Monday, January 16, 2006

Resensi buku : Student Hijo [Marco Kartodikromo]

Resensi buku:
Student Hijo,karya Marco Kartodikromo,penerbit yayasan aksara Indonesia,yogyakarta,februari 2000, xii+212 halaman.

Mengungkap Sastra Rasial Nasionalis

Para peminat sastra sering dihadapkan pada satu pertanyaan,sejauh mana sastra masa lampau berguna untuk tetap dibaca? Mengapa anak-anak sekolah dasar dan menengah masih saja diwajibkan untuk membaca karya-karya semacam Siti Nurbaya, Salah asuhan?

Lepas dari persoalan semacam itu, kampanye keunggulan sastra-sastra lama tertentu yang kemudian sering dicitrakan sebagai sastra klasik, ternyata sering penuh muatan ideolgis dan politis. karya-karya tersebut di masa lampau diterbitkan oleh balai pustaka, suatu lembaga penerbitan yang sepenuhnya disponsori dan melayani kepentingan kekuasaan penjajah belanda.

Novel student hijo karya Marco Kartodikromo terbit pertama kali di surat kabar sinar hindia tahun 1918, menyodok dan mengkritik dengan hebat kecurangan kolonialisme belanda, sehingga tentu saja tak akan pernah lolos sensor seandainya ia tawarkan pada Balai pustaka.

Siapa Marco Kartodikromo? Marco kartodikromo 91890-1935) merupakan seorang jurnalis sekaligus aktivis revolusioner pada masanya.Aktvitas gerakannya telah membuat dia ditangkap dan dipenjara beberapa kali.Sebagian besar karyanya lahir didalam penjara, antara lain sama rata dan sama Rasa yang sempat menjadi idiom populer, Matahariah serta novel student Hijo.

Di akhir hidupnya ia kembali ditahan pemerintah kolonial dan dibuang ke boven digoel, serta meninggal di sana.
Karya marco kartodikromo menganut aliran realisme sosialis, termasuk student Hijo ini.Tradisi sastra realisme sosialis indonesia muncul antara lain lewat karya Sumantri [Rasa Mardika], semaoen [Hikayat Kadiroen,1920],Hadji Moekti[Hikayat Siti Mariah,1910],Tirto Adhi Soerjo [Nyai Permana,1912] dan tentu saja Pramoedya Ananta Toer.

Sebelum menulis novel ini, Marco menerbitkan sebuah novel kontroversial, Mata Gelap, yang penuh dengan pornografi sehingga memicu reaksi keras dari masyarakat.

Novel ini berkisah tentang awal mula kelahiran para inteletual pribumi yang lahir dari kalangan borjuis kecil, dan secara berani mengkontraskan kehidupan di Nederalnda dan hidia belanda.

Adalah seorang pemuda bernama Hijo, putra Raden Potronoyo, seorang pedagang, yang baru lulus HBS dan melanjutkan sekolah ingenieur di Delft belanda. sesampainya di amsterdam, Hijo mengalami hal luar biasa. sebagai warga pribumi, ia bisa memerintah orang-orang belanda dan diam-diam kesadaran nasionalismenya muncul.

"Sesudahnya Hijo dan leterarnya turun dari kapal, terus ke hotel, kedatangannya di situ Hijo dihormat betul oleh sekian budak hotel, sebab mereka memikirkannya,kalau ada orang yang baru datang dari tanah hindia, mesti banyak uang, lebih lebih kalau orang jawa.dari situ, Hijo tertawa dalam hati melihat keadaan ini, karena ia ingat nasib bangsanya yang ada di tanahnya sama dihina oleh bangsa belanda kebanyakan".[hal.58]

"Kalau negeri belanda dan orangnya cuma begini saja keadaannya,betul tidak seharusnya kita orang hindia mesti diperintah oleh orang belanda," begitu kata Hijo dalam hatinya.[hal.59]

Selama belajar di belanda,hijo tergoda oleh betje, putri induk semangnya, dan sempat hidup bergaya eropa.namun hal itu tak berlangsung lama.

"Saya mesti pulang ke jawa,"kata Hijo dalam hati waktu ia duduk dibawah pohon dan memperlihatkan lautan yang luas."Sebab kalau saya terus belajar di belanda sini, barangkalii tidak jarang kalau saya terus jadi orang belanda,karena saya tentu kawin dengan seorang nona belanda.Kalau saya meninggalkan sanak famili dan bangsaku...bah!Europeeschebeschaving! [hal.132]

Dibagian lain novel ini, Marco menggugat hubungan bagsa belanda dan jawa, dalam hal pekerjaan dan perkawinan, melalui dialog antara controleur walter dan regent jarak.

"Bercampuran bangsa itu bisa jadi baik, kalau bangsa satu dan lainnya sama derajatnya, sama kekuatannya, sama kepercayaannya, dan lain-lain.Kalau tidak begitu, saya kira susah sekali.Biasanya jadi baik itu perkara assosiate [persaudaraan].Lebih-lebih buat kita orang Bumiputera,itu susah sekali bisa melakukan assosiate dengan bangsa eropa memandang kita seperti budaknya.[hal.134-135]

Selain sebagai jurnalis, Marco adalah aktivis Sarekat Islam [SI].Karenanya bisa dimaklumi jika dalam novel ini digambarkan suasana kongres SI di Sriwedari, Solo,3 Maret 1913.[hal.150-165]

Di zaman kolonial,pemerintah menetapkan seluruh bacaan berbahasa melayu-tionghoa atau melayu rendah sebagai "bukan sastra" dan bahkan sebagai "bacaan yang merusak akhlak dan berbahaya"Termasuk disini karya Marco.tindakan pemerintah mendapat dukungan dari "penguasa sastra "sezaman, yaitu commissie voor de volkslectuur [komisi bacaan rakyat] yang kemudian menjadi Balai pustaka.

Lembaga ini secara agresif mengembangkan kritik sastra untuk mengenyahkan "bacaan tak bermutu" alias bermuatan politik serta roman picisan dari khazanah sastra saat itu, dan sebagai gantinya mengembangkan sastra balai pustaka yang "bermutu tinggi".Pemisahan "sastra bermutu" dan "tidak bermutu"-sejak awal-lahir dari percampuran kepentingan penguasa politik untuk menekan ekspresi yang mengancam dan pemikiran "penguasa sastra" yang bekerja dalam kerangka kekuasaan pihak pertama.[Menentang Peradaban pelarangan buku di Indonesia, Jaringan kerja budaya,ELSAM,1999]

Penerbitan kembali novel Student Hijo ini seperti halnya Kesusatraan Melayu Tionghoa yang direncanakan 25 jilid oleh KPG, perlu mendapat dukungan banyak pihak, untuk melengkapi sejarah sastra indonesia.[abdul malik, balai pustaka NOL,dimuat di harian surabaya post minggu, 21 mei 2000].