipun. Mutu dan bobot akan memunculkan seorang seniman untuk dikenal secara nasional. Tak ada kesulitan bagi seniman yang tinggal di daerah. Sekali lagi, yang penting adalah mutu dan bobot karyanya.

(dimuat dalam Jurnal Budaya Surabaya, Tahun I, No.3 Oktober 2006)
Wawancara oleh:
Abdul Malik (Mojokerto) dan Hanif Nasrullah (Surabaya).

Kontak :
1.Bapak Max Arifin, Jl.Bola Voli Blok E 33, Perum Griya Japan raya, Sooko, kabupaten Mojokerto 61361 Jawa Timur, telp 0321- 326915 , HP 085 2300 39 807, email: daxxenos2@yahoo.com.

2.Abdul Malik (Mojokerto), Hp 081 80 32 30 472, email: banyumili@telkom.net, blog: http://majapahitan2.blogspot.com

3.Hanif Nasrullah (Surabaya), Hp 081 7480 2453, email: revolusioner@hotmail.com, blog; http://hanifnasrullah.blogspot.com

NB:
Jurnal Budaya Surabaya terbit tiap bulan, dibagi secara cuma-cuma. Untuk luar Surabaya, silakan mengganti biaya kirim.Kontak: Farid Syamlan, Telp 031- 5454120, Hp 0817391883.

Masalah dan Posisi Teater di Sekolah

MASALAH DAN POSISI SENI TEATER DI SEKOLAH.

Oleh : Max Arifin.


Nani Yuliana, pelajar SMA 6 Surabaya (Kompas, 15/9-2004) mengeluh. Fauzi Salim, pembina teater di SMA 21 Surabaya mengeluh. Dan tentu terdapat banyak Yuliana dan Fauzi-Fauzi yang lain yang juga mengeluh. Bukan cuma di Surabaya, tetapi di banyak kota dan tempat di seluruh Indonesia: betapa pelajaran (ekstra kurikuler) seni teater di sekolah masih belepotan dengan masalah.
Seorang guru atau pembina kesenian yang akan mengajar seni teater di sekolah akan menghadapi dua macam kondisi dan kondisi-kondisi ini perlu dibenahi lebih dulu.
Pertama: Kondisi obyektif. Apakah di sekolah tersebut terdapat suasana yang kondusif, yang mampu menghidupkan suasana berkesenian yang bisa menimbulkan kebanggaan berkesenian. Juga kita pertanyakan apakah terdapat persepsi yang padu di antara para guru/kepala sekolah tentang arti dan fungsi kesenian di sekolah bagi para siswa. Selain itu apakah di sekolah tersebut cukup tersedia fasilitas untuk berkesenian.
Bila hal-hal itu secara minim dapat dicapai maka dapat dikatakan “masyarakat” sekolah akan mampu menggairahkan kehidupan berkesenian. Dan ini juga berarti, sekolah mampu menghargai hasil cipta para “seniman” di sekolahnya. Sekolah menciptakan suasana yang merangsang pertumbuhan seni dan gairah mencipta. Kita juga tidak bisa memungkiri, bahwa dewasa ini penetrasi radio dan terutama Tv telah membuat para pelajar menjadi manusia-manusia konsumptif dan pasif, takada gairah untuk aktif berkesenian.
Kedua, Kondisi subyektif. Apakah pembina kesenian (saya tidak tahu istilah yang dipakai di sekolah-sekolah dewasa ini) memiliki wawasan yang cukup luas tentang bagaimana sebenarnya mengembangkan tujuan kurikulum pendidikan kesenian dewasa ini.
Dalam buku-buku teks memang tercantum tujuan persyaratan bagi semua pekerja (seni) teater, antara lain: 1), Visi yang baik dalam masalah-masalah kebudayaan, seni, sastra , drama/teater. 2). (Diharapkan) mereka memiliki ketrampilan teknis yang memadai dalam cabang-cabang kesenian, namun dalam bidang seni teater mereka harus memiliki ketrampilan teknis yang cukup.
Saya memang menekankan pertimbangan pentingnya pengetahuan teori, bahkan mutlak diperlukan, karena: untuk membentuk visi yang baik; untuk memberikan dasar kepada penguasaan ketrampilan teater; dan merangsang orisinalitas dan kreativitas, di samping bacaan yang luas berupa karya-karya sastra pada umumnya dan karya-karya drama pada khususnya. Juga pengetahuan yang luas tentang hidup dan manusia pada umumnya. Kalau kita simpulkan, maka persyaratan umum seniman teater yang akan menjadi pembina teater di sekolah-sekolah bisa ditinjau dari segi kultural, artistik, literer dan teatral. Barangkali hal-hal itu terlalu ideal, tetapi kita perlu mendapatkan gambaran yang cukup.

SAYA tidak memiliki informasi yang baru tentang tujuan pendidikan kesenian di sekolah-sekolah. Namun demikian, saya kira, sepanjang yang berkenaan dengan dunia kesenian, tujuan yang tersirat dari pelajaran kesenian adalah: pertama, agar siswa mampu berapresiasi terhadap lingkungan dan terhadap karya seni. Di sini mereka diharapkan menjadi apresiator yang baik, yaitu kemampuan untuk bisa menghargai, menghayati dan menikmati kesenian Kedua, Agar dapat memanfaatkan pengalamannya untuk berkomunikasi secara kreatif melalui kegiatan berkarya seni. Mereka diharapkan menjadi kreator atau seniman kreatif.
Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:
Pertama: Kemungkinan sekolah dapat melaksanakan kedua tujuan tersebut---tersedianya pembina kesenian yang berkualitas;
Kedua: Kalau point pertama itu tak tercapai, maka tujuan yang tersirat dapat dipecah menjadi: a). Sepanjang yang berhubungan dengan pembentukan apresiasi adalah tugas guru kesenian di sekolah dengan memberikan sentuhan-sentuhan akademik, yaitu yang bersifat latar belakang teoretik; b). Sepanjang yang berkenaan dengan usaha “pembentukan” kreator kita mempercayakan pada sanggar-sanggar dengan pelajaran ekstra kurikuler tersebut. Di sana mereka akan berkenalan dengan sentuhan-sentuhan emosional lebih jauh berupa eksperimentasi, pengolahan dan latihan-lathan serta ceramah-ceramah yang bersifat teknis kesenian. Dengan sendirinya seniman (luar) yang akan memimpin sanggar tersebut haruslah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang kita sebutkan di atas.

DALAM dunia teater terdapat apa yang disebut etika teater yang harus dipraktikkan oleh orang-orang teater. Di sana juga tersirat tujuan seni teater, antara lain: dedikasi dan kecintaan pada seni teater; rendah hati; mementingkan kerja kolektif yaitu sifat kolegial, saling menghargai, berdisiplin, mendahulukan kepentingan bersama; kesetiaan pada penulis, kepada sesama orang teater dan kepada penonton; bertanggung jawab dalam arti, kalau telah diberi peran maka ia harus menunaikan peran tersebut dengan sebaik-baiknya.
Selain itu para pelajar SLTP/SMA (sekarang!) sudah saatnya menyimak pengalaman-pengalaman dan kebenaran lewat karya-karya sastrawi, termasuk dan terutama lewat seni teater. Mereka juga akan berjumpa dengan nilai-nilai sastrawi yang ada di dalamnya dan yang terpenting kebenaran sastrawi itu. Kebenaran sastrawi biasanya jauh lebih meyakinkan ketimbang hasil riset ilmiah. Dikatakan, kebenaran ilmiah selalu bersifat relatif, subyektif dan sementara. Oleh sebab itu pekerja teater harus selalu mempertanyakan setiap kebenaran. (Bandingkan novel Kremil karya Suparto Brata dan Dolly hasil riset/skripsi Tjahjo Purnomo. Settingnya sama, yaitu dunia pelacuran. Tetapi Kremil jauh lebih meyakinkan ketimbang Dolly yang terasa kering dan kaku, tak punya nuansa human interest.
Teater telah menjadi sebuah ilmu, kata Putu Wijaya pada pengantar buku Menyentuh Teater. Sebagai ilmu ia dipelajari, diajarkan, dianalisa, sementara teater itu sendiri terus berkembang, bertumbuh, serta berubah dengan segala bentuk pengekspresian dan konsep-konsepnya sehingga ilmu teater juga terus mengucur.
Nah, Nani Yuliana dan Fauzi Salim berhentilah mengeluh dan bersedih kalau di sekolah kalian seni teater itu masih belepotan dengan seribu satu masalah. Memang masih banyak masalah yang harus kita benahi. Oke?


Japan Raya, September 2004.
Max Arifin, pengamat teater tinggal
Di Mojokerto.

Puisi: Wajah Ibu

WAJAH IBU.
Max Arifin.


Wajah ibuku di Aceh berkelebat di layar kaca
meledakkan seribu duka yang kau usung
bersama sejarah negerimu.

Wajah ibuku menyeruak di tengah
wajah derita yang sulit kau terjemahkan
yang mengalir sampai ke ujung-ujung
yang tak pernah tahu arah
berhadapan dengan sejarah yang membisu
sampai air mata kami
berubah jadi biru tinta.

Ibu itu mengetuk-menggedor dan
si pongang menyeringai dari tengah laut
memupus lautanmu tenang dan teduh yang menyimpan
rindu, air mata dan mutiara dan mengelus kaki-kaki bocah di pantai.

Kota-kotaku menghumbalang ke langit kelabu
Dan tak sempat mendengar serapah sang ibu
ketika tangis si bayi dalam buaian mencari tetek ibunya
ditelan bahana gelombang amarah ratu kidul.

Wajah ibuku di Aceh berkelebat di layar kaca
di tengah gerombolan wajah tanpa nama
yang ikut mengusung kutukan sejarah negerinya
dan menghadapi kematian tanpa akhir,
kereta-kereta terbakar, senjata api, teriakan di lorong-lorong
bintang-bintang yang marah dengan wajah teror
yang menggeliat di balik balutan kepala compang-camping.

Ibuku pernah bersurat: kini bukan waktunya berkelana
ke seberang, ada tugas untukmu.
Dan aku diberi topi baja, senjata AK
di garis depan yang jauh aku berdiri.
Jangan berpaling, bergeraklah ke arah tembok bisu itu.

Wajah ibuku di Aceh yang berkelebat di layar kaca
berubah menjadi silhuet yang memudar.
Tuhanku, kenapa Kau menunduk rendah
hanya untuk menghancurkan kami?
Tatapan mataMu yang licik tidak menghendaki kesaksian apapun
untuk makhlukMu yang lemah, juga dalam doa yang khusuk yang
setiap saat kami panjatkan.

Ibu, sebuah ceritera baru dimulai.



Casa di Lansia, akhir 2004.

Surat Dari Seberang...

SURAT DARI SEBERANG:

Ecun……
Sudah lama aku ingin menulis surat ini. Tapi entah, baru sekarang aku melaksanakannya. Aku tahu persis apa yang mendorong hatiku. Mungkin karena kerinduan yang telah menumpuk, membengkak dan tak tertahan. Mungkin karena dorongan hati dari dalam atau kegemasan melihat faktor-faktor yang berada di luar.
Waktu itu sudah lama sekali.
Pertama kali aku angkat kaki dari Tana Samawa –sudah kabur, seputar tahun 1954—ke Yogyakarta. Kenyataan-kenyataan kecil sudah mengabur. Meninggalkan Tana Samawa pada waktu itu merupakan perantauan dalam arti sesungguhnya. Jarak dan waktu benar-benar kita hayati: bagaimana seorang anak muda—yang dijuluki Teruna Ngining oleh pelukis Abdullah Sidik [almarhum] pada senja hari berdiri di atas dek kapal KPM Waikelo, merasakan terpaan angin senja melihat ke belakang. Makin lama tana samawa makin menghilang, dan air mata tak terasa mengalir perlahan. Terlalu banyak yang harus kutinggalkan dan hatiku seberat tugu.

Ecun…….
Kini jarak dan waktu tak terasa, tak terhayati, tak ada waktu untuk ngelamun, hiruk –pikuk membuyarkan semua kenangan, pandangan sekitar mengaburkan wajah-wajah yang di Tana Samawa. Waktu merupakan garis lurus dan kepastian yang dituju sudah jelas dan semua energi dihimpun untuk membelanya.
Aku tidak tahu pasti, apakah kebo karong Paman Dawid yang selalu menjadi kebanggaan itu masih ada keturunannya. Kau masih ingat bagaimana kebo-kebo itu memenangkan karapan kerbau di kecamatan dulu. Bagaimana Paman Dawid ngumang di depan dadara di atas tribun bambu memuji kerbaunya dan menunjuk pada dadara yang jadi kembang di desa? Aku masih ingat betul peristiwa itu, kau tahu apa isi lawas Nde Dawid waktu itu? Ia bilang begini:
Kerbau ini milikku
kupelihara dengan hati bersih
tinggi yang telah ia capai
tapi apa arti itu semua
bila kau masih memalingkan wajah?

Lawasnya disambung lagi begini
Kau jauh lebih berarti
walau cahayamu seperti kerlip
bintang di kejauhan
hatiku yang merana tak bosan
bertanya pada apa saja
Sebelum ia berpaling dari tribun bambu itu, Nde Dawid sempat melontarkan lagi lawas yang sudah kita kenal bersama,di seluruh Tana Samawa:
Lamin sia dunung notang
Sowe santek bonga bintang
Pang bulan ketemu mata

Terjemahan bebasnya barangkali begini:
Kalau anda duluan merindu.,
Sibaklah atap, tataplah bintang
Di wajah bulan kita berpandangan

Dan dadara di atas tribun bambu itu cekikikan. Tetapi peristiwa menyedihkan terjadi. Sementara aku menyaksikan peristiwa yang menggetarkan hatiku itu, adegan yang mempesona, adegan yang benar-benar teatral, alamiah, wajar: tiba-tiba temanku, si Alwi yang berdiri di sampingku terjatuh, terkulai ke tanah. Katanya ia disambar oleh bura’. Ia dilarikan ke rumahnya—kebetulan bapaknya seorang sanro. Aku tidak tahu kabarnya, sebab besoknya aku sudah berdiri di atas dek kapal Waikelo.
Aku merindukan semua itu. Dan inilah sebenarnya yang membuat aku bersedih ketika mendengar bahwa kesenian Tana Samawa sudah hampir punah, kalau tidak dikatakan memang sudah punah.
Lawas dan entah apa lagi namanya—langko, seketa,bagesa,badede dengan kosok kancingnya—bukan cuma ekspresi perasaan seorang Paman dawid, tetapi ekspresi sesungguhnya Tau Samawa secara keseluruhan. Kita—generasi sekarang—sudah tidak peka, tumpul dan tidak mampu menyimak ekspresi Tau Samawa tersebut. Kita kini dihirukpikukkan oleh kontras antara politik dan kedamaian. Apakah kau, Ecun, pernah mencoba untuk sedikit peduli pada luka-luka sosial di sekitarmu dan betapa pedih memikirkan kelanjutan dari sesuatu yang menihilkan selain dari pertengkaran, agresi, teror dan ancaman-ancaman lainnya. Keasyikan dalam bermain politik—terakhir ribut-ribut ingin membuat pulau Sumbawa menjadi sebuah propinsi—akan memencilkan kesenian menjadi sesuatu yang hampa.
Kita tidak lagi memiliki semacam pengalaman estetika, yaitu kemampuan untuk bereaksi terhadap apa yang disebut “permukaan-permukaan estetika”. Aku melihat Tana Samawa dari kejauhan sudah compang camping. Ia goyah dan semua orang sudah tunduk pada hiruk-pikuk. Kita kehilangan kesunyian, tidak mampu untuk berdiri sendiri dalam arti spiritual dan tiba pada suatu kehidupan kreativitas intelektual. Aku percaya, bahwa kemampuan kita untuk melakukan kontemplasi, perenungan juga telah dihancurkan.
Ada jarak yang begitu jauh antara nurani dengan kehadiran kita. Nde Dawid-Nde Dawid dan Papen Dio-Papen Dio sudah tiada. Wajah politik itu begitu menjadi personal, telanjang dan kasar. Kita dijajah oleh ketenangan yang kita ciptakan sendiri dan kita tidak memiliki ketenangan suatu mekanisme yang beroperasi dari dalam untuk stimuli-stimuli di kejauhan—katakanlah keluhan Nde Pedil di Emang atau Papen Tenri di Aipaya sana.
Kita-kita tampak seperti karikatur yang tidak punya nurani. Sejauh mana jiwa—orang Inggris menyebutnya soul—memasuki daerah publik [public realm] itu? Apa yang mendorongnya? Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition—kubaca tahun lalu, Ecun menulis, bahwa yang mendorong jiwa kita memasuki daerah publik antara lain karena adanaya realtitas ancaman terhadap peradaban dan terhadap eksistensi kita. Kedua, kewajiban kita untuk berjuang dan bertahan. Ketiga, adanaya pengaruh diskusi-diskusi publik di koran-koran, TV, buku-buku ditempat-tempat ceramah. Dan keempat, keinginan kita yang paling dalam untuk mengirimkan jiwa dan semangat kita ke dalam masyarakat.
Kita tidak tahu apakah politikus-politikus itu –yang diisukan bermain politik uang yang kotor, yang menghilangkan kepribadiannya, yang membekukan nuraninya, yang tidak tahu malu itu—memahami hal itu sebagai pemahaman politik yang lebih tinggi. Kalau memang ya,-maka tak akan ada politik uang, dan lain-lain itu—maka tak ada lagi yang kita keluhkan. “Dengan kata-kata dan perbuatan kita menyelinapkan kedirian kita ke dalam dunia manusiawi” kata Arendt, “dan penyelinapan ini adalah seperti kelahiran kedua kita”. Manusia merindukan keabadian. Untuk merealisasikannya, kita sekali lagi—dan sekali lagi—harus menegaskan identitas kita lewat kata-kata dan action, mengajarkan kepada orang-orang bagaimana melahirkan yang besar dan berkilauan.
Politik telah mengotori wajah kita. Aku lalu ingat ucapan John Kennedy—waktu dilantik jadi Presiden—kalau politik mengotori wajah kita, maka bersihkan dengan puisi. Dengan kata lain: bersihkan dengan lawas.

Ecun……..
Aku merindukan ini: politikus-politikus yang melempar wajah kita dengan lumpur itu duduk bersama—tanpa ada yang walk out—dan memanggil jago-jago lawas dari Ano Rawi dan Ano Siep dan membawakan lawas yang mampu membuat kita saling berpandangan dalam waktu yang lama. Kita saling menyimak hati kita masing-masing lewat kesenian. Dan aku pastikan, gema suara Nde Dawid atau Papen Pio akan terdengar:
Lamen nonda ila, melakopamendi; lamen nonda pamendi, melako ila.
Memang kewajiban kita untuk memperbaiki Sumbawa. Tusabalong sama lewa. Keindahan fisik material Tana Samawa dan keindahan spiritual anak negerinya. Aku lalu ingat Dewan Kesenian Sumbawa itu dan mengharapkan bisa melaksanakannya. Atau Dewan itu sendiri sudah terpercik lumpur politik ke wajahnya atau ikut melempar? Dan melupakan fungsinya?
Aku takut Ecun, atavisme yang disebut-sebut oleh Saul Bellow [seorang pemenang hadiah Nobel] pada akhir bukunya To Jerussalem and Back [1977:232] memang terus masih mengikuti kita. Ia menulis:
Di zaman purba di tembok-tembok kota yang ditaklukkan di Timur Tengah kadang-kadang digantung kulit-kulit orang yang ditaklukkan. Kebiasaan itu sudah hilang. Tetapi keinginan untuk membunuh untuk tujuan-tujuan politik itu---adalah masih tetap seperti dulu.
Anak cucu Adam yang bermartabat tentu akan mengingat hal itu dan menampiknya. Sungguh. Ecun.
Sekian dulu, ecun, salam rinduku pada semua keluarga kita: Iyun, Hafni, La dan Hannah beserta suami-istri mereka. Dan juga pada Gani. Aku selalu merindukan kalian semua.

Salam ,
Max Arifin.
Jl.Bola Volley Blok E 33,Perm Japan Raya, Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361
Jawa timur
Telp 0321- 326915
Hp 085 2300 39807
Email: daxxenos2@yahoo.com.


*Max Arifin ,sejak di Mataram dikenal sebagai dramawan, penerjemah, esais dan wartawan. Setelah pensiun sebagai pegawai Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud NTB, pria kelahiran Alas, Sumbawa ini hijarah ke Jawa Timur. Tinggal dirumahnya yang tenang dan sejuk di Mojokerto bersama isteri tercinta: Siti Hadidjah.
Dua buku terjemahannya Taruhan Mewujudkan Tulisan, Wawancara dengan Penulis Pria dan Wanita Dunia, baru diterbitkan penerbit Jalasutra, Yogyakarta.
Sementara My Life in Art [Konstantin Stanislavsky] dan The Other Voice [Octavio Paz] dalam proses penerbitan oleh Pustaka Kayutangan, Malang.
Novel Seratus Tahun Kesunyian [Gabriel Garcia Marquez] segera cetak ulang oleh Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Novel An Echo of Heaven [Kenzaburo Oe] segera terbit oleh Bentang Pustaka.

**tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Rungan Samawa No.09-tahun 1 Maret 2001

Cerpen: Malam Terakhir Seorang Presiden

CERPEN:
MALAM TERAKHIR SEORANG PRESIDEN

Oleh MAX ARIFIN


Seorang lelaki tua dalam pakaian tidur melangkah menuju jendela. Di ruang keluarga itu ia melayangkan pandangannya ke arah jam yang menempel di tembok. Pukul 24.00. lalu ia meneruskan langkahnya ke jendela. Agak lama ia tertegun di sana, tetapi akhirnya ia membuka jendela itu. Wajahnya menengadah ingin menghitung bintang-bintang di langit sana.

Tuhanku, katanya, kenapa aku bisa terjebak dalam akhir seperti ini. Selama ini aku selalu meminta petunjuk padaMu. Tetapi Kau tidak menunjukkan jalan yang benar yang kau ridoi itu. Apa yang salah pada diriku ? Lima puluh tahun yang lalu aku juga berada dalam malam hari seperti ini dan aku yakin benar jalan itu. Kau tunjukkan padaku. Bergemuruh sambutan terhadap diriku. Aku adalah jenderal yang keluar dengan kemenangan dari sebuah peperangan yang besar. Peperangan yang besar ? Sebenarnya bukan suatu peperangan yang besar, tetapi “the real war” yang sebenarnya---ah, aku meminjam nama buku karangan Richard Nixon, buku yang sudah kubaca beberapa kali, tetapi ternyata terjadi kekurangpahaman dalam menarik kesimpulan. Nixon menulis, bahwa sejarah kegagalan dalam peperangan dapat disimpulkan dalam dua kata: terlalu terlambat. Terlambat dalam memahami tujuan yang mematikan dari musuh yang potensial; terlalu terlambat dalam menyadari bahaya yang mematikan; terlalu terlambat dalam persiapan; terlalu terlambat dalam menyatukan semua kekuatan yang memungkinkan untuk bertahan dan terlalu terlambat dalam mencari teman yang benar.
Padahal aku seorang jendral. Dan sebagai jendral aku tidak boleh melupakan hal-hal itu. Itu adalah prinsip.

Ia berbalik, memandang ke segenap sudut kamar itu. Buku-buku yang teratur rapi berjejer dalam rak-rak buku yang penuh ukiran Jepara. Lalu ia mondar-mandir di sana.

Apa yang salah pada diriku ? Tentu wajahku tampak seperti dalam cermin pecah. Tetapi tentu tidak akan tampak seperti jendral-diktator tua dalam buku karya Gabriel Garcia Marquez. Aku membaca buku itu dengan harapan dapat melakukan hal-hal yang sebaliknya yang dilakukan diktator tua itu, walau aku mempunyai bakat luar biasa untuk berkomando dengan naluri politikus yang tidak pernah melesat dan meleset dari perhitungan dan mempunyai kemampuan untuk bertepo seliro, yaitu kemampuan untuk mencintai dan dicintai.

Tentu ada yang salah dalam diriku. Kemanusiaanku dan aku pribadi ternyata terlalu terpisah dan keduanya selalu melakukan tawar-menawar. Dalam keadaan seperti itu ternyata pikiranku sering menjadi lumpuh. Buaya adalah spesimen binatang paling primitif dibandingkan dengan manusia. Tetapi ketika manusia melangkah dalam keadaan buta dan telanjang ke dalam sungai, maka dapat dipastikan buaya itu yang akan selamat. Salah satu pelajaran sejarah yang harus dipelajari--- walaupun tidak menyenangkan adalah, bahwa peradaban itu tidak datang dengan sendirinya. Ini yang mungkin kulupakan. Sifat permanen sebuah peradaban tidak dapat diduga sama sekali. Akan selalu terdapat bidang-bidang gelap menanti kita di setiap sudut. Langkah-langkah harus diatur dengan teliti agar kita tidak terjebak.

Ia mendekati rak buku dan mencomot buku The Real War karangan Richard Nixon. Cepat-cepat ia membalik beberapa halaman lalu berhenti pada halaman 271.

Ya, halaman 271 ini sudah sepuluh kali kubaca. Di sana ada “ten rules” yang harus kuperhatikan. Seharusnya rules ini kugantung dengan indahnya di kamar kerja istana kepresidenan. Rule delapan berbunyi: Harap selalu berhati-hati dalam membedakan antara teman-teman yang selalu menyodorkan hak-hak azasi dan musuh-musuh yang selalu menolak semua masalah yang berkenaan dengan hak-hak asazi manusia. Dan rule sepuluh menulis: jangan kehilangan kebajikan. Pada masalah-masalah yang tertentu kebajikan mampu menggerakkan sebuah gunung. Kebajikan tanpa kekuatan adalah tidak berguna, tetapi kekuatan tanpa kebajikan adalah mandul.

Ia menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan menutup buku itu dan meletakkan kembali di rak buku.

Bagaimana seharusnya aku bersikap terhadap sebuah buku ? Buku-buku ini kini begitu menakutkan, seakan-akan mencemoh dan mengejek diriku.

Lalu pandangannya tertuju pada lukisan besar istrinya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia maju beberapa langkah, mendekat ke lukisan itu.

Kau tidak bisa merasakan kesunyian dan kesepian ini. Juga kesedihanku pada malam ini. Selama ini kau adalah kekuatanku. Aku selalu mengajak kau melanglang buana. Bagaimana kita berpose di tembok besar Cina. Ah, semua terbayang berkelebat di dalam pikiranku.

Anak-anak tak ada di dekatku. Selama ini kaulah yang menuntun mereka menjadi besar, lalu menjadi bagian dari masalah-masalah yang melilit diriku.

Tiba-tiba jam di tembok itu berdentang tiga kali. Ia agak terkejut juga tetapi dengan segera membenahi sikapnya. Ia merasa malu pada keterkejutannya tadi, padahal seorang prajurit sejati tidak boleh kaget.

Besok pagi kekuatan dan kekuasaan yang ada dalam kedua tanganku ini akan kuserahkan pada orang lain sesuatu yang tak terpikirkan ketika aku melangkah tiga puluh tahun yang lalu kekuatan dan kekuasaan kuperoleh pada waktu itu adalah karena aku memahami benar aspirasi masyarakatku, aspirasi bangsaku. Apa yang salah pada diriku selama ini? Apakah aku cuma mempermainkan benda abstrak yang bernama aspirasi itu? Dan menafsirkan sesuai dengan kehendakku? Bagaimana dengan orang-orang yang mengelilingi aku selama ini? Orang-orang yang mendukung tanpa reserve terhadap penafsiran itu? Kalau aku mau jujur, aku Cuma melaksanakan semua desain yang dibuat oleh mereka. Kemana mereka malam ini?

Tanpa sengaja matanya menatap dua buku yang ada di rak sebelah kanan. Yang pertama berjudul The Great Cover Up karangan dua orang wartawan The Washington Post, hadiah dari GM, seorang pemimpin redaksi sebuah majalah terkenal waktu itu. [Tapi beberapa tahun yang lalu dibbreidel]. Ada satu bab yang mengerikan di sana, yaitu bab delapan: The Road to Impeachment. Ia membolak-balik halaman buku itu dan ketika tiba pada bab tersebut ia melempar buku itu sekuat tenaganya dan mengenai lukisan besar istrinya.

GM, GM, ia menggumam, takut pada suaranya sendiri, dulu aku mengagumi kau. Tetapi kenapa kita harus berseberangan dan memerintahkan agar majalahmu ditutup saja. Padahal kau benar ketika kau menulis tentang pembelian kapal bekas ex Jerman Timur itu. Di mana kau, GM ? Persahabatan sejati sebenarnya tidak boleh terhalang oleh naluri kekuasaan yang besar. Aku buta terhadap nilai-nilai yang ada dalam sebuah persahabatan sejati.

Yang paling mengerikan adalah buku yang satu itu. Karangan seorang wartawan luar negeri yang bertugas di sini selama beberapa tahun, A Nation in Waiting. Hampir setiap halaman menulis tentang dia. Jam berdentang lima kali.

Inilah musuh utamaku selama ini: wartawan; padahal mereka menulis hati nurani bangsanya. Tetapi kenapa aku tidak bisa memahami mereka. Mereka muncul dalam sosok-sosok gelap sebagai musuh terselubung yang akan menikam dari belakang. Kuakui betapa gagalnya departemen yang katanya akan “membina” mereka. Apa yang salah dalam kebijaksanaan “pers bebas dan bertanggung jawab” itu, suatu kebijaksanaan yang telah mengubur banyak koran dan majalah selama ini. Dulu aku pernah membaca---ya, dalam buku Freedom of Information karangan Herbert Brucker--- bahwa kebebasan untuk mengeluarkan pendapat itu sebenarnya kegunaannya bukan bagi golongan minoritas yang ingin berbicara, tetapi bagi golongan mayoritas yang tidak mau mendengar. Dan aku selama ini cuma mau mendengar pada golongan mayoritas yang didesain dengan penuh kelicikan. Aku tahu itu tetapi naluriah kekuasaan yang ada dalam diri seorang manusia membuat dia buta. Aku tahu itu. Aku tahu itu. Ternyata pembantu-pembantuku tidak berani memberikan informasi yang sebenarnya padaku. Seperti yang ada dalam ceritera wayang yang sering kusaksikan waktu aku masih kecil dulu.

-Prabu : Aku bilang itu adalah bulan.
-Durno : Aku tahu, memang itu bulan.
-Prabu : Bukan; kau telah berbohong padaku. Itu adalah matahari.
-Durno : Semoga Gusti Allah memberkahinya; memang itu adalah matahari yang
diberkahi.
Itu bukanlah matahari bila Prabu berkata bukan.
Bahkan bulan itu akan berubah sesuai dengan yang ada dalam benak
Prabu.Apapun nama yang Prabu kehendaki maka itulah namanya.

Itulah watak orang-orang yang berada di sekelilingku selama ini, watak yang menyumbangkan sahamnya dalam percepatan kebobrokan negara ini. Watak manusia-manusia yang tidak akan mampu mengantarkan bangsa ini menuju abad dua puluh satu.

Tiba-tiba terdengar jam di tembok itu berdentang tujuh kali. Dari kamar sebelah seorang cucunya menyetel televisi dan terdengar teriakan-teriakan mahasiswa yang berkumpul di gedung MPR/DPR, meneriakkan kata-kata Reformasi, Reformasi ! Ia tertegun sejenak dan memasang telinga.

Itu adalah generasi baru bangsa ini. Generasi yang menyongsong abad baru; menggeliat-geliat dalam membentangkan sayap-sayapnya. Sebenarnya aku membutuhkan generasi seperti itu. Tetapi terlalu terlambat dalam memperhitungkan mereka. Dua jam lagi kekuasaan yang ada dalam tanganku ini, yang kugenggan kuat-kuat selama ini akan kuserahkan.

Ketika ia berbalik untuk menuju kamar sebelah, ia menatap buku A Nation in Waiting tergeletak di atas meja. Ia menyambar buku itu dan mengusap-usap judulnya.

Buku ini akan merupakan pelengkap sejarah hidupku. Merupakan muka yang satunya dari muka berjudul A Smiling General.

Ia tersenyum. Ternyata sisa sejarah selebihnya masih juga menyediakan senyuman. Tetapi mungkin juga senyum merupakan salah satu dari banyak topeng yang kita kenakan setiap hari. Entahlah.-***

(dimuat di harian jawa pos minggu 9 juni 2006)

Max Arifin, Absurditas Dari Mojokerto

ABSURDITAS DARI MOJOKERTO

Buku-buku teater kontemporer terbilang langka di dunia penerbitan kita. Tapi, tiga tahun terakhir, mengalir deras terjemahan-terjemahan berbobot dari tangan seorang pensiunan yang tinggal di Mojokerto.

SEPASANG merpati tua-----demikian mereka menyebut dirinya---tinggal di Perumahan Griya Japan Raya, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Mereka pekerja seni: Max Arifin, 70 tahun, dan istrinya, Siti Hadidjah, 70 tahun. Pasangan ini tinggal di rumah tipe 36. Di halaman depan yang tak terlalu luas, terdapat sebuah gazebo. Di sanalah anak-anak muda Mojokerto, bahkan Malang dan Surabaya yang bergelut di bidang seni sering mampir dan berdiskusi soal teater.

Max, pensiunan pegawai negeri sipil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, Lombok, dikenal memiliki minat luas terhadap teater. Dewan Kesenian jakarta akhir Agustus lalu menerbitkan buku terjemahan Max tentang biografi dan pemikiran “absurd” Antonin Artaud, seorang peletak dasar konsepsi teater kontemporer. Buku karya Stephen Barber, Blows and Bombs, tersebut diterjemahkan menjadi Artaud: Ledakan dan Bom. Bukan hanya Artaud. Sebelumnya, Max telah menerjemahkan karya penting Peter Brook, sutradara opera kontemporer berjudul Shifting Point. Juga “kitab suci” para teaterwan eksperimental, Toward Poor Theater karya Jerzy Grotowsi.
Di sebuah ruang 4 x 7 meter yang juga merupakan ruang makan, Max sehari-hari mengetik. Di situ ia dikurung dua rak buku-buku filsafat dan sastra. Sekilas Tempo melihat judul-judul koleksinya: Political Theatre karya David Goodman, The Ship of Fool karya Chritiana Perr Rossi, An Echo of Heaven karya Kenzaburo Oe, The Blind Owl karya Sadeq Hedayat, buku-buku Nurcholish Madjid dan seri lengkap Catatan Pinggir Goenawan Mohammad. “Hampir semua buku ada, kecuali buku-buku teknik,” katanya.
Tahun 1990-an, duna terjemahan sastra bangkit di Yogya. Max termasuk seorang “pelopor”-nya. Penerbit Bentang banyak mempublikasikan terjemahan-terjemahannya. Diantaranya Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude) oleh Gabriel Garcia Marquez. Karya ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Jawa Pos tahun 1997. Selanjutnya, Pemberontak (The Rebel) karya Albert Camus.
Mulanya ia banyak menerjemahkan novel untuk cerita bersambung di koran. Tahun 1976 Max menerjemahkan karya James van Marshall berjudul Walkabout (Pengembaraan) dan dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas. Tahun 1983, ia menerjemahkan The Beauty and Sadness karya Yasunari Kawabata yang dikasih judul Kecantikan dan Kesedihan dan juga dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas.
Semua ini berawal tahun 1976. Saat itu ia mengalihbasakan The Sound of Waves karya Yukio Mishima menjadi Nyanyian Laut dan dipublikasikan oleh penerbit Matahari, Yogyakarta. Tahun 1980 ia menerbitkan karya Albert Camus berjudul The Stranger, yang ia alihbahasakan menjadi Orang Aneh. Buku ini diterbitkan oleh Nusa Indah, Flores. Tahun 1978, Max menerjemahkan Thousand Cranes karya Yasunari Kawabata, yang diterbitkan Nusa Indah Flores berjudul Seribu Burung Bangau.
Agaknya Yogya dan Sumbawa merupakan sumber inspirasi. Terlahir bernama Mochamad Arifin, ia menghabiskan masa SD hingga SMP di Sumbawa Besar. Saat SMA, ia hijrah ke Yogyakarta bersekolah di SMA Piri, Baciro. Max sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Hubungan Internasional , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Universitas Gadjah Mada. Tidak sampai tamat, ia kembali ke Mataram.
Di sana, ia melanjutkan ke Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram.Lulus, ia bekerja di Departemen pendidikan dan kebudayaan Nusa Tenggara barat dan menangani seksi drama dan sastra. Di Mataram, ia membina kelompok-kelompok drama SMA dan kampus. Ia pernah menjadi redaktur budaya harian Suara Nusa (sekarang Lombok Post) dan menjadi koresponden majalah Tempo untuk Lombok tahun 1975-1979.
Tak hanya menerjemahkan. Max juga menulis buku. Bukunya Teater:Sebuah Pengantar diterbitkan oleh Nusa Indah Flores tahun 1990. Ia menulis naskah drama Putri Mandalika, yang pernah dipentaskan secara kolosal di Pantai Seger, Lombok Selatan, 1988. ia menulis naskah Matinya Demung Sandubaya, yang dibawa kontingen Nusa Tenggara Barat pada Festival Teater di Solo dan kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Suara Nusa. Tahun 1990, naskah drama remajanya berjudul Badai Sepanjang Malam diterbitkan oleh Gramedia Jakarta.
Di hari tuanya, Max tetap “gila’ buku. Tapi semangatnya tetap semangat seorang pendidik. Ia baru saja menghibahkan 250 judul buku ke Dewan Kesenian Mojokerto. “Biar semakin banyak orang yang bisa menikmati buku,” katanya. Telah 26 buku ia terjemahkan. Kini ia menanti terjemahannya atas buku lama teaterwan Rusia, Konstantin Stanislavsky: My Life in Art (Hidupku dalam Seni) yang akan diterbitkan Pustaka Kayutangan Malang.
Mengapa Stanislavsky masih penting baginya? Sebab, menurut Max, di dalam buku itu ada segudang pelajaran untuk para pekerja seni kita. Stanislavsky mengharapkan aktornya menjadi seorang humanis. Stanislavsky menolak aktor yang melacurkan hidupnya hanya untuk dikeploki penonton. “Aktor harus memiliki disiplin ketat. Aktor harus selalu menguji dirinya, memiliki standar etika yang tinggi, dan mengejar selera, baik di atas pentas maupun di luar pentas”, kata Max menirukan Stanislavsky.
(Sunudyantoro, Seno Joko Suyono)

Dikutip dari Majalah TEMPO, edisi 11-17 September 2006, halaman 62-63.

Ralat:
-Ia baru menghibahkan 250 judul buku ke Dewan Kesenian Mojokerto, semestinya ke Balai Pustaka NOL Mojokerto.
-……The Sound of Waves karya Yukio Mishima menjadi Nyanyian Laut dan dipublikasikan oleh penerbit Matahari, Yogyakarta semestinya penerbit Mahatari, Yogyakarta.



Alamat rumah:
MAX ARIFIN,
Jl.Bola Volley Blok E 33,
Perum Griya Japan Raya, Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361
Jawa Timur
Telp 0321- 326915
Hp 085 2300 39 807 dan 0888 32 86 967.
Email: daxxenos2@yahoo.com