Wednesday, December 26, 2007

Liputan Dialog Teater di Radar Mojokerto

PELAKU TEATER LINTAS GENERASI CURHAT


Biro Seni Drama Dewan Kesenian Kota Mojokerto (DKM) Minggu 23 Desember 2007 mengadakan kegiatan bertajuk Dialog Lintas Generasi Tentang Perkembangan Seni Drama di Mojokerto. Bertempat di Gedung Dharma Wanita lantai 2 di Jl. Hayam Wuruk 50 Kota Mojokerto.
Acara dimulai pukul 09.54 oleh M.Misbakh sebagai Koordinator Biro Seni Drama DKM.
“Kegiatan ini merupakan tanggung jawab DKM khususnya Biro Seni Drama kepada publik. Adalah wajar sebagai lembaga yang mendapat dana operasional dari APBD sebesar 50 juta per tahun dan untuk Biro Seni Drama mendapat 2,5 juta rupiah untuk membuat laporan kegiatan.”
Menghadirkan narasumber Heriyanto Subekti (Sekretaris DKM) dan Bagus Yuwono (Lidhie Art Forum).
Heriyanto Subekti secara garis besar menjelaskan perkembangan teater di Mojokerto era 70-an saat aktif bersama kelompok teater Roda Roda. Juga fenomena Lomba Drama Lima Kota di Surabaya yang ikut mewarnai semaraknya teater di Mojokerto kala itu.

Bagus Yuwono sebagai narasumber berikutnya menjelaskan kegiatan Lidhie Art Forum yang telah mementaskan naskah karya Bagus Yuwono sendiri masing-masing Sisi Gelap Kamar Yuli dan sang Penggali batu.Bagus Yuwono yang baru saja menjadi PNS tersebut menjelaskan kiat-kiatnya dalam membuat jejaring teater antar kota dan pengalamannya dalam melatih teater pelajar di Teater Taman SMA Taman Siswa dan Teater Jingga SMAN 1 Puri Kabupaten Mojokerto.

Dialog antar generasi teater di Mojokerto selanjutnya menampilkan pembicara generasi tua pelaku teater modern dan tradisi di Mojokerto.
Ibnu Sulkan mengurai pengalamannya bermain ludruk sejak tahun 1963. “Saya pernah bermain di TVRI sebayak 19 kali antara lain menampilkan naskah-naskah lokal Mojokerto antara lain Kyai Sabuk Alu, Mbah Selo sampai Sunan Kalijaga.”
Cak Sulkan juga pernah bermain sinetron Secercah Liku Kehidupan bersama Rina Hasyim. “Semasa Pak Boimin menjadi Sekdakot saya pernah diminta membuat alat musik bernama Cumplingan Jeblok”, imbuh Cak sulkan di hadapan peserta dialog.
Cak Sulkan pernah menjadi pimpinan ludruk Putra Madya Mojokerto.

Hanibal dari SMAN 1 Kota Mojokerto memaparkan aktivitasnya semasa menjadi mahasiswa IKIP Negeri Surabaya (sekarang UNESA) bersama Teater Ritma. “Tahun 1984-1985 saya mengajar di Mojokerto dan mulai berkenalan dengan Mas Tatok D.Soemardi dan Mas Krisantus Sugiatmoko (sekarang bekerja di Dinas Infokom Kota Mojokerto). “Saya mengusulkan semacam arisan teater bagi komunitas teater di Mojokerto. Selain sebagai sarana kongkow kongkow juga menampilkan produksi terbaru tiap grup teater.”


Pembicara berikutnya adalah Tatok D.Soemardi dari Teater Roda Roda. “Saat ini saya menetap di Bandung dan kehadiran saya di forum ini merupakan blessing in disguise.”
Sebagai aktivis teater generasi lawas Tatok D.Soemardi menjelaskan panjang lebar peta teater di Mojokerto era 70 an.

Kegiatan diikuti sekitar 50 peserta sebagaian besar teater pejar khususnya teater Pegasus SMA PGRI 2 Kota Mojokerto dan teater Jingga SMAN 1 Puri Kabupaten Mojokerto, Suliadi (penyair asal Gedeg),pelaku dan aktivis kebudayaan, selebihnya pengurus Dewan Kesenian Kota Mojokerto antara lain saiful Bakri (biro sastra), Tavia Dewi (biro tari), Darto Kuswandi (biro musik). Satu peserta dari mahasiswa jurusan seni teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.

Bagian yang paling menarik adalah sesi tanya jawab. Sejumlah pertanyaan muncul berkisar hal mendasar sampai statemen yang argumentatif. Adelia dari teater Pegasus SMA PGRI 2 Kota Mojokerto bertanya apakah yang dipelajari dari teater, Cakra dari teater Jingga SMAN 1 Puri menanyakan adanya stigma dari masyarakat bahwa ikut teater sama saja dengan seperti orang gila.
Abdul Malik dari Banyumili menambahkan “ Saya mendapat kiriman email dari Bapak Anton de Sumartana pendiri Teater Swawedar bahwa teater di Mojokerto telah ada sejak 44 tahun lalu. Bapak Anton yang saat ini tinggal di Bogor mengirim profil dan data teater Swawedar sepanjang 5 lembar. Selanjutnya saya mendukung usulan Pak Hanibal untuk mengadakan arisan teater mulai tahun depan. Kita asumsikan tiap kelompok teater tampil tiap bulan dan mendapat bantuan biaya produksi 5 juta per produksi berarti setahun 60 juta. Saya berharap Biro Seni Drama meneruskan usulan program tersebut dan saya siap mendukung “.

Dialog juga membahas adanya perbedaan persepsi terhadap istilah teater pelajar dan teater umum.
M.Mismakh sebagai Biro Seni Drama mencoba menjawab “ Apakah di Mojokerto ada teater umum? Rony Yunarto dan LG, Bagus Yuwono dan Lidhie Art Forum, Andik L Hasan dan teater Kaca, dan saya sendiri teater Koalisi juga jarang pentas di kota sendiri. Yang ada malah kelompok teater cap stempel. Dalam kesempatan ini saya mengajak mari kita ramaikan kota kita dengan pentas teater yang berkualitas”.

Andik L. Hasan dari teater Kaca dan Study Teater Mojokerto (STEMO) mengusulkan kepada DKm untuk membuka kelas teater di sekretriat DKM
Namun usulan tersebut ditolak secara tegas oleh M.Misbakh dengan alasan bahwa DKM sebagai lembaga yang menaungi seluruh lembaga seni di Mojokerto. “Kalau DKM sebagai sanggar tentu akan menimbulkan kecemburuan banyak pihak”.

Rony Yunarto menambahkan sedikit pengalaman dari tiga tahun menjadi pelatih teater Payung Hitam SMAN 1 Sooko kabupaten Mojokerto.
Gatot Sableng memberi gambaran betapa pentingnya posisi teater pelajar dalam peta teater di Mojokerto.

Tatok D Soemardi menutup dialog siang hari tersebut dengan memberi masukan agar komunitas teater di Mojokerto mengadakan workshop dengan pelaku teater semisal Rendra sesering mungkin. “Mohon resume dialog teater hari ini dikirimkan juga ke DPRD dan Eksekutif Kota Mojokerto.”

Pukul 13.00 wib dialog selesai.
(***)

(Harian Radar Mojokerto, Rabu, 26 Desember 2007 halaman 28)

Informasi:
M.Misbakh
Biro Seni Drama
Dewan Kesenian Kota Mojokerto
Jl. Gajah Mada 149
Kota Mojokerto 61324
Hp 081 913 10 3365
Email:dewankeseniankotamo jokerto@gmail.com

Monday, December 24, 2007

Ludruk Karya Budaya di Festival Bengawan Solo

Dimuat di harian SURYA edisi Online www.surya.co.id pada rubrik Citizen Journalism, Jumat, 21 Desember 2007

Ludruk merupakan benteng kesenian terakhir yang harus dijaga di wilayah Jawa Timur. Ludruk Karya Budaya (LKB) Mojokerto mendapat undangan dari panitia Festival Bengawan Solo yang diadakan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Pemkot Surakarta. Kegiatan diadakan 14-16 Desember 2007 di Taman Sriwedari yang telah berusia 106 tahun. Membawakan lakon Joko Sambang, LKB mendapat giliran tampil Sabtu (15/12) dalam festival yang mengambil tema Lebih Akrab dengan Tradisi tersebut.

Penampilan LKB dimulai pukul 22.10 WIB setelah sebelumnya tampil pentas karawitan anak-anak, gamelan Bali oleh I Wayan Sadra, Tari Piring dari Minangkabau dan Tari Denok Deblong dari Semarang. Tari Remo oleh Cak Soekis membuka panggung Festival Bengawan Solo. Cak Slamet melanjutkan dengan Kidungan Jula Juli. Trio lawak Cak Trubus, Cak Slamet, dan Cak Supali membuat sekitar seratusan penonton terbahak-bahak.

Lakon Joko Sambang bercerita tentang masa penjajahan Belanda yang sedang mengadakan pembangungan jembatan di Porong lewat program kerja paksa. Setiap
lurah wajib mengirim 10 rakyat untuk kerja rodi. Adalah Bintoro (Cak Soekis), Lurah Gunung Gangsir, satu-satunya lurah yang menolak mengirim rakyat kepada kumpeni.

Sementara itu Lurah Abilowo (Cak Muzet) bersama Carik Bargowo (Gawok) sibuk mengatur siasat untuk menjilat kumpeni. Keduanya berinisiatif melaporkan Bintoro
agar ditangkap kumpeni. Namun ternyata diam-diam Abilowo menaruh hati pada Sutinah (Ririn) istri Bintoro. Kumpeni langsung menangkap Bintoro dan memasukkan dalam penjara, berkat laporan Abilowo dan Bargowo.

Sutinah dan orangtuanya mencari Joko Sambang (Cak Mujiadi Zakaria), putra satu-satunya Lurah Bintoro dan Sutinah untuk menyerahkan keris pusaka. Joko Sambang sedang bertapa di petirtaan Jolotundo di lereng Gunung Penanggungan. Penampilan Trubus dan Slamet sebagai kumpeni sekali lagi membuat penonton terpingkal-pingkal. Penonton juga memberi aplaus pada penampilan laga para pemain ludruk Karya Budaya.

Akhir cerita Joko Sambang berhasil mengusir penjajah Belanda dan membebaskan rakyat dari kerja paksa. Lakon Joko Sambang terasa aktual karena mengusung semangat vox
populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan.

Agung Priyo Wibowo, salah satu panitia Festival Bengawan Solo 2007 menyatakan kekagumannya pada gaya lawak trio Slamet, Trubus, Supali. “Saya semakin yakin ludruk merupakan benteng kesenian terakhir yang harus dijaga di wilayah Jawa Timur. Tentu menarik jika ada yang berminat membuat website khusus ludruk sekaligus museum ludruk,” katanya.”Usia Ludruk Karya Budaya yang telah mencapai 38 tahun dan frekuensi pentas 180 kali setahun juga merupakan pertimbangan khusus dari panitia bagaimana sebuah kelompok kesenian tradisi masih dapat bertahan sampai hari ini.”
Pukul 00.30 WIB LKB menutup penampilan Festival Bengawan Solo malam itu.

Oleh
Abdul Malik
Kradenan, Mojokerto
banyumili@telkom.net
http://kurakurabiru.multiply.com
http://majapahitan2.blogspot.com

Saturday, December 22, 2007

Dialog Perkembangan Seni Drama di Mojokerto

Salam budaya,

Memilah jenis berkesenian yang sedang ini saat ini lebih didominasi seni yang mengarah pada hiburan sesaat yang lebih diwarnai kemewahan, hura-hura dan tidak jarang terjadinya tawuran, tapi sayang seni yang mengarah pada kesederhanaan dan dapat menghibur nurani dengan mengedepankan rasa dari pada mata serta dapat merubah perilaku pemain maupun penonton tidak berkembang ?

Seni drama Ya ! Yang modern (teater) kita kembangkan sebagai alternatif untuk membangkitkan gairah remaja berkesenian sedangkan yang drama tradisi (ludruk, gambus, wayang orang, ketoprak, dll) kita jaga kelestariannya. Siapakah yang sebenarnya berhak mewujudkan harapan diatas? Apakah Pemkot Mojokerto melalui Dewan Kesenian Kota Mojokerto nya atau seniman sendirian dengan segala keterbatasannya? Jawabannya tentu tidak ! Bersinergi untuk mewujudkan masyarakat berbudaya merupakan kebutuhan bersama.

Sebagai langkah awal keberlanjutan pemberdayaan berkesenian Dewan Kesenian Kota Mojokerto Biro Seni Drama yang membidangi tumbuh kembangnya seni drama modern/tradisi dengan senang hati mengajak para seniman dan penggiat kesenian di Mojokerto untuk bersama-sama merumuskan langkah apa saja yang perlu untuk menggairahkan kembali seni drama di masa mendatang.

Penghargaan tiada tara kami sampaikan bila Bapak/Ibu/Saudara para seniman dan penggiat seni berkenan hadir di acara yang akan kami selenggarakan sebagai bentuk kepesertaan dalam mewujudkan tumbuh kembangnya seni drama.

Acara : Dialog Lintas Generasi Tentang Perkembangan Seni Drama di Mojokerto
Pelaksana : Biro Seni Drama Dewan Kesenian Kota Mojokerto
Pembicara : Bagus Yuwono (Lidhie Art Forum) dan Heriyanto Subekti (Dewan Kesenian Kota Mojokerto)
Tempat : Gedung Dharma Wanita kota Mojokerto Jl. Hayam wuruk 50 Kota Mojokerto
Waktu : Minggu, 23 Desember 2007 pukul 08.30 wib-selesai.


Mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas dukungan dan dorongan atas terlaksananya kegiatan ini baik sebelum dan sesudahnya. Wassalam.

Biro Seni Drama,
M.MISBAKH
Hp 081 913 10 33 65
Biro Seni Drama
Dewan Kesenian Kota Mojokerto
Jl. Gajah Mada 149 Kota Mojokerto 61324
Jawa Timur
email: dewankeseniankotamojokerto@gmail. com
http://dewankeseniankotamojokerto. blogspot. com

Friday, November 30, 2007

Ludruk Karya Budaya Goes To Festival Bengawan Solo

Sabtu, 01 Des 2007
Persiapan Ludruk Karya Budaya yang Diundang pada Even Nasional Bengawan Solo


Siapkan Lakon Joko Sambang, sebagai Misi Kebudayaan
Menjadi satu-satunya grup ludruk yang dipilih dalam ajang budaya Bengawan Solo Festival 2007, membuat kelompok ludruk pimpinan Cak Edy Karya ini bersiap diri. Sayang, pada kesempatan tersebut Cak Edy sendiri tidak bisa menyertai karena hari ini sudah harus masuk asrama haji untuk berangkat ke Tanah Suci.

KHOIRUL INAYAH, Mojokerto

ALUNAN musik gamelan khas ludruk mengalun di sela-sela rumah warga di Desa Canggu Kecamatan Jetis Kabupaten Mojokerto. Sesekali musik tersebut berhenti, berganti dengan dialog dalam bahasa Jawa khas. Tak lama kemudian diiringi musik lagi.

Demikianlah, hampir setiap hari ada kegiatan di Pondok Jula Juli Karya Budaya, Dusun Sukodono RT 1/RW 2, Desa Canggu Kecamatan Jetis yang menjadi markas Ludruk Karya Budaya yang dipimpin oleh Eko Edy Susanto, kepala cabang Dinas P dan K Kecamatan Magersari Kabupaten Mojokerto ini.
Frekuensi ini semakin ditingkatkan seiring dengan datangnya undangan dari panitia Festival Bengawan Solo 2007 pada 13-16 Desember mendatang.

Apa yang akan dibawa? Cak Edy Karya menuturkan pihaknya akan menampilkan lakon Joko Sambang. Nama ini di Mojokerto sudah cukup terkenal, karena menjadi cikal bakal berdirinya Kabupaten Mojokerto setelah Majapahit runtuh.
Joko Sambang merupakan salah anak satu keturunan Raja Majapahit yang mati muda. Proses perebutan kekuasaan inilah yang akhirnya menewaskan Joko Sambang dalam usia belasan tahun.

Undangan yang ditandatangani ketua panitia Dharsono ini terasa istimewa bagi Cak Edy Karya. Karena even Bengawan Solo Festival sudah cukup terkenal dan menjadi agenda rutin Pemkot Solo. Karena itu, meskipun "hanya" mendapatkan honor Rp 5 juta, pihaknya pun memberangkatkan tim dengan segenap kemampuan maksimal. Padahal, kalau manggung di hajatan bisa mencapai Rp 8 juta per pertujukan. "Ini istimewa karena ada misi budaya," ujarnya.

Selain itu, tampil di ajang festival akan menambah jam terbang dan mentalitas pemain yag terbiasa tampil pada ajang lokal. Meskipun, untuk Ludruk Karya Budaya sendiri bukan lagi bisa disebut kelompok ludruk lokal, karena sudah berkali-kali mendapatkan pennghargaan pada ajang-ajang festival.

Selain itu, masa festival tersebut bagi Karya Budaya termasuk bulan sepi order. Karena memasuki bulan Selo (bulan Jawa, Red). Pada bulan ini, orang Jawa tidak mau membuat hajatan apalagi nanggap ludruk. Selo diartikan keseselan olo (terkena musibah, Red). Sehingga, tidak mengganggu jadwal yang ada. Untuk bulan Desember, ludruk ini baru mulai tampil pada tanggal 17 Desember, sehari setelah datang dari Solo. Tercatat, hingga akhir tahun ada 8 pertunjukan yang harus dilakoni ludruk ini. Antara lain, Lakarsantri Surabaya, Krembug Sidoarjo, Driyorejo Gresik dan beberapa lainnya di Mojokerto.

Selain Ludruk Karya Budaya, yang akan tampil pada ajang ini antara lain beberapa kesenian se-Indonesia.
Misalnya, gamelan Bali, Minangkabau Group, Sanggar Greget Semarang, Seni dan Budaya Sunda Jakarta, Bengkel Seni Kutai Kalimantan Timur, serta Wayang Kulit Solo. (*)

(Harian Radar Mojokerto)

Sunday, November 18, 2007

Cupak Tanah: Spirit Tradisi dan Semangat Modern

Cupak Tanah: Spirit Tradisi dan Semangat Modern

Senin, 12 Nopember 2007 pukul 19.00 WIB. Bau dupa mulai tercium begitu memasuki Gedung Gelangang Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Setting panggung sangat sederhana. Tampak level setinggi dua meter dan bambu berbentuk segitiga dibalut kain kotak hitam putih. Tata lampu sederhana.

Pukul 19.30 WIB, penonton mulai memasuki ruang pertunjukan. Sekitar 200 penonton memenuhi gedung Gema meskipun tidak semuanya membeli tiket seharga tiga ribu rupiah. Mereka berasal dari Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan tentu saja Surabaya. Banyaknya penonton (khususnya luar kota) merupakan kerja yang patut diacungi jempol dari Luhur Kayungga dkk dari Lintas Masyarakat Teater Jawa Timur. Suasana gedung cukup panas, hanya ada beberapa kipas angin, sedangkan pendingin udara tidak tersedia.

Pukul 20.15 WIB Lampu padam dan pementasan Cupak Tanah Produksi Sanggar Kampoeng Seni Banyoening, Singaraja, Bali, dimulai. Sembilan pemain—dua di antaranya perempuan—muncul membawa daun pisang menutup wajah mereka. Seluruhnya memakai kostum kotak-kotak hitam putih khas Bali. Mereka bergerak di panggung sambil menumpahkan air. Tanah di atas panggung menjadi becek. Penonton hanya berjarak satu meter dengan pemain. Separuh penonton berdiri di belakang. Mereka terlihat antusias mengikuti pementasan. Salah seorang pemain membacakan riwayat Cupak.

Lampu padam karena korsleting. Pementasan berjalan terus. Lampu neon gedung dinyalakan. Di sini terlihat kekuatan pemain Cupak Tanah sebagai seniman tradisi. Terlatih spontanitas.

Cupak (Nengah Wijana) tengah tiduran dengan kaki bersilang di atas level. Sembilan pemain berjejer di sekeliling Cupak. Mereka berusaha membangunkan Cupak yang sedang terlelap. Cupak bangun dengan perlahan. Mereka mulai berdialog tentang rakyat yang sudah mulai habis memiliki tanah tempat mereka hidup. Mengingatkan penonton pada tragedi lumpur Lapindo yang tak begitu jauh dari kampus IAIN Surabaya.

Humor seringkali hadir di atas pentas membalut narasi yang sarat kritik. Sehingga pementasan tidak terlalu membuat kening kita berkerut. Humor muncul dalam bentuk teks maupun bahasa tubuh. Pementasan malam itu seakan mengingatkan akan kebiasaan pemimpin di negeri kita yang mudah lupa—lupa pada tragedi lumpur Lapindo, hutan tropis Kalimantan yang mulai habis, tambang emas Freeportyang tak juga membuat masyarakat Papua sejahtera. Malam itu Milan Kundera seakan hadir menyampaikan pesan bahwa, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”

Mereka memasukkan isu-isu lokal agar pementasan malam itu lebih mengena pada penonton misalnya soal pemilihan Gubernur Jatim yang memang mulai menghangat, namun tak semuanya tepat seperti ungkapan, “Harga tanah paling mahal adalah tanah Balaikota di Jalan Pahlawan”. Letak Balaikota Surabaya di dekat Jalan Walikota Mustajab, sementara di jalan Pahlawan adalah kantor Gubernur Jawa Timur.

Deddy Obeng salah satu penonton memberikan komentar bahwa pementasan Cupak Tanah menarik dari sisi vitalitas dan eksplorasi bahasa tubuh, juga spontantitas pemain misalnya ketika lampu padam, terjatuh karena tanah becek di panggung.

Secara pribadi saya tertarik dengan pementasan Cupak Tanah karena Kampoeng Seni Banyoening memadukan spirit tradisi (mengingatkan pada pementasan ludruk Karya Budaya di Mojokerto) dengan semangat modern lewat sosok Putu Satria Kusuma. Dalam diskusi seusai pentas, Putu Satria Kusuma mengaku telah membaca literatur Teater Miskin (Grotowski), Teater Realis (Stanislavsky).

Tepat pukul 21.15 wib pementasan berakhir.

**

Diskusi dimulai pukul 21.25 wib dengan narasumber Drs Hardiman, M.Si (Dosen Seni Rupa Universitas Pendidikan Singaraja(Undiksha), Kurniasih Zaitun, S.Sn (dosen teater STSI Padangpanjang), Putu Satria Kusuma (sutradara Cupak Tanah), moderator Anwar Sobary (Teater Pancar).

Suasana diskusi berjalan serius namun santai diikuti sekitar 100 peserta. Sebagian besar pertanyaan berkutat pada istilah teater tradisi dan modern. Hardiman menjelaskan perkembangan teater di Bali dan posisi Kampoeng Seni Banyoening (nama ini diberikan oleh penyair Umbu Landu Paranggi) sebagai sebuah kampung seni. Dalam bagian lainHardiman menjelaskan sosok Putu Satria Kusuma sebagai warga Kampoeng Seni Banyoening namun terpengaruh juga dengan kehidupan teater di luar kampung seni. Kurniasih Zaitun merasa terkesan dengan penampilan Cupak Tanah di mana spirit tradisi begitu kental. Putu Satria Kusuma menjelaskan pemilihan bentuk setting yang berbeda dari dua tempat sebelumnya—Celah celah langit (Bandung) dan ISI (Yogyakarta). Sebagai penutup Halim HD menjelaskan ada baiknya peserta diskusi tidak terlalu mempersoalkan istilah tradisi dan modern tetapi lebih melihat pada vitalitas tubuh aktor dan tema yang diusung malam itu bahwa tanah bukan hanya persoalan tempat tinggal tetapi hidup mati. Diskusi berakhir pukul 22.30 wib.

Banyaknya penonton malam itu semoga menunjukan indikasi segmentasi penonton seni di Surabaya sudah mulai terbentuk mengingat pada saat yang sama Taman Budaya Jatim sedang menyelenggarakan Festival Cak Durasim.

Selamat dan sukses untuk pementasan Cupak Tanah Sanggar Kampoeng Seni Banyoening. (Abdul Malik)

Dimuat di www.kelolaarts.or.id

Yayasan Peduli Mojopahit

Minggu, 04 Nov 2007,
Ungkap Peradaban Yang Pernah Jaya

Sejarah mencatat, kejayaan Kerajaan Majapahit tak hanya mampu menyatukan kerajaan-kerajaan di Nusantara, tapi juga kesohorannya ketika membuat Madagaskar bertekuk lutut. Namun, itu semua tinggal cerita. Wujud Kerajaan Majapahit hingga kini masih dicari melalui berbagai situs maupun relief peninggalannya.

Itulah yang melatarbelakangi dideklarasikannya Yayasan Peduli Mojopahit yang dipelopori Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luluk Sumiarso, tadi malam. Deklarasi yang dihelat di Hotel Majapihit itu dihadiri para tokoh, budayawan, arkeolog, maupun akademisi. Mantan gubernur Jawa Timur H.M. Noer adalah salah satunya.

Luluk bersama para tokoh yang memiliki kepedulian terhadap Kerajaan Majapahit ingin mengungkap peradaban dan merekonstruksi keberadaan kerajaan tersebut. Mereka yang ikut membidani lahirnya yayasan tersebut antara lain, Prof Budi Santoso, arkeolog dari Universitas Indonesia (UI) dan Jendral Wijoyo Suyono (mantan Dirjen Kebudayaan dan juga seorang arkelolog). Deklarasi dan sarasehan Yayasan Peduli Mojopahit itu dikupas bersama Luluk Sumiarso, Chairman/CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan (wakil ketua), Prof Budi Santoso, Wijoyo Suyono, Langit Krisna Hariyadi (penulis buku Gajah Mada), dan Widorini (pengusaha).

Dibuka Dahlan Iskan, ajang tersebut ingin mengumpulkan pikiran maupun sumbangan ide dari berbagai pihak. "Saat ini hanya ada situs-situs dan berbagai uraian dari buku Negarakertagama. Karena itu, malam ini menjadi momen untuk bertukar pikiran," ujar Luluk.

Supaya arah pengkajian dan penelusuran sejarah yang dilakukan benar, di belakang yayasan ini telah berdiri ahli-ahli arkeolog yang siap mengawal. "Supaya apa yang kami kaji tidak melenceng dari hal-hal ilmiah," jelas pria penggemar lagu-lagu Campursari itu.

Yayasan ini juga terbuka dan mengajak semua pihak yang memiliki kepedulian terhadap Kerajaan Majapahit untuk bergabung. Budi Santoso menambahkan, selain merekontruksi Kerajaan Majapahit, yang penting dalam pengkajian itu adalah inspirasi yang diperoleh. "Baik dari segi arsitektur, teknologi, maupun peruntukannya untuk apa?" ujarnya. Sebab, apapaun, sejarah telah membuktikan bila Indonesia pernah berjaya. "Maka, sejatinya kita pun bisa meraih kejayaan itu kembali," ucapnya.

Dalam deklarasi itu juga dipampang berbagai sejarah yang berkaitan dengan Majapahit. Di antaranya, silsilah raja-raja Tumapel-Singosari-Majapahit, rekaan perspektif tepi sungai pada masa Majapahit, maupun rekaan persepktif permukiman pada masa Majapahit (berdasarkan situs). (kit)

(Harian Jawa Pos)

Thursday, November 15, 2007

Cerpen: Saat pertunjukan di Candi Bajangratu itu berlangsung, meneteslah air mataku

CERPEN HARDJONO WS:

SAAT PERTUNJUKAN DI CANDI BAJANGRATU ITU BERLANGSUNG, MENETESLAH AIR MATAKU

Pagi itu aku akan melihat sebuah tontonan di Bajngratu,candi yang berdiri megah ini menjadi saksi bahwa negeri ini pernah menjadi negeri besar dan ternama.

Ratusan tahun candi ini berdiri dan telah mengalami perbaikan supaya tidak roboh. Berdiri di atas pelataran yang ditata rapi, menyapa pengunjung dengan kesepiannya sendiri dan tidak bisa berkata apa apa meski mampu menjadi saksi bisu tentang sejarah negeri ini.

Aneh, pagi itu menjadi lain.

Umbul umbul sebagai kebesaran negeri ini masa lampau berkelebatan ditiup angin. Mobat mabit amat anggunnya. Berwarna warni merah, kuning, hitam dan putih sebagai lambang hidup diri manusia.

Warnapun bagi nenek moyang kita dulu amat berarti untuk mawas diri.

Pemain musik telah menempati tempatnya masing masing, dan amat sederhana. Tidak seperti pementasan pementasan yang harus diiringi gamelan.

Gender, gong dan kendang mulai terdengar pelan. Makin lama makin keras dan tiba tiba berhenti ketika kendang menyentak kemudian ditimpali suara gender amat nyaring. Nikmat terdengar. Dari arah candi muncul arak arakan dengan segala kebesarannya meski tidak mewah.

Seorang anak muda duduk di atas tandu sementara tembangpun muncul diantara bunyi gamelan.

Aneh, suasana candi Bajangratu berubah tiba tiba menjadi semarak seakan candi itu sendiri salah satu dari ratusan penonton yang saat itu menonton pementasan.

Bajangratu saat itu seakan diam, tetapi menikmati dengan sepenuh hati tontonan pagi itu.

Setelah arak arakan itu masuk, tiba tiba muncul adegan perang dan seorang narator membaca naskahnya dengan cara dibaca seperti membaca puisi. Sesekali tembang muncul dengan suara khasnya suara pesinden meski yang melakukan masih muda.

Tiba tiba air mataku menetes keluar dari pelupuk mata. Aku ingat anakku Ganang beberapa tahun yang lalu pergi ke kota lain setelah membawa kekecewaan yang amat berat.

Masih ingat bagaimana ia menangis berkepanjangan agar diijinkan untuk mengikuti kegiatan semacam itu.

“Aku kan tidak melupakan tugas tugas utamaku sebagai anak sekolah. Nilai di rapot kan tidak pernah jelek,” kata nya meyakinkan diri.

Pikiranku hanya satu kepada bapaknya yang sejak awal kurang senang kalau Ganang mengikuti kegiatan kesenian di sekolahnya.

Ayahnya amat sayang kepada satu satunya anak semata wayang itu. Mengapa mengikuti kegiatan teater tidak mengikuti tari atau menyanyi saja ?

“Teater itu bagian pendidikan di sekolah pak dan itu bukan merupakan tujuan bagi anak anak. Proses menjadi manusia pak,” katanya lagi saat berhadapan dengan ayahnya di gandok depan rumah menirukan kata kata pelatihnya yang kebetulan juga gurunya sendiri. Aku terhenyak sejenak.

“Pokoknya kau harus berhenti dari kegiatan itu kalau kau mau meneruskan sekolah,” kata ayahnya keras.

Tak ada yang diucapkan Ganang saat itu kecuali menangis dan langsung masuk kamarnya. Tak mampu melakukan perlawanan terhadap keputusan ayahnya, dan aku hanya bisa diam.

Tiba tiba terdengar suara tepuk tangan amat meriah, dan tontonan di pelataran candi itupun usailah. Semua penonton memberi selamat berjabat tangan dengan para pemain termasuk kepada Ganang sutradaranya sendiri.

Air mataku tak dapat kubendung lagi, dan aku sendirilah yang tahu arti air mata itu. Terharu dan tersadar dengan apa yang baru kunikmati pagi itu. Aku menangis pagi itu. Candi Bajangratu tetap diam dengan gagahnya. Yang kulihat tidak hanya saja candi perkasa ini, tetapi seakan ikut mengucapkan selamat kepada para pemain dan kepada anakku yang saat itu tak mampu menolak pelukan candi dengan hangat seakan berbisik :”Selamat dan terimakasih Ganang” Aku hari ini banyak dikunjungi anak cucuku dengan penuh suka cita.”

Aku memandang dari jauh, seakan ikut melihat dan mendengar candi bajangratu bercerita tentang dirinya.

Menurut ceritanya Bajangratu ini lebih tepat kalau tidak disebut candi, tetapi sebagai pura atau gapura. Ini kalau dilihat dari bentuknya. Hanya sebagai bangunan untuk lewat dari sebuah temapt ke tempat lain, melewati tangga yang naik dan turun, bentuk paduraksa.

Sejarah juga telah menulis dengan ragu ragu tentang keberadaannya dan fungsi candi ini. Sebagai peringatan tentang pemerintahan sang raja jayanegara atau tempat abu raja itu sendiri.

Sebagai seorang penonton yang cukup senang menikmati tontonan yang menarik ingin rasanya aku lari dan memberi selamat kepada seluruh pemain terutama kepada Ganang anakku sendiri, tetapi aku malu.

Yang kulakukan hanya kubiarkan air mataku mengalir deras dan sesekali kupejet hidungku karena air hidung akhirnya tak mau mengalah ingin menunjukkan keharuanku juga.

Pikiranku meloncat amat jauh menembus ruang dan waktu yang amat panjang.

Semenjak larangan ayahnya tak dapat dibantah lagi, akhirnya Ganang menjadi anak pendiam. Tak ingin mengikuti kegiatan apa apa di sekolah. Ganang menjadi pemurung.

Aku tahu itu semua, tetapi aku tak mampu melawan, sampai ayahnya mendapat tugas di tempat yang masih sering terjadi perang saudara di negeri sendiri. Ayahnya harus berjuang memadamkan pemberontakan di daerah Timor Timor yang akhirnya harus pulang hanya nama saja.

Kematian ayah makin membuat Ganang semakin murung seakan tak ada lagi semangat untuk hidup.

Hari-harinya hanya diisi dengan sekolah sebagai kewajiban saja bukan sebagai suatu hal yang membuat seseorang makin perkasa dan semangat.

Nilai rapotnya selalu pas pasan dan benar benar membuat Ganang tidak memiliki gairah sama sekali.Sampai suatu ketika ia bertemu lagi dengan pak Bagas pelatih keseniannya dulu.

“Tidak pak, aku sudah mati dan aku tak tahu harus melanjutkan ke mana nanntinya,apalagi ibu kan hidup sendiri.”

“Kenapa tidak dendam?” tanya pak Bagas.

“Kepada siapa ?” Ganang balik bertanya.

“Kepada ayahmu sendiri?” pancing pak Bagas.

“Kepada ayahku?” tanya ganang.

“Ya.Tahu bentuknya dendam itu?”

“Nggak pak” jawab Ganang tegas.

“Dendam tidak mesti selalu jelek.sekarang yakinkan pada orang tuamu apa yang kaulakukan amat baik dan bisa berguna untuk orang lain. Ganang dulu kan dilarang untuk kegiatan kesenian karena sayang berkelebihan dari ayahmu. Sekarang ayahmu sudah tidak ada.Yang melarang dan berkuasa tidak ada. Mengapa tidak kau teruskan lagi impianmu dulu sampai menjadi kenyataan?’

Ganang diam,berpikir agak lama.

“Hidup ini milikmu Ganang,bukan milik siapa siapa.Tergantung pada dirimu sendiri tentang pada dirimu sendiri tentang hidup ini. Kau buat apa hidupmu ini.Semua ini tergantung padamu.

“Mau kau buat baik atau jelek, semua ini tergantung pada dirimu.”

Ganang makin diam.

“Kau buat untuk merenung terus tanpa dendam yang positip?Tak ada yang bisa kaulahirkan dari pekerjaan merenung terus.”

Aku tersadar,bangku bangku tempat penonton sudah mulai kosong.Seorang demi seorang sudah mulai pulang.

Kulihat para pemain dan Ganang masih dikerumuni penonton malah beberapa wartawan sedang mewawancarai.

Untuk yang kesekian kalinya aku menangis, air mataku menetes tetapi tidak sederas seperti tadi.

Angin semilir datang menerpa tubuhku terasa sedikit segar meski matahari sudah merangkak sejak tadi tetapi belum sampai di pertengahan langit atas Bajangratu.

Candi megah yang terletak didesa Dukuh Kraton Kecamatan Trowulan pagi itu benar benar tampak semarak.

Biasanya sepi,tetapi pagi itu tampak semarak dan gairah.

Mobil wisata atau disebut mobil kereta dengan warna warni yang semarak tampak berderet di tepi jalan. Begitu juga mobil mobil pribadi juga berderet di tempat yang sudah tersedia.

Candi bajangratu tampak makin anggun seakan ikut mengantar tamu sampai di pagar kawasan candi.dengan latar belakang pelataran yang ditumbuhi rumpaut dan pepohonan yang rimbun, candi ini makin anggun dan asri.

Candi ini pernah direnovasi agar tak roboh.

Di bagian dalam candi ditahan dengan besi yang cukup kuat.

Sayang cara pengerjaannya sedikit kasar,sehingga besi itu sedikit menampakkan ketidakasliaan candi ini.

“Ayo bude ke mas Ganang,”ajak ponakanku.

“Nanti saja.Kau saja yang ke sana,”jawabku menutupi rasa malu sekaligus kebanggaan yang tak mungkin kusembunyikan.

Setelah ayahnya gugur di medan perang,Ganang memaksaku untuk mengijinkan melanjutkan studinya di bidang kesenian dan satu satunya kota yang dituju adalah Jogjakarta, karena di kota ini juga ada kakak ayahnya.

Ganang tak bisa dicegah, dan apa yang dilakukan saat pulang menjengukku adalah permohonan maafnya sekaligus doa restu dariku untuk meniti hidupnya sesuai pilihannya sendiri bukan pilihan ayahnya atau aku sendiri.

Akhirnya aku yang menyerah kalah.kalah tanpa peperangan.

“Ganang ingin melakukan sesuatu untuk kota kelahiranku,”katanya saat pulang ke rumah dengan beberapa temannya.

“Kalau ayah bisa berbuat sesuatu buat bangsa dan negaranya sampai harus gugur di medan perang, aku juga ingin mempersembahkan sesuatu meski hanya untuk sebuah kota,’ katanya dengan keyakinan yang tampaknya tak mungkin mau surut kembali.

“Aku dilahirkan di kota yang pernah menjadi sebuah negeri pusat kebudayaan saat itu, ingin rasanya Ganang bercerita kepada siapa saja yang ingin mendengar ceritaku tentang negeri ini sekecil apapun,”katanya.

Aku makin percaya ada sesuatu kekuatan dalam dirinya, apalagi setelah berani beberapa tahun tinggal di luar kota kelahirannya.

Trowulan kota kecil,sebuah kota kecamatan di kawasan kabupaten Mojokerto adalah kota yang menyimpan sejarah besar di negeri ini.Mojopahit yang mengenalkan bendera merah putih, mengumandangkan Bhinneka Tunggal Ika seperti Sumpah Palapa nya Patih Gajamada.

Jauh sebelum negeri ini memiliki Sumpah Pemuda tahun 1928, Gajah Mada sudah menyampaikan Sumpah Palapa.Tak akan tidur nyenyak sebelum Nusantara ini menjadi sebuah kawasan yang bersatu.

Trowulan inilah yang menjadi obsesi Ganang untuk berbuat sesuatu bagi kotanya.

Membangunkan candi yang tidur panjang dengan rambutnya yang rapi dan bersih.

Menggeliat bangun menyampaikan salam dan senyumnya yang hangat kepada pewaris bangsa ini lewat pertunjukkan keseniannya.sejak aku masih kecil sampai menjadi guru, aku beberapa kali melihat candi ini, tak pernah berubah.

Bagaimana aku bersama temanku melihat candi candi di Trowulan dengan perasaan senang hanya karena bisa bepergian bersama sama teman sekelas.Guru pun tak pernah memberikan cerita yang bisa kuingat sampai sekarang.

Aku senang tetapi terasa hambar karena tak mendapat apa apa.Begitu juga saat aku menjadi guru dan bisa mengajak murid muridku melihat candi bajangratu ini.

Kebahagiaanku hanya satu bisa menyenangkan hati murid murid bisa menikmati warisan nenek moyang kita.

Saat aku menjadi murid sampai menjadi guru, candi ini tak pernah ada perubahan sama sekali.

Asri,tetapi sepi dan lengang seakan tak ada kehidupan kecuali menikmati onggokan batu yang tersusun rapi,kuat dan indah.

Hari itu aku bisa merasakan bagaimana candi itu merasa amat bahagia karena merasa hidup kembali.

Aku bahagia dan tiba tiba air mataku menetes lagi, karena aku yakin ayah Ganang saat melihat dari sana jauh dan amat jauh pasti kebahagiaan yang muncul dan pasti permintaan maaf akan disampaikan kepada anakku.

Seperti apa yang dimainkan para pemain, kisahnya tidak jauh dari sejarah candi itu sendiri sehingga para penonton bisa mengerti sejarahnya.

Layaknya seorang guru berserita tentang setangkai kembang, di tangan kannya telah tersedia kembang yang diceritakan.

Bajang artinya kecil.

Ratu artinya raja.

Raja yang memerintah Mojopahit setelah R.Wijaya adalah anaknya sendiri Raden Jayanegara.Ia diangkat menjadi raja ketika masih kecil.

Pemerintahan tak bisa tenang dan damai.Di mana mana perang saudara terjadi karena kurang puas dengan kebijakaksanaan sang raja.

Muncul pemberontakan pemberontakan Ra Kuti,Ronggolawe dan lain lainnya.

Jayanegara tak mapu memadamkan pemberontakan itu dan akhirnya mangkat karena ulah sahabat terdekatnya: Tanca.

Untuk memperingati wafatnya raja yang masih kecil itulah Bajangratu itu dibangun.

Diperkirakan Bajangratu didirikan antara Abad XIII dan awal Abad XIV karena raja Jayanegara wafat pada tahun 1328 [strata dhinar meng kappongan,bhiseka ringesrenggapura pratista ring antawulan] ini tertulis pada Pararaton.

Pigeud yang menerjemahkan Negara Kertagama menceritakan bhawa sang raja wafat tahun 1328 dan didharmakan di dalam kedaton. Arcanya dalam bentuk Wisnnu terdapat di Shila Petak dan Bubad.Bubad itu terletak di Trowulan sedang Sela Petak yang belum diketahui dengan pasti sampai sekarang.

Kubaca sekali lagi tembang yang ditulis dalam synopsis serta cuplikan naskah pertunjukan pagi itu.

Hei prajurit kang angesti

Aja cidra neng negaramu

Andepani tanah wutah ludira

Anatepi sumpahira…..

Para dewa di atas langit

Dengarkan sumpahku ini

Aku tak memiliki ibu dan bapak

Ibu bapakku adalah tempat ajalku kelak

Tempat aku lahir dan mengenyam nikmat

Para dewa di dalam bumi

Dengarkan sumpahku ini

Aku tak punya anggota badan lagi

Anggota badanku adalah bakti pada pertiwi

Anggota badanku adalah cinta pada negeri

Mereka adalah alat alat yang tak mampu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya

Mereka hanya mapu berkata daulat tuanku raja

Perang terjadi dimana mana banjir darah menggenang dimana mana

Air mataku menetes lagi satu satu.

Yang lewat dan singgah di pikiran dan batinku adalah bayangan ayah si Ganang saat bertugas di daerah pertikaian di negeri ini:Timor Timur.

Dia hanyalah alat yang tak mapu berkata tidak saat sang raja para penguasa memerintah lewat mulutnya.

Ia harus bertugas menumpas para pemberontak.Ia gugur di medan perang.

Ia tak punya anggota badan lagi.anggota badannya hanya baktinya kepada negeri ini.Anggota badannya hanya cinta pada negeri ini sampai ia harus mati meninggalkan keluarganya.

Memang sebagai seorang prajurit sejati ia wajib memiliki semboyan yang ditulis Ganang anaknya sendiri.Anaknya yang tak pernah diperbolehkan memasuki dunia seni.

Sampai pada saat pamit hendak pergi ke tempat tugas,pesan yang disampaikan tetap tak berubah:”tolong Ganang,jangan diperbolehkan menerskan kegiatannya.Sebuah tempat telah kusiapkan untuk hidupnya supaya baik untuk masa depannya.”

Aku tersadar saat seseorang mencari cariku mendekat dan mengajak segera ke tempat para pemain karena Ganang sudah lama menungguku.

Aku segera menuju para pemain yang masih sibuk untuk mengemasi pakaian dan bersiap untuk pulang.

Pada wajah wajah mereka tampak kebahagiaan yang pasti orang lain tak mampu merasakan.

Berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat sekan mereka telah menyelesaikan tugas yang amat besar.

Aku tak bisa menyembunyikan perasaanku sendiri.dan aku tak mengerti perasaan apa yang muncul saat itu.

Terharu,malu,bahagia,bercampur aduk menjadi satu.sementara seorang penonton tiba tiba datang dan memberi selamat kepadaku.

“Selamat bu,putranya telah berhasil.”

Tangan itu terus kugenggam erat sebab yang muncul dalam pikiranku malah muncul hanya satu:malu.

“Kenapa bu?” tanyanya dengan heran.

“ Tidak apa apa,” jawabku agak berat.

“Mas Ganang berhasil membangunkan candi yang sudah ratusan tahun menikmati tidur panjangnya.”

Aku makin terpuruk mendengar pujian itu.

Aku ingin menangis keras keras,karena merasa tak kuat menahan perasaan malu yang makin lama makin bertumpuk.

Ganang muncul dan dan aku tak ingin ia yang menjabat tanganku lebih dahulu.Kusambut tangannya dengan mesra,jabatan tangan seorang ibu yang menumpahkan segala perasaan tentang rasa terharu,malu,bahagia dan bersalah.

Bergejolak perasaan itu bergumpal gumpal menyesakkan dada salaing tindih persaan itu.

Saling bergumul dan saling mencabik membuat nafasku makin sesak, dan satu satunya jalan hanyalah sebuah pelukan dan air mata kubiarkan deras sederas perasaanku padanya.

Kupeluk erat erat bahu Ganang,tak ingin kulepaskan sebelum aku selesai mengucapkan segala perasaan dan rasa bersalahku meski itu hanya bisa kuucapkan dalam hati.

Setelah puas kulepaskan pelukanku,tetapi mataku tak mampu memandang arah lain.Kupandang anakku.

Yang kulihat adalah seorang laki laki gagah tak ubahnya bapaknya sendiri yang sekarang pasti berada di sana jauh di sana.

Aku yakin ia memandangku berdua di altar candi bajangratu yang menjadi saksi pertemuan batin antara ibu dan seorang anak laki lakinya.

“Kenapa?” tanya Ganang dengan pandangan aneh.

“Bapakmu lahir kembali di tempat ini Ganang,”kataku bangga.

“Lain Bu,bapak gagah di sana, Ganang gagah di sini,”katanya dengan enak,seenak hidupnya yang telah dimiliki dengan cara dan pilihannya sendiri.

Aku lebih bangga lagi mendengar kata kata itu.

Kugandeng Ganang dan benar,aku telah dipertemukan lagi dengan suamiku yang sudah almarhum, anakku sendiri di candi Bajangratu ini.

Kedua duany adalah laki laki yang gagah dan kucintai.

Kupamdang sekali lagi wajahnya saat meninggalkan kawasan candi dan sempat berkata meski hanya dalam batin.

“Benar Ganang, bapakmu gagah di sana, engkau gagah di sini.” Diam diam candi Bajangratu mengantarkan kepergian kami dengan gagahnya.

Sebentar lagi suasana kembali sepi.

[Jatidukuh,2004]

Cerpen: Dialog imajiner dengan dua putri

CERPEN KARYA HARDJONO WS:

DIALOG IMAJINER DENGAN DUA ORANG PUTRI

Kususuri jalan kecil menuju sebuah tempat peristirahatan dua orang putri yang pernah terpatri dalam batinku dan sampai sekarang tak bisa kulupakan.

Sebenarnya tukang ojek yang mengantarku ke kawasan candi candi di trowulan ini akan dibawa ke komplek makam panjang Troloyo,tetapi aku ingin menjenguk lebih dulu makam dua putri Mojopahit ini.

Dua orang putri yang pernah kudengar tentang kecantikan dan kewibawaan semasa hidupnya. Dewi Anjasmara dan putri Kencono Wungu.

Rerumputan dan ilalang menyambut kedatanganku dengan ramah.Helai demi helai daunnya berkelebat kecil kecil karena hembusan angin pagi.Segar.

Aku tak percaya sebuah legenda tentang dua orang perempuan di kerajaan atau negeri besar Mojopahit ini akhirnya harus menikmati tidur panjangnya bersama sama, berkumpul menjadi satu dengan kuburan rakyat setempat meskipun berdekatan dengan makam panjang kompleks Troloyo.

Mojopahit yang pernah mengirimkan puluhan perahu layarnya menuju negeri negeri luar untuk bercerita bahwa negeri ini adalah sebuah negeri yang patut didatangi untuk menimba ilmu tentang hidup dan kehidupan.

Kuburan yang tersisih dan berada di luar kompleks Troloyo yang dibangun megah ini makin tambah sepi.

Aku terus berjalan menyusuri jaln kecil dan kujmpai bangunan yang tampaknya tertutup rapat.

“Selamat pagi sang putri dan sang dewi,” kataku dalam hati saat melihat bangunan sederhana ini.

Kubuka sepatu dan kaos kakiku dan segera duduk di terasnya.Dingin dan terasa teduh.

Bunga bunga kembang kamboja tampak berserakan di tanah pekuburan.

Tiba tiba muncul perasaan ibaku menahan keharuan yang amat dalam,seakan tak percaya ini adalah tempat peristirahatan dua orang putri yang pernah menghias negeri ini.

Negeri kecil yang pernah mampu menyatukan kawasan Nusantara ini menjadi sebuah kesatuan dengan Bhinneka Tunggal Ika nya.

“Mengapa kalian harus tidur di tempat ini sang putri?” dan pertanyaan ini yang membuat pikiranku melayang layang entah singgah ke mana saja yang akhirnya berhenti di sebuah kerajaan yang terkenal dengan sebutan Mojopahit.

Ratusan tahun telah lewat, meskipun hanya puluhan tahun yang lewat dua putri tidur pulas ini pernah dihidupkan oleh seorang guruku saat aku masih duduk di sekolah rakyat atau sekolah dasar kalau istilha sekarang.

Aneh, tiba tiba pak Niti guruku muncul didepanku.

Ia menyapaku dengan senyuman dan akupun menganggukan kepalaku.

Dengan pakaian rapi sebagai seorang guru saat itu, ia melihatku tajam tajam.

“Selamat pagi pak Niti,”kataku menegur dengn sopan.

“Selamat pagi juga,” katanya.

Ia lupa denganku,terlalu lama waktu yang membatasinya.

Setelah ingat,betapa senangnya ia bisa bercerita denganku.

Aku adalah salah seorang muridnya yang senang nembang dan belajar sejarah, sementara pak Niti sendiri pemain ketoprak yang sering main di gedung nasional di kotaku.

“nanti malam nonton ketoprak,lakonnya Damarwulan ngarit,” katanya saat itu menyruh murid muridnya nonton ketoprak dan kebetulan dia sendiri yang menjadi tokohnya : Damarwulan.

Diantara penonton itu aku sendiri menjadi penonton yang masih kecil, dan cerita Damarwulan ngarit ini adalah sebuah cerita yang amat menarik.

Biasa, guru yang mempunyai keistimewaan saat itu, aneh aneh perangainya termasuk pak Niti ini.

Anak anak biasanya paling tidak senang kepada pak Niti ini kalau saat ulangan hukumannya akan disesuaikan dengan jumlah salahnya.

Kalau anak laki laki bersalah ia harus menunjukkan jumlah salahnya dengan jumlah jari tangang. Salah empat, berarti empat jari jarinya harus diacungkan ke atas dan langsung mendapat pukulan penggaris empat kali.

Kalu anak perempuan salah empat maka cubitan pak Niti pun mendarat.Kalu tidk di ketiaknya ya di dekat paha mereka.

Aku tertawa sendiri karena ingatan itu.

“Kenapa kau tertawa?”

Aku tidak menjawab, siapa tahu hukumanku akan lebih berat kalau bercerita tentang itu.

Aku menggumam dalam tembang yang kuingat sepenggal.

“Sun iki dutane nata

prabu kenya Mojopahit

asmane damarsasangka atma mantune ki patih…

“Masih ingat dengan tembang itu?”

“Sedikit pak, lupa seluruhnya,”jawabku.

Tampak tersenyum pak Niti mendengar tembngku tadi.

Tembang bagi pak niti di sekolah saat itu merupakan pelajaran wajib.

Anak yang senag dan pinter nembang lebih mendapat perhatian darinya.

Kasihan akhirnya pak Niti ini. Matinya tertimpa patahan pohon saat berteduh di bawahnya karena hujan deras mengguyur di kotaku.

“Kau masih ingat tentang tembang tadi?” tanyanya lagi.Tak kujawab, hany akepalau saja yang mengangguk.

Kisah atau cerita yang paling disenangi anak anak saat itu, dan tak kubayangkan baru kali ini aku bisa bertemu dengan tokoh dalam tembang dan legenda itu meskipun sudah berebentu kuburan dan batu nisan.

Damarwulan sang tokoh dalam kisah ini harus hidup dengan prihatin kepada pamannya sendiri yang kebetulan menjadi patih di kerajaan Mojopahit.

Pamannya yang bernama patih logender ini memiliki tiga putra masing masing Layang Seto, Layang Kumitir dan gadis yang amat cantik Anjasmara.

Dikisahkan bagaimana beratnya pekerjaan damarwulan di kepatihan pamannya sendiri.

Ia bekerja sebagai seorang perawat kuda milik patih Logender dan kedua anak laki lakinya.

Setiap hari mencari rumput dan membersihkan kandang serta merawat kuda kuda supaya tetap sehat dan gagah.

Pekerjaan semacam ini sama sekali tak memberatkan diri damarwulan,tetapi karena Anjasmara kehidupan damarwulan mulai terancam.

Diam diam Anjasmara mencintai Damarwulan.

Pekerjaan berat dan kotor serta tempat tidurnya juga tidak di kepatihan, tetapi di sebuah rumah kecil yang tak jauh berbeda dengan kandang kuda itu sendiri.

Sebagai sebuah jalan atau cara menuju hidup bahagia kelaknya harus dilewatinya semacam itu.

Ini adalah puasa bagi orang yang ingin mendapatkan hari raya.

Dan ujian berat bagi Damarwulan adalah perempuan cantik putri sang patih, dewi Anjasmara sendiri.

Dalam waktu senggang secara sembunyi sembunyi dewi Anjasmara selalu berusaha untuk menemui Damarwulan.

Oh alngkah indahnya kisah kasih cinta mereka.

Meski demikian Damarwulan tak pernah mau meladeni kisah cinta ini walau tidak juga disebut cinta bertepuk sebelah tangan.Ini ujian berat bagi Damarwulan sebagai seorang satria khususnya buat orang Jawa.

“Ini yang membuatku makin mencintai dia,” kata dewi Anjasmara tiba tiba bangn entah darimana datangnya.Aku melihatnya dengan takjub melihat kecantikan sang dewi ini.

Pelan pelan putri Kencono Wungu pun ikut bangun dari tidur panjang.

Cantik dan anggun dengan segalan pakaian kebesarannya,pakaian raja Mojopahit.

“Selamat datang ke tempat kami,” kata mereka berdua amat berwibawa tak jauh berbeda dengan dewi Ratih dan dewi Sumbadra.

“Terima kasih,” jawabku dengan hormat.

Kutoleh tampak pak Niti sudah tidak ada entah pergi ke mana.

Belum sempat kuucapkan terima kasihku, tetapi sudah pergi dengan cepat tanpa pamit sepatah kata pun.

Aku bertiga di tempat itu, tempat yang kulihat makin lama makin agung.

Sebenarnya aku takut,tetapi kuberanikan diri, apalagi kedua putri ini adalah sosok yang amat saling menghargai sehingga sampai menikmati tidur panjangpun mereka tetap tak ingin dipisahkan.tetap menjadi satu tempat.

“Teruskan ceritamu seperti apa yang pernah kaudengar di sekolahmu dulu atau buku yang sempat kau baca.

Teruskan,” katanya sambil duduk di kursi kebesarannya.Berdua mereka duduk, tak kulihat satria yang mereka cintai: Damarwulan.

Dengan penuh perhatina seringkali dewi Anjasmara memberi makanan ataupun kue masakannya sendiri yang khusus diberikan pada Damarwulan.

Dalam persoalan ini Damarwulan tak pernah menolaknya.

Dalam persoalan lain damarwulan masih tetap bisa menahan hawa nafsunya.Cinta mereka lalui dengan saling menyayangi.

Akhirnya percintaan mereka yang agung dan suci ini terbau juga oleh kedua kakaknya Layang Seto dan Layang Kumitir.

Mereka tidak terima kalau adiknya mencintai seorang perawat kuda.

Peretengkaran mulut sering terjadi dan tidak jarang terjadi perkelahian.

“Benar,kedua kakakku tak pernah merasa malu, meskipun perkelahian itu selalu dimenangkan kakangmas Damarwulan,’kata dewi Anjasmara dengan suara yang masih memiliki sisa sisa kebanggaan terhadp kehebatan Damaewulan.

Cinta dewi Anjasmara tetap membara begitu juga dari diri Damarwulan cinta itu mulai bersemi.Patih Logender mulai mencium kisah kasih putrinya.

Dengan segala daya berusaha untuk merenggangkan benih cinta mereka berdua.

Anjasmara adalah laut dan Damarwuln adalah gelombangnya.

Damarwulan adalah api dan Anjasmara adalah baranya.

Saat itu negeri Mojopahit mendapat percobaan berat .Pemberontakan pemberontakan mulai muncul seperti Ra Kuti,Ronggolawe begitu juga sang Menakjnggo bupati Banyuwangi.

Oleh sang patih Logender Damarwulan didaftarkan menjadi hulubalang kerajaan.

“Benar kisah itu dan Damarwulan salah seorang calon yang berhasil menjadi hulubalang yang paling gagah dan tampan,” kata sang putri Kencono Wungu sambil melirik dewi Anjasmara dengan amat cantik, begitu juga anggunnya.Kecantikannya tidak saja keluar dari air mukanya, tetapi dari dalam batinnya muncul kecantikan itu.

“Malah sekalian aku membuat sayembara kepada siapa saja yang bisa mengalahkan bupati Menakjinggo dari Banyuwangi itu akan kujadikan raja sekaligus menjadi pendamping hidupku,” katanya dengan lembut.

“Nyuwun sewu sang putri, apakah saat itu sang putri tidak tahu kalu sang dewi amat mencintai raden Damarwulan?” tanyaku memberanikan diri.

“Itulah yang sama sekali tak kumengerti.Setelah aku tahu dan mengerti, aku minta maaf pada adikku yang cantik ini. Aku tidak ingin berkuasa terhadap kakangmas Damarwulan. Adikku menyadari bahwa ini semua karena sumpah atau janji seorang raja yang sering diyakini sebagai sabdo pandhito ratu yang sudah kuucapkan daripada Mojopahit menjadi jajahan adipati Menakjinggo. Sedang aku sendiri juga tak mencintainya,” kata putri Kencono Wungu dengan perasaan yang amat teduh. Sementara dewi Anjasmara memandangnya dengan pandangan yang tak jauh berbeda.

Kedua perempuan cantik dan anggun ini saling mendekat dan memeluk dengan perasaan cinta yang amat dalam.

Aku memandangnya dengan takjub dua perempuan yang ikhlas dan amat teduh dalam berpikir.

“Tahu mengapa kami ingin mati dalam sebuah tempat dan dalam sebuh kuncup, meski tak mungkin kami berdua bertempat dalam sebuah lubang atau liang. Dalam sejarahku bersama sang putri kami akhirnya menjadi sepasang saudara yang mencintai kakangmas Damarwulan dan aku berjanji kelak matiku bisa dikuburkan dalam sebuah tempat,” katanya dengan senyumnya yang amat segar sesegar air kelapa muda.

Dewi Kencono Wungu mendengar dengan perasaan yang amat sayang.Kemudian sang putri berkata lagi.

“Kami berdua ingin sekali dikubur dalam sebuah kuncup di tengah tengah anak cucuku yang hidup dan mendiami kawasan Mojopahit, karena aku yakin kelak keturunanku tetap akan menghargai sejarah.kakek nenek kita memang tidak sama, tetapi bukankah nenek moyang kita sam.Ya kan? Kami berdua amat bahagia tinggal di sini.sampaikan salam hangatku kepada siapa saja yang ingin menjengukku kemari. Terserah bagaimana mereka menghargai sejarah nenek moyangnya,”

Tiba tiba aku ingat tembang pamitnya damarwulan kepada Anjasmara saat akan pergi ke Banyuwangi untuk berperang melawan Menakjinggo.

“Anjasmara ari mami

masmirahku..laka warta

dasih mutha ulun layon

aneng kutho probolinggo….

Ah hanya sepotong yang kuingat,kucoba untuk kuingat tetapi tetap tak ingat.Kuberjanji setelah ini akan aku cari lanjutan tembang itu.

Akhirnya Damarwulan pergi melawan Menakjinggo ke Banyuwangi.Apa yang dilakukan patih Logender dengan kedua anak laki lakinya Layang seto dan Layang Kumitir?

Mereka sepakat untuk menghalangi keberhasilan Damarwulan.

Peperangan tak dapat dicegah lagi, dan menurut legenda yang muncul di masyarakat luas, Damarwulan bisa mengalahkan Menakjinggo karena mendapat bantan dua putri Suhita dan Puyengan dengan jalan dipukul dengan gada wesi kuning milik Menakjinggo sendiri.

Dalam kisah selanjutnya Damarwulan bisa membawa kepala Menakjinggo, tetapi di tengah perjalanan ia dicegat Layang Seto dan Layang Kumitir.

Damarwulan dikeroyok sampai pingsan dan ketika dianggap sudh mati kepala Menakjinggo dirampas dan langsung dibawa ke Mojopahit diserahkan kepada sang putri.

“Tidak salah kisah itu memang terjadi demikian dan aku tak percaya dengan apa yang dilaporkan patih Logender tentang keberhasilan kedua anaknya.setelah damarwulan siuman langsung ia menghadapku untuk menceritakan semua peristiwa.Pertengkaran tak bisa diselesaikan akhirnya kuputuskan untuk mengdu mereka,” kata sang putri.

“Sabdo pendito ratu?” tanyaku.

“Ya.”

Akhirnya terjadi perekelahian antara Damarwulan dan kedua kakak beradik Layang Seto dan Layang Kumitir yang akhirnya dimenangkan oleh Damarwulan.

“Dan baru itlah aku mengerti kalau adikku sudah menunggu kedatangan kakangmas damarwulan dan langsung melakukan perkawinannya, begitu juga dengan aku.kami sebenarnya berdua tetapi hanya satu,” kata putri Kencono Wungu.

Aku mendengar dengan khusyuk kisah romantika dewi Anjasmara dan dewi Kencono Wungu ini. Kisah dua orang dewi bersama seorang satria yang pernah mengisi sejarah negeri ini, sejarah nenek moyang kami.

Kulihat sekali lagi kedua perempuan itu dengan perasaan yang amat mencekam.Kubayangkan betapa kedua putri ini memiliki jiwa yang mat besar.

Mereka menjadi satu mencintai seorang satria dan itu dilewatinya dengan kehidupan yang amat manis semanis senyumnya. Sampai matipun mereka tetap ingin bersatu.

Tiba tiba dengan gerakan yang amat manis putri Kencono Wungu langsung menggandng tangan dewi Anjasmara.

Keduanya melemparkan senyumnya kepadaku dengn teramat manis, meningggalkan tempat itu.Makin lama makin menghilang dan kecil lenyap di sebuah tempat yang amat asri. Kuikuti dengan sisa sisa penglihatanku yang masih bisa memandang kemana kedua putri itu berjalan.

Dengan langkah kakiknya yang amat anggun sementara selendangnya sesekali bergerak karena hembusan ngin silir silir.Kedua putri itu akhirnya naik dan naik smbil sesekli melemparkan senyumnya. Makin juh akhirnya lenyap di atas langit yang berwarna biru entah kemana.

Aku tersadar sedang duduk bersila diatas teras makam kedua putri itu.Sepi awang uwung.

Pekuburan kembali menjadi sepi.

Tak ada tanda kehidupan keculi pohon kmboja tumbuh amat suburnya.

Beberapa kuntum bunga bertebarab di atas tanah.Terasa teduh.

Dengan ojek yang sama aku melanjutkan perjalananku pagi itu untuk menikmati warisan berharga dari nenek moyngku.

Warisan itu berupa candi dan peninggalan lain yang bisa menjadi saksi bahwa nenek moyangku pernah manjadikan negeri ini adalah negeri besar dan terhormat, Mojopahit dan Trowulannya. [*]

Wednesday, November 14, 2007

Perpustakaan Max Arifin

Jadwal ludruk Karya Budaya Mojokerto, Nopember-Desember 2007

Jadwal pentas ludruk KARYA BUDAYA MOJOKERTO

NOPEMBER-DESEMBER 2007

@ 8 juta rupiah /tanggapan/ terop

2 Nopember, Jumat Pon : Ngepung, Pungging, Kabupaten Mojokerto

3 Nopember, Sabtu Wage : Temu Gang I, Prambon, Sidoarjo

4 Nopember , Minggu Kliwon : Kecipik/Boteng, Menganti, Gresik

5 Nopember, Senin Legi : Pacing RT1, Bangsal, Kab.Mojokerto

6 Nopember, Selasa Pahing :Pathuk, Krian, Sidoarjo

7 Nopember, Rebo Pon : Pandansili, Trowulan, Kab. Mojokerto

8 Nopember, Kamis Wage : Plumpung, Balongbendo, Sidoarjo

10 Nopember, Sabtu Legi : Tenaru, Driyorejo, Gresik

11 Nopmebr, Minggu Pahing : Gadel, Tandes, Surabaya

17 Nopember, Sabtu Pon : Kebonagung, Porong, Sidoarjo


8 Desember 2007: Kemendung, taman,Sidoarjo
17 Desember Wonoayu,jetis,kab.Mojokerto
22 Desember Biting,krembong,Sidoarjo
24 Desember Sawo,sambikerep,Surabaya
25 Desember Mlirip,jetis,Mojokerto
26 Desember Batankrajan,gedeg,kab.Mojokerto
27 Desember Bangkringan,lakarsantri, Surabaya
29 Desember Cangkir,driyorejo,Gresik
31 Desember Kebonagung,sukodono,Sidoarjo

Dengan maraknya ludruk yang diprakarsai oleh TNI dan Polri, tahun 1967 membuat para tokoh masyarakat di Desa Canggu Kecamatan Jetis Mojokerto tergerak hatinya untuk mendirikan organisasi ludruk. Di desa Canggu secara turun temurun sejak jaman penjajahan Belanda selalu berdiri grup ludruk. Maka diamanatkan pada Cak Bantu yang kebetulan anggota Polsek Jetis untuk mendirikan grup ludruk. Tepatnya tanggal 29 Mei 1969 berdirilah ludruk yang diberi nama Karya Budaya dipimpin oleh Cak Bantu dengan binaan Polsek Jetis.

Menjelang pemilu 1971, ludruk Karya Budaya ditanggap Partai Golkar sebagai hiburan kampanye Golkar selama satu bulan berpindah dari desa ke desa. Hal tersebut sangat dimanfaatkan Cak Bantu mempromosikan ludruk Karya Budaya. Dengan keberhasilan pada setiap pementasan membuat ludruk Karya Budaya dikenal masyarakat.

Tahun 1993 Cak Bantu Karya wafat, dan secara aklamasi seluruh anggota memilih putra sulung Cak Bantu Karya memimpin ludruk Karya Budaya yakni Drs Eko Edy Susanto, Msi (lebih akrab dipanggil Cak Edi Karya, ludruk Karya Budaya mengalami perkembangan yang bertambah pesat. Merayakan ulang tahun ke-30 pada tanggal 29 Mei 1999, ludruk Karya Budaya resmi menjadi Yayasan Kesenian dengan SK Notaris No.06 melalui akte Notaris Grace Yeanette Pohan, SH.

Informasi:

Drs Eko Edy Susanto,Msi

(Cak Edy Karya)

Pimpinan Ludruk Karya Budaya

Dusun Sukodono RT 02 RW 01 Desa Canggu Kecamatan Jetis

Kabupaten Mojokerto 61310

Jawa Timur

INDONESIA

Telp 0321- 362847

HP 081 231 89 347

Email:cakedikarya@yahoo.com

Jadwal Festival Seni Pertunjukkan Majapahit 2007

Jadwal Festival Seni Pertunjukkan Majapahit 2007.
14 Nov - 15 Nov 2007

Pembukaan :

Hari : Rabu
Tgl : 14 November 2007
pukul : 14.00 WIB - 15.00 WIB
Tempat : Halaman Parkir Pendopo Agung Trowulan Mojokerto

Pergelaran :

A. Hari Rabu Tgl 14 Nov '07 pukul 15.00 WIB - Selesai

1. Ludruk Arek dari Ngembat Kec. Gondang, Mojokerto
2. Bantengan dari Padi Kec. Gondang, Mojokerto
3. Ketoprak dari SMUN 1 Puri Kec. Puri, Mojokerto
4. Wayang Beling dari SMPN 1 Sooko Kec. Sooko, Mojokerto
5. Musik Mbaljigong dari Dewan Kesenian Kota Mojokerto
6. Ludruk Komunitas dari Jati Sumber Kec. Trowulan, Mojokerto

B. Hari Kamis Tgl 15 Nov '07 Pukul 19.00 WIB - Selesai

1. Bantengan dari Claket Kec. Pacet, Mojokerto
2. Kuda Kumbara dari KebonAgung Kec. Puri, Mojokerto
3. Kuda Lumping dari Gempol Kerep Kec. Gedeg, Mojokerto
4. Tari Kembang Kemuning dari Gembongan Kec. Gedeg, Mojokerto


Acara dilanjutkan dengan pengumuman 3 penyaji terbaik.


Terima Kasih,



salam hangat,

Rony Yunarto
Sie Festival Seni Pertunjukkan Majapahit 2007
Telp. 081 850 399 2
emai:teater_ r@yahoo.co. id

Friday, November 09, 2007

Abdul Malik, Blogger asal Mojokerto yang Bikin Situs Majapahitan

Sabtu, 10 Nov 2007
Abdul Malik, Blogger asal Mojokerto yang Bikin Situs Majapahitan

Dapat Data dari Teman Chatting di Prancis
Rekonstruksi Kerajaan Majapahit tidak hanya "diimpikan" kalangan pelestarian purbakala saja. Kalangan pemuda pun tak kalah bersemangat. Termasuk kelompok blogger. Yakni, dengan membuat blog khusus tentang Majapahit.

KHOIRUL INAYAH, Mojokerto

GEMAR berselancar di internet dan membuat blog ternyata memiliki makna tersendiri bagi Abdul Malik. Dan itu dimanfaatkannya dalam bentuk yang positif, yakni membuat blog tentang Majapahit. Suatu hal yang belum terbersit dalam pikiran mereka yang mengaku peduli Majapahit sekalipun.

Dengan dana pribadi, dan literatur dari sana-sini, Abdul Malik pun mewujudkannya impiannya memiliii blog sendiri. Ini tidaklah berlebihan, sebab ia telah menekuni dunia blogger sejak Desember 2005.

"Tujuan saja pada saat itu, saya ingin memberi kado buat diri saya sendiri," ujar lajang yang tinggal di Kradenan Kelurahan Kauman Kota Mojokerto ini.

Saat itu, salah satu penjaga warnet di Jl Jayanegara sedang asyik sedang asyik membuat blog untuk hal-hal yang bernuansa 1980-an. Ia pun ikut tertarik. "Nama blog yang saya pilih waktu itu ingin yang bernuansa lokal dan cepat dikenal. Ya akhirnya saya pilih Majapahit," ujarnya laki-laki kelahira 22 Desember 1968 ini.

Beruntung, ia memiliki beberapa dokumentasi tentang Majapahit. Salah satunya adalah naskah karya almarhum Max Arifin tentang Majapahit. Selain itu, materi mendapatkan dari banyak sumber. Misalnya teman chatting, Olivier warga Perancis yang beberapa kali ke Museum Trowulan dan Gunung Penanggungan.

Juga mendapatkan informasi bahwa majalah Arts of Asia (Hongkong) edisi November 2000 memuat laporan utama tentang Majapahit. Saya surfing alamat website-nya lalu cover di-download.

"Untuk isinya Olivier berbaik hati mengirim beberapa halaman yang telah di scanner via email," ujar Malik.

Tidak hanya itu, ia pun mengkopi buku Tatanegara Majapahit parwa 1 dan 2 karya Mohammad Yamin ke Perpustakaan Ignatius di Yogyakarta. "Saya berniat menampilkannya di blog dalam bentuk PDF agar dapat di baca lebih banyak kalangan," kata Malik lagi.

Salah satu hal paling sulit dalam blog adalah proses update data. Semua itu ia kerjakan setiap hari. Untuk keperluan itu, Malik banyak dibantu oleh Bagus Hendro, pemilik warnet di Jl jayanegara untuk proses scanner bahkan seringkali memberi fasilitas gratis. Terkadang juga oleh Hendrik salah satu petugas warnet tersebut. Yang paling menjengkelkan adalah ketika update data koneksi warnet drop. "Namun, karena semuanya menggunakan dana pribadi maka proses berjalan agak lambat," ujarnya.

Ada saat dimana ia tak meng update blog. Saat itu ia lagi menekuni multiply. Sama-sama menarik. Prinsip nya sama-sama menginformasikan kepada orang lain. "Untuk mengetahui seberapa banyak yang berkunjung ke blog dan multiply saya, saya menambahkan hit counter," jelasnya.

Ada pengalaman tak terlupakan dalam menekuni dunia blog terjadi pada November 2006. Saat itu almarhum Max Arifin diundang khusus oleh PT Newmont Nusa Tenggara untuk perjalanan pulang kampung ke Sumbawa. Malik ikut dalam tim sebagai asisten Max Arifin. Salah satu agenda kegiatan adalah Max Arifin menjadi narasumber dalam diskusi di sebuah SMA di Taliwang. Makalah untuk bahan diskusi tertinggal di Mojokerto. "Melalui bantuan staf kantor PT Newmont saya dapat mengakses internet membuka blog saya dan tinggal copy paste materi bahan diskusi. Pak Max sendiri pada waktu itu belum merespons dunia blog karena ia terbiasa dengan media cetak," katanya.

Berkaitan dengan Festival Majapahit, Malik kembali mengaktifkan blog-nya. Untuk menarik pembaca ia menginformasikan perihal berita yang ada di blog maupun multiply melalui SMS dan banyak milis dengan judul berita yang menggoda misalnya Ingin mengetahui master plan megaproyek Majapahit Park di Trowulan?
Silakan klik http://majapahitan2.blogspot.com atau http://kurakurabiru.multiply.com.

Untuk meng-update data di blog-nya, Malik sebenarnya berharap banyak dari lembaga seperti Gotrah Wilwatikta untuk membuat semacam Pusat Studi Majapahit. Ini terilhami setelah ia banyak mendapatkan masukan sulitnya anak muda untuk mendapatkan informasi dan referensi tentang Majapahit. "Materi seminar yang diadakan Gotrah Wilwatikta dapatlah disebarluaskan lewat blog, juga aktivitas, riset dan program Gotrah Wilwatikta ke depan," ujarnya.

Meskipun demikian, ia mengaku aktivitasnya menekuni dunia blog tidaklah istimewa. "Aktivitas saya menekuni blog masih biasa-biasa saja kok demikian juga aktivitas saya menekuni sejarah Majapahit masih awam," ujar alumni SMAN 1 Gatoel (sekarang SMAN I Puri Mojokerto).

Sebagai seorangn pegiat dunia blogger, ia ingin ada kompetisi blog antarkampung di Kota maupun Kabupaten Mojokerto. "Blog akan semakin menarik karena setiap warga adalah reporter. Seperti prinsip citizen journalism," kata dia. (*)

(Harian Radar Mojokerto)

Monday, November 05, 2007

Desa Majapahit


DESA MAJAPAHIT

Oleh Max Arifin

SEBUAH desa Majapahit kabarnya direncanakan akan dibangun di Trowulan. Penggagas dan pelaksananya tentulah orang-orang yang mempunyai gagasan yang visioner dan imajinatif. Hasil kerja mereka (nanti) bukan cuma secara fisik cukup memadai, tetapi yang jauh lebih penting adalah bahwa di sana tergambar adanya sebuah budaya. Sebuah budaya yang usianya tujuh ratus tahun, yang telah mampu menjadi kekuatan pendorong ditambah dengan ambisi imajinatif seorang mahaatih: menjamah hampir seluruh nusantara.

Sebuah budaya yang mampu mengantarkan adanya “sphere of influence”, area dimana sebuah negara mengklaim memiliki hak-hak tertentu atau diakui memiliki hak seperti itu. Juga disana terasa adanya semacam aura yang menurut Walter Benjamin memiliki asal-usulnya pada cultic ritual, pada ritual-ritual yang bersifat pemujaan. Itulah hal-hal abstrak yang tentu saja sulit diwujudkan, untuk tidak dikatakan sebagai sesuatu yang mustahil. Memang ada yang mengatakan, dapat saja hal-hal itu dinyatakan lewat simbol-simbol, lambang-lambang, pataka-pataka, kitab-kitab suci, dan lain-lain, tetapi persoalannya adalah: mampukah benda-benda itu “memancarkan” aura yang dimaksud.

Sebuah ilustrasi kita kutip dari kakawin Hariwangsa yang termuat dalam buku Kalangwan, karya monumental Prof. P.J. Zoetmulder, sebuah buku yang jarang dibicarakan sekarang (Djambatan, Jakarta, dengan tebal 648 halaman). Membaca buku ini seakan-akan kita mendengarkan gema suara leluhur kita dan suara-suara itu datang pada kita dari suatu sumber terdalam kebudayaan tanah air kita. Karya ini menarik terutama bagi mereka yang mencoba meletakkan suatu konfrontasi antara kepercayaan dan pengalaman hidup generasi-generasi terdahulu dengan pengalaman-pengalaman dan prasangka-prasangka kita pada masa kini.

Situasi seperti itulah yang harus ada dalam diri para penggagas dan pelaksana rencana tersebut. Pada karya besar seperti Kalangwan ini terdapat suatu kekuatan, yaitu efeknya yang katalistik: ia membuka pintu bagi kita dan menghidupkan mesin kewaspadaan dalam diri kita. Di sana terdapat ceritera tentang kemenangan kemanusiaan atas kekuatan buta sang takdir, suara-suara itu seperti tersembul keluar dari suatu kesepian yang menyesakkan, mencoba menguak mengatasi batas-batas tanah airnya, batas-batas waktu dan batas nasib yang ditentukan pada mereka.

Saat-saat yang sering disebut dalam kakawin ialah sore dan senja, malam yang disinari rembulan dan menjelang fajar. Sesudah pukul tujuh sore udara sudah mulai sejuk. Dalam Hariwangsa tertulis indah: semua suara mulai lenyap dan alam raya merasa bimbang, takut karena malam yang akan datang menjelma.

Bunga padma yang pada pagi hari mekar, menutup daun-daunnya agar tepung sarinya terlindung dengan baik, sambil menyediakan tempat tidur bagi kumbang-kumbang. Awan-awan gelap berputar-putar bersama gemuruhnya guntur memperingatkan manusia akan bahaya yang mungkin mengancam, supaya ia berjaga-jaga. Tetapi segalanya lenyap, rasa bimbang menghapuskan diri tatkala rembulan terbit dan mengusir kegelapan.

Pada malam purnama para wanita dan gadis-gadis genit luwes dari kratobon bercengkerama dibawah sinar bulan purnama.

Mereka menyanyi, menari dan menabuh gamelan, berkelompok untuk tukar menukar rahasia, berbisik-bisik atau duduk sendiri-sendiri merindukan kekasih.

Membaca Kalangwan membuat kita merindukna sesuatu: kedamaina, ketenangan alam, perasaan satu dengan alam, tidak saling mengusik (apalagi menjadi musuh alam). Alam begitu tampak, nyata, mewujud dan terasa benar bagi manusia. Dan indah !

Itu sekedar ilustrasi dari suatu sudut, entah dimana itu, sebuah desa di Majapahit, tujuh ratus tahun yang lalu, yang coba kita “ciptakan” dalam jaman modern ini, Sesuatu yang fantastik dan rasanya sulit dijangkau di sebuah desa (Trowulan) dengan poros jalan Surabaya-Yogyakarta, jalan sempit berdebu namun jalan ini tidak pernah tidur, bergemuruh selalu.

Malam-malam memang membuat fantasi kita melayang ke sana. Apa kira-kira yang terjadi pada malam seperti itu tujuh ratus tahun yang lalu di Candi Tikus, di Candi Bajang Ratu, Candi Kedaton, Candi Brahu, Candi Gentong (yang kini sedang dipugar), Gapura Wringin Lawang, di Candi Siti Hinggil. Atau, apakah para putri sedang berenang dan berendam di Kolam Segaran? Atau apakah terdengar suara sang kawi Prapanca mengutip dan membaca potongan-potongan Negarakertagama yang terkenal itu, dengan suara yang penuh dan berat berwibawa dan kemungkinan kita dissolve ke seorang anak muda modern dengan celana jins dan kaos hitam, berdiri di pelataran Candi Brahu sambil menggenggam lembaran-lembaran Negarakertagama yang telah disunting. Atau mungkin kita membayangkan, di suatu sudut Desa Majapahit Mahapatih Gajahmada sedang berunding dengan salah seorang palnglima perangnya yang bernama Empunala. Mengatur siasat dan taktik bagaimana menundukkan Bali, Lombok, Dompu. Dan bayangan kita menjejak pada masa kekinian dan menemukan besarnya pengarauh tata budaya Majapahit sampai sekarang di Lombok. Dan orang-orang Lombok mengklaim bahwa Empu Nala meninggal di Lombok dan kuburannya dapat ditemukan sampai sekarang di atas sebuah bukit kecil di luar Desa Sembalun, di kaki Gunung Rinjani yang berudara dingin.

Kita memang diminta untuk terus bercermin pada hasil budi pendahulu-pendahulu kita. Dan itu berarti semua seniman yang ada dalam buku Kalangwan telah mampu mengatasi takdirnya !

Desa Majapahit? Kenapa tidak!

Japan Raya, awal Nopember

Max Arifin

(Pernah dimuat di Warta Majatama, Dinas Infokom Kabupaten Mojokerto edisi 52 Tahun 2003)

Keterangan gambar:

Poster Achmady, Bupati Mojokerto saat ini, dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur dengan mengusung slogan “Lurahe Majapahit”.