Friday, June 09, 2006

Esai: Ivek [Max Arifin]

I V E K .
Oleh: max arifin.


IVEK membunuh orang tanpa berpikir dua kali. Yang dibunuh adalah seseorang yang kebetulan berdiri di sampingnya, bernama Moshe, seorang Yahudi. Di depan polisi ia tidak menyangkal perbuatannya dan dengan enteng menjawab: “Dan bagaimana tentang mereka-mereka yang membunuh nabi Isa?”
“Tetapi itu peristiwa yang telah terjadi dua ribu tahun yang lalu”, keluh polisi yang memeriksanya. “Ya”, katanya lagi, “tapi baru kemarin aku mendengarnya!”


(I).
Peristiwa di atas dilukiskan oleh seorang penulis Bosnia terkenal, Dzevad Karahasan dalam tulisannya yang berjudul Literature is the Defence of History yang termuat dalam majalah tiga bulanan ART & THOUGHT No, 76/2003 yang juga terbit serempak dalam bahasa Arab, Fikrun wa Fann.
Lalu, premis logis dan garis pemikiran yang bagaimana dapat diterapkan pada peri laku Ivek? Kita bisa saja mengatakan perbuatannya sebagai sesuatu yang ahistorical: Ivek tidak memiliki sense tentang masa lalu dan tak ada jarak dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu. Baginya, masa lalu itu, apapun kejadian itu dan kapanpun terjadinya memiliki semacam kekinian-yang-potensial dan pantas menjadi sesuatu topik (yang dibicarakan). Lagi, baginya, bentuk eksistensi itu adalah “sekarang dan di sini”.
Ada juga yang meninjaunya sebagai suatu tipe kolektivisme. Bagi Ivek, identitas pribadinya terwujudkan tanpa kecuali dalam identitas kolektif dan secara lengkap teridentifikasi dengan hal itu: antara “kami” dan “mereka”. Premis logis yang ketiga yang dapat dikemukakan pada Ivek adalah sikap oposisi, atau lebih tepat lagi, konflik di mana “Aku”-nya mencakup hubungan dengan identitas yang lain.

(II).
Kalau kita mau merenung sejenak, itulah lapisan-lapisan dari banyak Ivek di tanah air, yang mengendap selama Indonesia meredeka dengan gejolak-gejolak yang berkesinambungan sampai sekarang. Kadang-kadang membuat kita berkesimpulan, bertapa tercabik-cabiknya bangsa ini. Di sana mungkin saja terjadi proses reduksi identitas manusiawi dan Ivek-Ivek yang banyak itu mereduksi hubungan antara identitas-identitas individual menjadi perorangan-perorangan yang memendam permusuhan. Dan di sana akan tampil bendera kebersamaan yang eksklusif. Mungikin pada saat itulah pemahaman mereka tentang kemanusiaan itu terlupakan dan diganti dengan pengertian “orang banyak”. Kemanusiaan, humankind, adalah suatu notion, suatu ide, gagasan atau pikiran, suatu abstraksi, sementara “orang banyak” adalah suatu jumlah.

(III).
Kita bisa pula berbicara dari aspek budaya dalam menghadapi hal-hal seperti itu. Kebudayaan adalah suatu campuiran dari yangt bersifat universal dan yang bersifat spesisik, yang umum dan yang konkrit. Yang pertama terbuka untuk semua orang dan dihubungkan dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain; sementara yang kedua, memisahkannya dari kebudayaan yang lain dan membuatnya menjadi semacam lingkungan spiritual dari suatu kelompok khusus orang-orang.
Inti dasar alam semesta ini adalah sama bagi semua kebudayaan dan ini menyebabkan ruang-kebudayaan itu sebenarnya saling melingkupi. Kita lalu bisa bilang, bahwa adalah sesauatu yang mustahil terjadinya tabrakan-tabrakan antar budaya, karena bila terjadi tabrakan maka tiap kebudayaan akan berjuang menentang setiap bagian dirinya yang menyebabkan tabrakan itu. (Segi inilah yang menjadi pertimbangan diplomasi Yusuf Kala di Poso dan Ambon).
Kalau konflik-konflik (perang) itu dikaitkan dengan kebudayaan, kalau terdapat keinginan untuk menghubungkannya dengan kebudayaan dengan resiko apapun, maka hal itu hanya bisa terjadi dengan versi-versi persiapan yang bersifat politis (dari kebudayaan-kebudayaan) yang dengan gampangan “diterapkan” pada unsur-unsur yang bersifat individual dari kebudayaan-oebudayaan itu, lalu dihubungkan dengan kebudayaan secara keseluruhan, maka jelas itu bukan kebudayaan tetapi suatu sistem ideologis. Sistem-sistem ideologis seperti itu disebut oleh Dzevad Karahasan sebagai “politically instrumentalised cultures”---kebudayaan-kebudayaan yang diperalat untuk (kepentingan-kepentingan) politik. Kebudayaan-kebudayaan seperti itu---yang dipersiapkan dan direduksi menjadi karikatrur-karikatur ideologias tentu saja bisa saling bertabrakan. Itulah gambaran yang terjadi di beberapa daerah tanah air kita ini.

(IV).
Itulah sebabnya kita harus berhati-hati ketika kita membaca buku Samuel P.Huntington yang berjudul The Clash of Civilization yang kesohor itu. Soalnya, bagaimana mungkin seorang Samuel Huntington yang mempelajari kebudayaan-kebudayaan dapat menulis sebuah buku dengan begitu menyederhanakan hakekat pokok kebudayaan dan melakukannya dengan karikatur-karikatur seperti itu. Kesimpulan Huntington adalah menerapkan bedah yang sama terhadap kebudayaan-kebudayaan, seperti Ivek menerapkannya pada dirinya sendiri dan pada Moshe: mereduksi menjadi (makhluk-makhluk) politik, yaitu karikatur-karikatur yang bersifat mekanis dari diri mereka sendiri.
Banyak Ivek-Ivek dan Moshe-Moshe di tanah air tercinta ini, di samping banyak pula orang-orang macam Samuel Huntington itu.


Japan Raya, Juni 2004.

No comments: