Saturday, December 02, 2006

Pilar-Pilar Budaya Sumbawa

Terbit : PILAR PILAR BUDAYA SUMBAWA


Judul : Pilar pilar Budaya Sumbawa
Penulis : Wahyu Sunan Kalimati
Penerbit : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumbawa Barat
Cetakan pertama : Nopember 2005
Tebal : 150 halaman
Tiras : 1500 eksemplar

Dalam dunia wisata kita mengenal The Lonely Planet , yang menerbitkan buku panduan dan sering dijadikan buku rujukan bagi wisatawan dunia. Mereka menerbitkan buku saku dalam berbagai bahasa.
Kalau boleh, buku Pilar-pilar Budaya Sumbawa dapatlah nantinya dijadikan buku panduan untuk mengenal Sumbawa. Meskipun dalam bentuk yang sederhana ,Wahyu S.Kalimati memerlukan waktu sebelas tahun untuk mewujudkan buku ini.

Buku Pilar-pilar Sumbawa terbagi atas empat bab, yaitu:
1.Mancawarna –Manusia pemula penghuni Sumbawa dan gelombang suku-suku pendatang .
2.Sumbawa dalam suryakanta: pengertian suku Sumbawa, pernik pernik kebudayaan samawa, akulturasi dalam kebudayaan Sumbawa, pemurnian islam dalam renik kebudayaan.
3.Bianglala Bahasa Sumbawa: leluhur bahasa Sumbawa, bahasa samawa—dialek standar, tugas berat dan elastisitas.
4.Tahta pujangga Sumbawa:melacak satera jontal, proses kreatif pujangga, karya sastra monumental.

Tampilan buku ini cukup bagus, dicetak dengan kertas kualitas bagus dan hard cover. Dicetak sebanyak 1.500 eksemplar oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang baru berusia tiga tahun.
Selanjutnya PT Newmont Nusa Tenggara membantu cetak ulang sebanyak 500 eksemplar untuk dibagi secara cuma-cuma kepada karyawan PT Newmont Nusa Tenggara.

Referensi tentang Sumbawa agak kurang dibanding budaya Jawa dan Bali. Disarankan agar buku ini dicetak dengan tiras lebih banyak, dijual dengan harga tidak terlalu mahal dan dibagi secara cuma-cuma untuk perpustakaan sekolah di Sumbawa. Juga perpustakan media massa di seluruh Indonesia.
Untuk sasaran wisatawan manca negara setidaknya buku ini terbit dalam bahasa inggris.
Mudah ditemukan di toko buku di bandara udara, hotel, restoran siap saji, café, spa dan fasilitas wisata lainnya.




Biografi penulis:
Wahyu Sunan Kalimati terlahir dengan nama Raden Wahyu Wijayanto Adi Susilo Teguh Pangarso, 25 Juli 1968 di Temanggung, Jawa Tengah. Menamatkan pendidikan sampai ke jenjang sarjana (S1) pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Semarang, 1991. Merintis karir sebagai Pemandu wisata (tour guide) khusus obyek wisata daerah Yogyakarta, 1989 hingga tamat kuliah. Belajar seni pedalangan di surakarta, 1992 dan memperluas pengetahuan bahasa inggris di Sydney, australia 1993. Tinggal di jakarta dan bekerja pada perusahaan asing sebagai pemandu wisata lintas pulau sumatra, jawa dan bali 1994. Bekerja pada kantor dinas pariwisata kabupaten Sumbawa 1995. Guru SLTP Negeri 2 Plampang dan semenjak 1998 menetap di Taliwang menjadi staf pengajar bidang studi Kesenian dan bahasa indonesia pada SMA Negeri 1 Taliwang, Sumbawa Barat. Menulis puisi dan artikel tentang pendidikan dan kebudayaan dipublikasikan pada media massa daerah. Aktivis beberapa organisasi kepemudaan di Sumbawa Barat.
Alamat kontak:
Wahyu Sunan Kalimati
Jl.Telaga Biru 1 ,Taliwang, Sumbawa Barat 84355
Telp 0372- 81211, HP 081 3395 14117.

Agus Irawan Syahmi: Penyair Sumbawa

Agus Irawan Syahmi: Penyair Sumbawa
TERBIT: ANTOLOGI PUISI MERAH PUTIH CINTAKU

Penerbit : KEMAS SAMAWI (Kerukunan Masyarakat Pecinta Seni Samawa Ano Rawi), Sumbawa Barat
Pengantar : KH Zulkifli Muhadli, SH, MM (rektor Universitas Cordova Indonesia, di Taliwang, Kab.Sumbawa Barat)
Cetakan pertama : Agustus 2006
Tebal : ix + 96 halaman

Merupakan antologi puisi tunggalnya yang kedua setelah Nyanyian Rembulan (2004). Terbagi dalam dua bagian Merah Putih Cintaku (27 puisi) dan bagian kedua dengan Sajak Cinta SMS (56 puisi). Dua puisi diantaranya dalam bahasa daerah Taliwang: Beka Po dan I..Aqu’na,…Bero Mo.
Puisi Beka Po sempat dibacanya dalam Apresiasi Sastra di SMAN Jereweh, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Kamis, 9 Nopember 2006. Dalam acara yang disponsori oleh PT Newmont Nusa Tenggara tersebut hadir pembicara utama: Max Arifin dan Dinullah Rayes, dengan moderator Wahyu Sunan Kalimati, penulis buku Pilar-pilar Budaya Sumbawa.Dihadapan sekitar 150 undangan, Agus Irawan Syahmi menunjukkan kualitasnya sebagai pembaca puisi yang handal.

Dalam buku ini Agus Irawan Syahmi (AIS) masih berkutat pada persoalan teknis bahasa ucap. Dan belum sepenuhnya berhasil.
Meskipun dengan tema yang sama, kalau boleh membandingkan, puisi-puisi karya Wiji Thukul masih lebih “kena” meskipun dengan bahasa ucap Wiji Thukul yang ‘ala penyair kampung’ itu.
Atau bolehlah menengok puisi Goenawan Mohamad :Zagreb---berbicara tentang tema sosial politik dengan begitu mencekam.
Beberapa puisi dalam buku ini malah terkesan sloganisme.
Kesibukan AIS sebagai politisi muda mungkin membuatnya tak banyak waktu membaca buku untuk menambah referensi dalam eksplorasi bahasa ucap.

Membaca judul antologi puisi Merah Putih Cintaku, spontan saya teringat pada penyanyi Leo Kristi. Lewat syair-syair lagu yang ditulisnya , nasionalisme, hadir dengan roh yang sungguh berbeda.

Namun ada juga puisi yang cukup menarik Menjelang Lebaran: Sehabis lelah mencapai/ Setelah lapar dikenyangkan/ Setelah birahi diragikan/ Setelah malam didirikan/ Setelah qalam dikhatamkan/setelah duka fakir disenyumkan/ Setelah takbir, tahmid dan tasbih dilagukan/Selalu ada yang tergadai dalam sunyi jiwa/ Bila pintu maaf atas lafas-laku kami yang ternoda/Tak tersucikan dari kemuliaan kalbu jamaah seiman/
Perkenankan kami bersama kekasih keindahan surga MU/Taqabalallhu minna wa minkum/

Bagaimanapun kehadiran AIS menambah daftar nama penyair Sumbawa, selain Dinullah Rayes dan Asmi Dewi (karyawati PT Newmont Nusa Tenggara, yang sedang menyiapkan antologi puisi tunggal yang pertama).

Agus Irawan Syahmi, lahir di Tepas-Brang Rea, Kabupaten Sumbawa Barat, 37 tahun lalu. Bapak 3 anak , alumni Universitas Muhammadiyah Mataram..Saat ini menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Sumbawa Barat.
Sebelumnya telah menerbitkan antologi puisi tunggal Nyanyian Rembulan (Lembaga Kebudayaan LONTO ENGAL, Sumbawa, 2004).
Beberapa catatan berkesenian antara lain:
-Pendiri dan pembina Kerukunan Masyarakat Pecinta Seni Samawa Ano Rawi (KEMAS-SAMAWI) Sumbawa Barat
-Elemen Komunitas Sastra Sumbawa Barat
-Tim kreator Lembaga Kebudayaan Lonto Engal, Sumbawa
-Pendiri dan pembina lembaga musik PROGRES RAAW Taliwang, Sumbawa Barat
-Mengikuti Festival Teater Nasional di Solo, 1993 bersama Bengkel Aktor Mataram
-Menjadi sutradara pagelaran sastra Dari Catatan Harian Sahdi untuk Sahdia, karya Max Arifin, pada Festival Teater Kampus di Universitas Mataram, 1992.
-Ketua Bidang Teater SASENTRA Universitas Muhammadiyah Mataram 1990-1993
-Menjadi sutradara pagelaran sastra Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib bersama SASENTRA Universitas Muhammadiyah Mataram, 1993.

Alamat kontak:
Agus Irawan Syahmi,
Jl.Lasap Gang Brang Mate 13, Menala, Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat
Hp 081 339 722 369.

(abdul malik, email:banyumili@telkom.net)

BATU HIJAU,Dulu,Kini dan Esok

TERBIT: BATU HIJAU, DULU, KINI DAN ESOK


Judul : BATU HIJAU,DULU,KINI DAN ESOK
Penulis : Eddy Karna Sinoel
Editor : Eddy Karna Sinoel, Masnun Mas’ud
Fotografer : I Nyoman Budhiana
Periset data : Masnun Mas’ud
Pracetak : Mahirun Mahyun
Tebal : xiv+302 halaman
Penerbit : PT Newmont Nusa Tenggara
Cetakan pertama : 2005


Kata Pengantar

BATU HIJAU DULU,KINI DAN ESOK adalah buku berisi rekam jejak anak negeri dari sudut-sudut desa yang sekarang mulai menggeliat setelah bertahun-tahun lamanya hidup dalam keterbatasan. Ini adalah sebuah catatan perjalanan. Perjalanan menelusuri desa-desa, berdialog dengan petani, nelayan, pengrajin, pengusaha kecil, anak-anak muda penuh kreatif, siswa, guru, dokter serta mereka yang menyintai desa dan masyarakatnya. Ada kilas balik.Dulu, Kini dan Esok. Cerita lama adalah penggalan sejarah lampau. Namun ia menjadi sejarah kini. Dan sejarah kini akan menjadi pula sejarah esok. Itulah yang ingin disampaikan dalam kumpulan rekam jejak dan catatan perjalanan ini. Lihatlah desa-desa itu. Sekongkang Atas, Sekongkang Bawah, Tongo, Aik Kangkung, Tatar serta Goa, Maluk dan Benete.

Kegairahan warga terlihat di sana. Prakarsa anak-anak desa terus tumbuh. Mencoba mengambil peran dalam kehidupan desa. Proses kreatif yang penuh optimisme. Di sepanjang jalan Aik Kangkung menuju Tatar, siswa berseragam nampak bersemangat pergi ke sekolah, sementara seorang dokter di Maluk dengan bangga menyatakan malaria di sini tidak lagi menjadi penyakit yang menakutkan. Ada petani di Benete bercerita tentang keberhasilan menanam bawang merah. Guru di Sekongkang Bawah bertutur tentang prestasi siswa, siswa bicara tentang cita-cita, sementara seorang warga Desa Sekongkang Atas mengisahkan kemajuan koperasinya. Dari Tongo, ada tokoh masyarakat yang bangga dengan kemajuan desanya, sedangkan seorang petani Tatar merasa optimistis dengan potensi gaharunya cukup menjanjikan.

Keberhasilan budidaya System of Rice Intensification (SRI) diceritakan petani dari Aik Kangkung dan Sekongkang Bawah, sedangkan petani di Goa berhasil mengelola bisnis kopra. Lihat pula kisah mahasiswa asal Belo yang mendapat beasiswa atas prestasinya. Inilah wajah lingkar tambang. Secara nyata yang tampak sekarang adalah kegairahan Sekongkang dan menggeliatnya Jereweh, dua kecamatan di Kabupaten Sumbawa Barat yang tengah memacu pertumbuhan dan pemberdayaan warga desa. Inilah rekam jejak yang ingin disampaikan dalam buku ini. Banyak pelajaran bahkan teladan yang bisa dipetik ketika rangkuman data dicari lagnsung ke desa-desa yang kini sedang mengalami perkembangan itu. Suguhan fakta dari sebuah proses pemberdayaan, pengembangan dan pembangunan masyarakat yang tengah terjadi saat ini.

Pada posisi itulah buku BATU HIJAU DULU, KINI DAN ESOK ini disusun. Disusun dari fakta lapangan yang dituangkan dalam kalimat-kalimat bertutur. Tujuannya sederhana, ingin memberikan gambaran utuh dan sesungguhnya dari kehadiran sebuah program besar yang disebut Community Development (ComDev) sebagai prakarsa Newmont Batu Hijau yang dalam putaran waktunya hingga sekarang telah memberi nuansa pertumbuhan dan perkembangan bagi kehidupan di desa-desa lingkar tambang. Dan disadari sepenuhnya bahwa belum semua sisi-sisi kehidupan penduduk desa lingkar tambang terangkum dalam buku ini. Tentu masih ada catatan-catatan keberhasilan dari warga desa lainnya yang belum terangkat. Atau, mungkin juga ada pandangan-pandangan lain yang kebetulan saja berbeda. Biarkanlah warna-warni itu menjadi bagian dari kehidupan. Karena sesungguhnya ia adalah juga sisi lain dari persahabatan.

Buku BATU HIJAU, DULU,KINI DAN ESOK diterbitkan oleh Community Development (ComDev) Newmont Batu Hijau. Apakah ada pesan yang ingin disampaikan? Ada.Hanya sepenggal kalimat,”Bahwa desa tanpa kita sadari banyak memberi pelajaran kehidupan”.

Lingkar Tambang, Agustus 2005
EDDY KARNA SINOEL


EDDY KARNA SINOEL adalah wartawan senior di Nusa Tenggara Barat. Karir jurnalistiknya dirintis di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA sejak tahun 1990 hingga sekarang.Pendidikan formalnya diselesaikan pada jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Parahyangan Bandung.



Untuk mendapatkan buku ini, silakan menghubungi:
Bapak Kasan Mulyono,
Public Relation Manager
PT Newmont Nusa Tenggara

Site:
Jereweh, Sumbawa Barat, NTB
Telp 0372-635318 ext.46260
Fax 0372-635319 ext 46317

Alamat surat:
Jl.Sriwijaya 258 Mataram NTB
Telp 0370- 636318
Fax 0370- 633349
Email: Kasan.Mulyono@Newmont.com dan ptnnt.public.relation@Newmont.com

Ada Bimbo di HUT Kabupaten Sumbawa Barat

ADA BIMBO DI HUT KABUPATEN SUMBAWA BARAT
Catatan perjalanan oleh abdul malik

Perayaan hari lahir ke 3 Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) nampaknya akan diadakan secara meriah. Kelompok vokal asal Bandung, BIMBO akan menghibur masyarakat Taliwang dan sekitarnya pada Senin, 20 Nopember 2006 di alun-alun KSB di Kecamatan Taliwang.
Sehari sebelumnya akan diadakan pentas kolosal oleh Teater Total dengan tema “Nuansa KSB Bumi Penuh Rahmat Tuhan” di alun-alun KSB pada pukul 20.00 wita.
Mustakim Biawan sutradara pementasan tersebut di rumah makan Totang Rasa, Taliwang, Kamis siang (9/11), mengatakan bahwa nantinya pementasan akan didukung lebih dari 100 seniman KSB dengan mengambil tema sentral “Berbeda Itu Indah”.
Musbiawan, panggilan akrab mantan Kepala Taman Budaya Nusa Tenggara Barat tersebut menjamin bahwa pentas kolosal nantinya bebas dari titipan dan sponsor yang biasa dilakukan pejabat saat menggelar ulang tahun.

Datanglah ke kecamatan Taliwang yang menjadi ibukota KSB. Disana sini akan tampak pembangunan yang pesat dan kadang membuat kita geleng kepala. Jumat siang (10/11) terlihat sejumlah pekerja sedang mengerjakan gedung DPRD yang menelan biaya 7 milyar, sementara jumlah anggota dewan di KSB hanya 20 orang.
Di sudut yang lain gedung kabupaten KSB sedang dikebut termasuk fasilitas helipad. Di seberangnya ada guest house dengan kapasitas 600 kamar.Begitulah geliat Taliwang yang kalau mau jujur diakui karena keberadaan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).
PT NNT tahun 2005 membayar Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp 9.063.178.522 kepada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Sumbawa Barat. Hal ini diungkapkan Bapak Malik Salim, Senior Manajer Hubungan Eksternal PT NNT, Sabtu malam, (11/11) di Hotel Lombok Raya, Mataram. Di luar kewajiban tersebut , PT NNT setiap tahun juga mengeluarkan sekitar dua puluh miliar rupiah untuk pengembangan masyarakat dan bantuan sosial. (Buletin Suara Batu Hijau, Edisi Masyarakat, No.10/Nopember 2005).

Max Arifin,70, budayawan kelahiran Alas, Sumbawa Besar, menyempatkan diri mengunjungi Taliwang sebagai bagian dari agenda pulang kampung yang disponsori PT Newmont Nusa Tenggara.”Ada banyak perubahan di Taliwang semenjak saya mengajar di SMI (Sekolah Menegah Islam, setingkat SMP) Taliwang sekitar empat puluh tahun lalu.”. Saat mengajar di Taliwang selama tiga tahun tersebut, Pak Max, apnggilan akrabnya mempunyai kelompok musik.”Saya bagian main biola dan gitar”. Salah satu anggotanya yang masih hidup adalah Bapak H.Lalu Muhadli, ayahanda Bupati Taliwang saat ini, K.H.Zulkifli Muhadli, SH, MM.
Tinggal di rumah yang asri di Jl.Mawar, Pak Muhadli menerima kehadiran kami dengan ramah, Jumat (10/11). Setelah makan siang, kami mengunjungi Pondok Pesantren Al Ikhlas di Jl.Pondok Pesantren 112.Di lahan seluas lima hektar dengan pemandangan bukit yang indah berdiri juga Universitas Cordova. Baik Pondok Pesantren maupun Universitas Cordova dikelola oleh Bapak K.H.Zulkifli Muhadli, SH MM.
Sebagai alumni Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo, Pak Zulkifli menerapkan metode pendidikan Ponpes Gontor pada Pondok Pesantren Al Ikhlas yang dikelolanya.
Nama Cordova diambil dari nama sebuah kota di Spanyol yang pernah menjadi pusat kejayaan peradaban Islam dan pengembangan iptek pada abad X-XI. Diharapkan nama Cordova dapat menjadi sugesti dan pemompa semangat perjuangan bagi pimpinan dan staf Undova dalam memberikan pelayanan jasa pendidikan tinggi kepada masyarakat.
Undova pada tahun ajaran 2005/2006 memiliki 214 mahasiswa yang tersebar pada 5 Program studi yaitu: Ekonomi Islam, Teknik Informatika, Teknik Pertambangan, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Bahasa Inggris dan Ilmu administrasi Pemerintahan.
Saya teringat kepada Bapak Machmoed Zain, mantan Bupati Mojokerto di Jawa Timur, yang begitu mengagumi kejayaan Majapahit , sehingga nama universitas yang didirikan saat masih menjabat sebagai bupati pun mencantumkan Majapahit: Universitas Islam Majapahit (UNIM). Sampai hari ini masih berdiri cukup megah di Jl.Raya Jabon Kabupaten Mojokerto, dengan arsitektur bernuansa Majapahit.

Di ruang tamu yang semilir oleh angin ,siang itu Ibu Bupati didampingi putra sulung dan salah satu kerabat, menerima kedatangan Pak Max Arifin dan tim, sementara Bapak Bupati sedang berada di Jakarta untuk tugas kedinasan.
Selanjutnya Pak Max menceritakan tentang bagaimana ‘menemukan’ salah satu sahabat lamanya, H.Lalu Muhadli.”Saat itu saya sedang sakit di RS SidoWaras, Bangsal, Kabupaten Mojokerto. Ada anak muda yang mengenalkan diri bahwa istrinya berasal dari Sumbawa, dan memiliki nomor telepon H.Lalu Muhadli.”. Begitu gembiranya, dari kamar RS Sido Waras, Pak Max langsung mengontak sahabat lamanya lewat ponsel. Dan kontak selanjutnya berlangsung sampai hari ini.

Pak Max menyerahkan cinderamata perahu Majapahit yang dimasukkan dalam botol dengan tulisan berupa lawas :Kudatang jango desa/Nonda kaling kubawa/Salamat gama parana/, dua buku terjemahan Pak Max masing-masing My Life in Art karya Konstantin Stanislavsky, Ledakan dan Bom- biografi Antonin Artaud dan buku Kabupaten Mojokerto Menuju Masa Depan, yang diterima Ibu Bupati.
Sementara Ibu Bupati menyerahkan sebotol madu khas Sumbawa.

Menjelang pukul tiga sore, Pak Max dan tim pamit dan melanjutkan perjalanan kembali ke Hotel Trophy di Maluk.



Salah satu ‘hadiah’ bagi ulang tahun Kabupaten Sumbawa Barat yang ke 3 tanggal 20 Nopember 2006 adalah perubahan status desa Maluk yang berpenduduk tujuh ribu jiwa menjadi kecamatan.
Dalam beberapa kesempatan, saya mendengar tentang berita korupsi, ijazah SD Bupati Taliwang yang dipertanyakan keabsahannya, rencana Bupati menggelar seribu spanduk untuk masuk MURI dengan tulisan yang provokativ “Mari kita rebut tiga persen saham PT Newmnont untuk KSB”, dana lima ratus juta yang digulirkan PT Newmont Nusa Tenggara kepada Pemkab KSB untuk proyek jalan menguap tanpa realisasi kongkrit.
Kembali saya teringat kepada sahabat email saya: Arif Hidayat. Pemuda kelahiran Alas, Sumbawa Besar tersebut adalah redaksi Sumbawanews, dan saat ini menjadi ketua panitia Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember nanti.Dalam salah satu kesempatan dari Hotel Trophy di Maluk, Rabu (8/11) saya sempat bertanya via ponsel kenapa tidak membuat liputan khusus berkaitan isu korupsi yang begitu santer di KSB.
“Tak ada informasi dan data yang masuk,” kata Arif yang juga aktif dalam Masyarakat Transparansi Indonesia dan Tiga Pilar Kemitraan..Rasanya benar juga informasi dari sebuah lembaga dunia yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan penyair Taufiq Ismail memberi judul antologi puisinya :Malu Aku Jadi Orang Indonesia………………………………………………………………..

(abdul malik, email:banyumili@telkom.net)

Surat Dari Seberang 2 (Max Arifin)

SURAT DARI SEBERANG.

Ngunglu ayam ling Samawa
Samung ling sanak do tokal
Mole tu sakompal ate.



Ecun,

Bulan lalu aku diundang oleh PT Newmont Nusa Tenggara. Undangan untuk pulang kampung, atau dalam bahasa “tau Samawa” “mole jango desa”; karena sesungguhnya sudah 65 tahun aku tidak pernah melihat daerah yang sekarang disebut Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) itu. Sayup-sayup terngiang-ngiang sepotong lawas Samawa yang dibawakan oleh seoramg pemuda yang kesepian yang sedang menjaga padinya di sawah pada malam hari. Rindu pada wajah kekasih yang lama tidak bersua karena pekerjaan yang mendera badan……..kudatang jango desa, nonda kaleng kubawa, selamat gama parana.
Di samping aku dan istriku ikut pula sdr. Abdul Malik dan Novarita teman-teman baikku yang selama ini membantu aku dalam berbagai hal dan pekerjaanku.. Aku banyak melihat dan berbicara dengan beberapa orang staf dan karyawan PT Newmont.
Ecun,
Waktu terasa berjalan cepat sekarang ini, karena di sana orang-orang berbicara dan berdiskusi tentang perencanaan masa depan. Waktu tidak beku atau membatu seperti terdapat dalam otak orang-orang yang berpikir tradisional. Empat puluh tahun yang lalu, kita bisa mengatakan waktu itu malah tidak ada. Apapun jenisnya, perencanaan berarti suatu antisipasi keadaan masa depan. Penegasan visi tentang masa depan pada saat ini adalah bertujuan untuk memotivasi, membimbing dan mengarahkan tindakan sekareang---suatu masa depan yang berbeda dengan masa sekarang, namun penuh dengan agen dan kontra agen, objek-objek yang perlu dihindari, objek-objek yang perlu dicakup, sarana untuk memungkinkan penghindaran, kekuatan yang saling berkaitan, manusiawi dan yang non manusiawi, lunak, bermusuhan atau netral.
Manusia terkondisi untuk berubah dan membuat perencanaan menjadi penting dan perlu bagi diri mereka untuk memilih dan bertindak karena kebutuhan dalam medium sejarah. Namun karena masa depan itu akan berbeda dengan masa seakarang, maka manusia tidak mengetahui seberapa jauh mempercayai antisipasinya yang sekarang mengenai masa depan itu dalam rangka menyiapkan diri untuk menghadapi dan menanggulanginya.. Seperti dikatakan oleh Warren G.Bennis, dan kawan-kawan, dalam bukunya, The Planning of Change (Rinehart & Winston, Inc. 1985) semua perencanaan manusia adalah perencanaan perubahan dan memerlukan pertimbangan mengenai keseimbangan yang layak antara investasi energi dan sumberdaya untuk mengejar atau menghindari akibat yang dapat kita antisipasi sekarang., suatu masa depan yang kurang lebih akan menimbulkan keterkejutan, karena sistem sosial yang selama ini kita hadaapi adalah bersifat evolusioner.
Manusia modern dikhianati oleh arah tradisi, Ecun. Mereka menghadapi sekaligus harapan dan ketakutan akan masa depan yang belum diketahui secara langsung karena kehilangan kepercayaan pada pedoman dari kebiasaan dan kebijaksanaan tradisional. Kita kadang-kadang menjadi gamang, bergerak antara harapan dan ketakutan. Kukira itulah sebenarnya yang dimaksud oleh Pak Basar, seorang staf Comdev ketika mengantar kami berkeliling ke desa-desa sampai ke Tatar. Pak Basar menyebut-nyebut tentang mentalitas dan peri laku. Kompas (30 November 2006) mengutip ceramah Prof. Michael Porter dalam sebuah seminar di Jakarta. Profesor itu bertanya, lalu kenapa Indonesia tetap stagnan? Dia jawab sendiri, “Saya pikir penyebabnya sebagian adalah masalah mentalitas dan perilaku” dan dia meminta agar pola berpikir kita diubah. Hal serupa sedikit banyak disebut-sebut pula oleh Bapak Malik Salim, Asisten Senior Manager External Relation PT Newmont dalam diskusi kecil dengan beliau di Hotel Lombok Raya, Mataram. Masyarakat sedang mengalami perubahan secara drastis dan dunia kini dibayangi oleh perubahan ke arah masyarakat informasi. Dalam waktu dekat kita akan memasuki suatu dunia yang benar-benar baru. Di dalam dunia yang baru ini kesatuan pengetahuan, sifat komunikasi manusia, tatanan masyarakat, tatanan gagasan dan gagasan yang sesungguhnya mengenai masyaraakat dan kebudayaan mengalami perubahan dan tidak akan kembali seperti semula. Dunia baru yang kita hadapi adalah dunia “jungkir-balik” nilai-nilai yang akan melahirkan kegamangan di sebagian besar anggota masyarakat; terjadinya pembubaran dan perubahan wewenang secara besar-besaran dalam keyakinan, dalam ritual dan dalam tata-tertib duniawi. Namun inilah dunia yang kita diami. Suka atau tidak suka. Pak Basar dan Pak Malik Salim tentu mengalami dan menghadapi kesulitan-kesulitan; banyak kesulitan. Kesulitan-kesulitan ini barangkali berasal dari perkembangan dalam pemahaman, dalam ketrampilan, bahkan dalam keluasaan.
Ecun,
Sebuah masyarakat atau individu yang “well-informed” atau tercerahkan akan mudah berubah atau beradaptasi dengan gagasan-gagasan atau ide-ide baru. Bukan dalam arti menerima begitu saja, tetapi (yang kita kehendaki) adalah terjadinya proses analisis dan internalisasi pada dirinya. Distorsi informasi---apalagi kalau disengaja atau memanipulasi informasi---akan bisa menimbulkan hal-hal yang fatal. Seperti yang terjadi di daerah-daerah dan tawuran antar kelompok. “Proses tentang informasi” adalah penting, karena dengan proses itu kita berusaha memberikan pada masyarakat kita tentang wawasan tentang apa yang sedang berlangsung di sekitar kita, di dalam diri kita dan antara diri kita dan orang lain. Selama ini barangkali saja ada yang salah. Kita haruslah berpendapat bahwa informasi diperlakukan sebagai isi dalam lingkungan yang mempunyai potensi untuk mengubah proses, strategi dan rencana sistem yang dibuat dengan sengaja (by designed). Bisa saja pemecahan masalah oleh Comdev akan menimbulkan masalah baru (yang tidak diramalkan). Mungkin kita tidak pernah dapat mengambil langkah yang akibatnya memang kita maksudkan. Mungkin pula selama penelitian Comdev sering menemukan tujuan baru yang dipertaruhkan dalam tindakan kita yang berada di luar batas tujuan kita sendiri. Dengan de mikian secara metafora---maaf pada Pak Basar--- langkah perencanaan dan tanggapan pihak yang direncanakan (rakyat Sekongkang dan Jereweh khususnya dan KSB umumnya) dapat dilihat sebagai suatu percakapan. Namun konteks perencanaan adalah konteks di mana perencanaan dan pihak yang direncanakan mungkion benar-benar berbicara satu-sama-lain (berkomunikasi atau bermiskomunikasi), sebagaimana mungkin terjadi tentang makna yang telah mereka bentuk atau sepakati, baik untuk langkah mereka sendiri maupun untuk langkah pihak lain.
Ecun,
,PT Newmont ini tentu mempergunakan perencanaan modern. Secara sepintas aku dapat melihat dan merasakan “aura” rasional-komprehensif yang berada di dalam konteks kesadaran objektif: suatu keadaan kesadaran yang dibersihkan dari semua penyimpangan subjektif dan semua keterlibatan atau kesalahan pribadi. Perencanaan seperti ini terasa elitis dan cenderung sentralistis yang benar-benar menutup semua kemungkinan untuk perubahan sosial kecuali yang sudah diprogramkan sebelumnya. Sejarah mengajarkan kita, bahwa perubahan penting selalu unik, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat diulang. Kita orang-orang modern sering tidak sabaran dengan mengatakan perubahan adalah sebuah proses yang tidak ada akhirnya. Aku akan mengatakan pada manusia modern, bahwa sumber perubahan sosial kreatif itulah yang tidak dapat diperhitungkan. Atau seperti yang ditulis oleh dua orang dramawan Inggris, Richard Edmund dan Nigel Hughes yang mengunjungi jantung Kalimantan sampai ke Longpahangan: “ Usaha kami bukanlah memaksakan metode dan nilai-nilai kami, tetapi sebaliknya adalah belajar dari mereka dan mengembangkan ideologi kaya, kesenian dan kreativitas mereka sendiri yang telah dihancurkan dan dipinggirkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar, terutama oleh bangsanya sendiri” (Rainforest Quest/Trees of Paradise,Green ress, 1991: 169). Lebih jauh dua orang dramawan ini menulis di sana: “Rakyat di sana bukan cuma contoh dari kebudayaan yang sudah tua, tetapi mereka adalah penjaga-penjaga, guardians misteri yang ada di daerah mereka, walau sebagai penjaga mereka tidak punya konsep tentang bahaya besar yang mengintai mereka, bahaya yang mengancam ‘the core of their existence’ , the mystery itself” (hal 278).
Ecun,
Di sinilah kayaknya ada pemahaman yang saling bertentangan tentang apa kebudayaan itu. Bagi kita orang-orang modern---aku, Pak Malik Salim, Pak Basar, Pak Kasan Mulyono, Pak Zambani, Pak Jarot, dan lain-lain---tidaklah memandang kerbudayaan---tradisi, perilaku, adat-istiadat, dan lain-lain---sebagai suatu heritage, suatu warisan yang sebagaimana dipahami oleh masyarakat setempat, masyarakat lingkar tambang atau KSB umumnya. Bagi mereka heritage adalah pedoman-hidup, pedoman dalam bertingkah-laku dan berperilaku dan bersikap serta alat-perekat anggota masyarakat. Lawas, sakeco, badede, langko, dan lain-lain harus dilestarikan. Bagi mereka kebudayaan adalah terdiri atas kebudayaan-kebudayaan yang sudah lama ada yang saling berdamai satu sama lain. Tetapi bagi kita---manusia-manusia modern yang dikhianati oleh tradisi itu---kebudayaan kita pahami sebagai fragmen-fragmen masa lalu yang saling tak terdamaikan, bukan penemuan tetapi warisan yang bermetamorposes, melalui kreativitas budi dan akal manusia. Masa lalun itu adalah sesuatu yang harus ditaklukkan dan dianeksasi dan adalah dalam diri kita---manusia-manusioa modern itu---di mana dialog-dialog besar dengan kebudayaan=kebudayaan kebesarabn masa lalu itu menjadi hidup. Dengan demikian---terutama dengan hormat pada Bapak Malik Salim---kebudayaan itu menjadi kompendium dan menyokong kebesaran Manusia (manusia dengan huruf besar M) dan membuat mereka memiliki dan banggga akan harkat mereka sebagai manusia. Lewat kebudayaan, terutama seni kita ---seni modern dan seni tradisional---kita mencoba menolak takdir kita. “All art is a revolt agaisnt man’s fate”, kata Andre Malraux dalam bukunya The Voices of Silence (Granada Publishing House, 1974: 639)
Ecun,
Aku dan teman-teman timku telah melihat geliat Jereweh. Gairah Sakongkang, Magnet Maluk dan Benete, Harapan Belo. Kegigihan Goa. Kiprah Beru. Optimisme Tongo dan Tatar----terima kasih lagi pada Pak Basar----. Mungkin apa yang kami lihat adalah secara fisik saja, tetapi kami berharap adalah pula geliat itu dalam bentuk mental dan peri laku.
Terakhir aku ingin mengucapkan terima kasih pada dua orang siswa SMA Negeri Jereweh, Pipin Riyanto dan Fitri yang telah menelpon aku menanyakan masalah kreativitas dalam penulisan. Semoga kalian kelak menjadi penulis-penulis yang handal.


Kepada seluruh masyarakat lingkar tambang, kami mengucapkan”
No soda su ku ko sia
Ko paranaku baesi
Ling genras ku sayang sia..

Salam hormat,

Max Arifin.
Jl.Bola Voli Blok E 33
Perum Griya Japan Raya,Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361
Jawa Timur
Telp 0321-326915
HP 085 2300 39 807
Email: daxxenos2@yahoo.com

Thursday, October 05, 2006

Absurditas Dari Mojokerto (foto)

Wawancara Max Arifin di Jurnal Budaya Surabaya

Apalah Arti Gedung Kesenian yang Megah dan Representatif
“Kota seperti Surabaya, saya kira, memang memerlukan sebuah gedung kesenian yang representatif. Surabaya perlu menampilkan wajah yang berbudaya, bukan wajah sangar seperti sekarang. Namun, apalah arti sebuah gedung kesenian yang megah dan representatif bila kita tidak mampu mengisi dengan kesenian-kesenian yang bermutu.”


Tanggal 18 Agustus lalu, Max Arifin genap berusia 70 tahun. Ulang tahunnya dirayakan kecil-kecilan di rumahnya oleh sejumlah seniman muda, baik dari dalam maupun luar kota (Mojokerto), yang selama ini memang sering mengunjunginya, di Jl.Bola Voli Blok E 33, Perum Griya Japan Raya, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Yang sangat membanggakan, bertepatan dengan hari ulang tahunnya itu, buku terbarunya, “Antonin Artaud, Ledakan dan Bom” (terjemahan dari karya Stephen Barber, Blows and Bombs,) telah diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Tentunya ini semakin membuat hari ulang tahun Max Arifin di Bulan Agustus itu semakin spesial.
Pada suatu kesempatan ketika Max Arifin diundang menjadi pembicara dalam forum diskusi yang digelar oleh Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), akhir Agustus lalu, tentang buku terbarunya ini sudah banyak ditanyakan oleh sejumlah seniman Surabaya yang menyapanya. Namun, buku yang bercerita tentang biografi dan konsep teater Antonin Artaud tersebut ketika itu masih belum sampai di Surabaya. Jadilah para seniman yang menanyakannya itu harus gigit jari. Adapun buku itu baru beredar di Surabaya pada bulan berikutnya. Isinya telah dibedah di DKJT pada Selasa, 19 September lalu.
Buku Stephen Barber ini memotret Antonin Artaud sebagai sosok yang unik sekaligus sangat memilukan--sebuah buku yang luas dan otoritatif tentang sejarah hidup dan karya dari orang yang mengubah arus teater modern. Antonin Artaud adalah salah seorang dari legenda-legenda kultural besar abad dua puluh. Theatre of Cruelty-nya mengubah arah arus teater modern dan eksperimen-eksperimennya dengan gerakan Surrealis telah memberi inspirasi yang menembus Eropa dan Amerika.
Di akhir dari sebuah rangkaian perjalanannya yang panjang--baik fisikal maupun spiritual yang ditujukan untuk menciptakan sebuah budaya yang magis dari tubuh manusia--dia ditahan dan dikurung selama sembilan tahun di berbagai asilum di Prancis, di mana dia menderita kelaparan dan menjadi “kelinci percobaan” dari lima puluh kali pengobatan lewat kejutan listrik (electroshock). Digambarkan dalam buku itu, kehidupan Artaud merupakan kegagalan yang mengerikan dan konfrontasi dan eksplorasi yang ekstrim dari luka derita dan kegembiraan.
Sampai hari ini, Max Arifin, kira-kira sedikitnya telah menghasilkan 34 karya buku. Jumlah itu belum termasuk beberapa puisi dan cerpen dari timur tengah yang juga sempat diterjemahkannya. Memang, sebagian besar dari total karyanya itu, 26 di antaranya adalah karya terjemahan, termasuk tujuh karyanya yang belum diterbitkan. Seperti; Suara yang Lain (dari buku The Other Voice, karya Octavio Paz); Surat-surat Negro (The Fire Next Time, karya James Baldwin); Teater Politik (Political Theatre, karya David Goodman); Teater dan Kembarannya (Theatre and it’s Double, karya Antonin Artaud); Masalah-masalah Seni (The Problems of Art, karya Susanne K. Langer); Kapal Orang-orang Bodoh (Ship of Fool, dari karya Christiana Perri Rossi) dan Hidupku dalam Seni (My Life in Art, karya Konstantin Stanislavsky).
Beberapa di antara judul-judul buku yang belum diterbitkan tersebut telah berada di tangan penerbit. Seperti; Masalah-masalah Seni yang sudah berada di penerbit Bentang, Yogyakarta; Hidupku dalam Seni yang telah ditangani oleh penerbit Pustaka Kayutangan, Malang dan Kapal Orang-orang Bodoh yang kini berada di tangan penerbit Biduk, Bandung.
Pada karya yang disebut terakhir, bahkan telah berada di pihak penerbit sejak lima tahun yang lalu. Namun tak pernah ada kabar sampai sekarang. Celakanya Max Arifin tidak menyimpan kopi terjemahannya. Untungnya naskah dari buku aslinya, Ship of Fool, masih tersimpan rapi di rak bukunya.”Ah, sudahlah, saya tak ingin ribut dengan orang soal itu,” katanya ketika disinggung tentang nasib karyanya yang satu ini.
Begitulah, Max Arifin sebenarnya punya seabrek pengalaman yang tidak enak semacam itu. Contoh lain, naskah Surat-surat Negero yang diterjemahkannya dari karya James Baldwin sempat dinyatakan raib ketika dibawa oleh salah seorang redaktur budaya untuk dimuat di koran harian nasional terbitan Surabaya. Pengalaman pahit seperti itu sering terjadi karena Max Arifin selalu ingin membagi isi buku tersebut kepada orang lain. Suatu keinginan yang selalu ada dibenaknya setiap kali dia akan mengawali menerjemahkan buku.
Adapun sampai hari ini Surat-surat Negero tak pernah muncul di koran seperti yang telah dijanjikan oleh redakturnya tersebut. Hingga suatu ketika pernah Max Arifin mengirim pesan singkat (SMS) kepada Jurnal: ”Malam ini, salah satu televisi swasta menayangkan Malcolm X. Namun pikiranku melayang pada Surat Surat Negro.”
Karir Max Arifin sebagai penerjemah buku kira-kira berawal sejak tiga puluh tahun yang lalu. Bermula dari seorang wartawan Kompas bernama Trees Nio yang datang mengunjungi Dirman Toha, sahabat Max Arifin, yang merupakan koresponden Kompas di Mataram. Saat itulah Trees Nio melihat dua naskah novel terjemahan karya Max Arifin, masing-masing Walkabout, karya James Vance Marshall dan The Sound of Waves, karya Yukio Mishima.
Trees Nio langsung tertarik dengan dua naskah itu dan membawanya ke Jakarta. Berturut-turut kemudian masing-masing dijadikan Cerita Bersambung (Cerber) di Kompas (1976 dan 1978). ”Honor dari Kompas waktu itu sebesar delapan puluh rupiah. Sementara gaji sebagai pegawai negeri tujuh puluh lima rupiah,” kenang Max Arifin.
“Kami langsung beli pompa air yang uangnya dikumpulkan dari sebagian honor Kompas itu. Waktu itu kira-kira harganya Rp. 125 ribu,” timpal Siti Hadidjah (70), isteri Max Arifin, yang juga pekerja seni. Sementara, Max Arifin, masih dari sebagian honornya itu, pada 28 Februari 1986, membeli mesin ketik Brother Deluxe 550 TR untuk hadiah ulang tahun isterinya, dengan tak lupa dituliskannya pesan pendek terlebih dahulu: Without Fear and Favor!
Karya-karya naskah/ buku yang pernah ditulis Max Arifin memang kemudian banyak yang dijadikan cerber di sejumlah koran harian yang terbit di negeri ini. Selain dua karya yang telah disebut tadi, masih ada Kecantikan dan Kesedihan (terjemahan dari naskah The Beauty and Sadnes, karya Yasunari Kawabata) yang juga menjadi cerber di Kompas pada tahun 1984.
Selain itu, masih ada lagi; Matinya Demung Sandubaya yang menjadi cerber di harian Suara Nusa (Mataram); Kemelut (naskah terjemahan dari The Blind Owl, karya Sadeq Hedayat) yang menjadi cerber di Surabaya Post; serta Seratus Tahun Kesunyian (naskah terjemahan dari One Hundred Years of Solitude, karya Gabriel Garcia Marques) yang menjadi cerber di Jawa Pos (1997).
Kendati demikian, dengan jumlah karya yang telah dihasilkannya sebanyak itu, Max Arifin tidak mau disebut sebagai sastrawan. “Saya ini orang teater, bukan sastrawan,” ujarnya. Barangkali dia berkata begitu karena kebanyakan karyanya, baik itu yang terjemahan maupun tidak, sebagian besar adalah tentang drama/ teater.
Terlebih, dia juga pernah mendirikan kelompok teater Gugus Depan di Mataram. Bahkan, selama tinggal di Mataram dulu, dia adalah pembina teater di beberapa SMA dan universitas. Pun di tempat kerjanya, Depdikbud Nusa Tenggara Barat (sekarang sudah pensiun, red), dia juga diserahi tugas untuk menangani bidang Kesenian seksi drama (tradisional dan modern).
Kepada Jurnal, Max Arifin bersoloroh, jika ada yang mengira bahwa dirinya adalah seorang sastrawan, itu karena selama berkesenian dia juga suka menulis puisi dan cerpen. Percayalah, Max Arifin akan lebih antusias jika diajak ngobrol soal teater.
*****
Bagaimana perkembangan teater di tanah air, khususnya di Surabaya dan Jawa Timur (Jatim)?
Perkembangan teater di Indonesia timbul tenggelam. Ada masa ketika teater itu sedang marak, atau sedang digandrungi, ada juga masa ketika teater sedang sepi.

Perkembangan teater di Surabaya atau Jatim sekarang ini, termasuk pada masa yang mana?
Seperti yang anda lihat sendiri, sejak beberapa tahun terakhir, banyak festival dan pementasan (teater) di sini (Surabaya, red). Itu artinya teater sedang berkembang pesat di sini. Tapi itu kalau kita bicara soal kuantitas loh ya…

Kebanyakan dari mereka tidak berkualitas, ya, Pak?
Tidak semua kelompok teater yang pernah mentas--sepanjang yang saya saksikan--tidak berkualitas. Ada beberapa yang cukup berkualitas di samping ada yang memang di bawah standar.

Apa kira-kira yang membuat penampilan kelompok-kelompok teater kita banyak yang tidak berkualitas?
Ada banyak faktor. Tapi, sebenarnya, kualitas bisa dicapai bila kelompok-kelompok teater tersebut memahami benar tuntutan-tuntutan atau hukum-hukum yang ada dalam seni teater. Bukan cuma memahami secara teoritik, tetapi mampu mengimplementasi aspek-aspek teoritik tersebut ke dalam praktik, ke dalam realitas pentas yang bersifat visual.
Tuntutan-tuntutan atau hukum-hukum yang ada dalam seni peran (teater) tersebut memang cukup tinggi. Saking tingginya, orang memerlukan membangun sekolah tinggi yang mengajar seni teater dan seni teater merupakan suatu disiplin tersendiri.

Ada kelompok teater yang sejak awal penampilannya tidak berkualitas dan celakanya pada penampilan selanjutnya, hingga sampai pada penampilannya yang kesekian kali atau bahkan sampai sekarang tetap saja tidak berkualitas. Bagaimana caranya meningkatkan kualitas kelompok teater yang seperti ini, atau sudah susahkah untuk memperbaiki kualitas pada kelompok teater yang seperti ini?
Saya tidak mengatakan susah atau tidak susah, karena semuanya juga akan terpulangkan pada manusianya. Sebagaimana seni-seni yang lainnya, seni teater menuntut latihan-latihan yang terus menerus dan studi, di samping--barangkali--sedikit bakat.
Latihan-latihan dibagi dalam dua macam: latihan-latihan persiapan dan latihan-latihan produksi. Mereka yang sudah matang dalam latihan-latihan persiapan baru bisa mengikuti latihan-latihan untuk produksi, untuk pementasan. Ada jenjang-jenjang di setiap macam atau tahap latihan tersebut. seni teater disebut juga sebagai seni vokal dan seni akting. Ada tuntutan-tuntutan yang cukup berat untuk keduanya. Sudah terlalu banyak buku yang mengupas masalah tersebut. Lalu tanpa membaca satu bukupun, apakah bisa dikatakan adanya pementasan yang berkualitas?
Menurut saya, tak ada cara lain untuk meningkatkan kualitas selain dari belajar, studi dan latihan yang terus menerus. Seperti dikatakan oleh Stanislavsky, aktor-aktor harus menjalani latihan-latihan dan disiplin yang ketat, selalu menguji dirinya, standar-standar etika yang tinggi, mengejar selera yang baik di atas dan di luar pentas. Ia menolak aktor-aktor yang bebal, malas, yang suka mejeng, melacurkan hidupnya hanya untuk dikeploki penonton.
Aktor harus memiliki disiplin ketat. Aktor harus selalu menguji dirinya, memiliki standar etika yang tinggi dan mengejar selera, baik di atas pentas maupun di luar pentas.Sutradara-sutradara pun harus memahami sejarah teater--di dunia dan di tanah air--paham-paham, gagasan-gagasan yang ada dalam dunia seni teater dan memahami perbedaan-perbedaannya.
Paham-paham atau gagasan-gagasan ini mungkin saja akan menuntun dia dalam menentukan strategi dramaturgi yang akan dipakai dalam pementasannya. Sutradara dan aktor harus memahami di mana letak keindahan seni teater dan mampu mewujudkan keindahan tersebut dalam realitas pentas.

Menurut anda, apakah workshop-workshop, tentang teater khususnya, yang digelar oleh komunitas atau lembaga atau instansi pemerintah, yang umumnya paling lama cuma berlangsung satu minggu, bisa bermanfaat bagi seorang aktor/ aktris, terlebih dalam kaitannya demi meningkatkan kualitas pertunjukan mereka di atas panggung?
Tergantung pada sistem, metode yang dipakai oleh instruktur workshop itu. Seperti workshop-workshop yang saya perhatikan selama ini, saya tidak begitu yakin akan segera meningkatkan kualitas seni pertunjukan. Walau dia mengundang Rendra atau Putu Wijaya sekalipun. Mereka cuma mempelajari bagaimana sebuah peran itu (akan) dimainkan dan bukan tentang bagaimana hal itu diciptakan secara organik.
Seni sejati harus mengerjakan bagaimana cara membangkitkan dalam diri seorang aktor apa yang disebut “Superconscious Creative Nature” untuk menjadi “The Superconscious Organic Creation”. Saya mengusulkan sistem workshop yang berjenjang dan berkelanjutan: elementer, intermediate dan advance dengan kurikulum yang berjenjang pula. Dengan begitu akan ada seleksi alam di sana. Pada jenjang advance, tahun ketiga, saya yakin akan tinggal beberapa orang saja dan itu adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tekun dan disiplin atau mau maju.

Belakangan ini ramai disoal tentang perlunya gedung kesenian di Surabaya, sampai beberapa waktu yang lalu pernah dijadikan bahan diskusi dalam forum yang digelar oleh Kompas (Jatim). Banyak yang berpendapat, kota sebesar Surabaya sudah saatnya (perlu) punya gedung kesenian yang representatif. Menanggapi tuntutan itu, Wakil Walikota, Arif Affandi, menjanjikan akan membangun gedung tersebut di Kompleks Balai Pemuda pada 2008 nanti, yaitu menunggu kontrak Gedung Mitra 21 di kompleks tersebut habis. Gedung bioskop inilah yang akan direnovasi untuk gedung kesenian. Menurut anda, apakah memang perlu dibangun gedung kesenian (yang representatif) di kota Surabaya?
Kota seperti Surabaya saya kira memang memerlukan sebuah gedung kesenian yang representatife. Surabaya perlu menampilkan wajah yang berbudaya, bukan wajah yang sangar seperti sekarang.

Setelah ada gedung kesenian (yang representatif) itu dibangun, dengan seniman atau kelompok kesenian di kota ini yang kebanyakan kualitasnya masih dibawah standar, lalu selanjutnya apa?
Memang, apalah arti sebuah gedung kesenian yang megah dan representative bila kita tidak mampu mengisi dengan kesenian-kesenian yang bermutu. Oleh sebab itu, di samping akan dibangunnya gedung kesenian itu, grup-grup/ sanggar-sanggar harus meningkatkan mutu dan kualitasnya untuk bisa tampil di sana.

Berarti, tentang siapa saja (seniman/ kelompok kesenian yang seperti apa) yang berhak main di gedung yang representatif itu, harus disaring terlebih dahlu. Hanya seniman atau kelompok kesenian yang sudah terbukti kualitasnya saja yang berhak main di gedung itu, seperti itukah nantinya? Lalu, siapa (orang) yang berhak menyaringnya?
Untuk bisa main di gedung itu memang perlu selektif dalam arti tidak asal-asalan. Ada ukuran atau patokan. Memberikan kesempatan pada kelompok yang (mau) maju agar kreatifitasnya meningkat. Patokan atau ukuran itu dibuat oleh badan pengelola itu sendiri.

Sebaiknya gedung kesenian itu dikelola oleh siapa (misalnya: pemerintah, swasta, seniman, dewan kesenian, atau tak satupun dari mereka)?
Dalam badan pengelola nanti harus ada tiga unsur itu (pemerintah, swasta dan seniman). Badan ini harus independen dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya. Tapi harus dicatat: dia yang mewakili pemerintah bukanlah orang-orang yang gampang diatur (lagi) oleh atasannya. Swasta pun bukanlah kepanjangan tangan untuk mengurus para rekanan. Serta, seniman, bukanlah kepanjangan tangan sebuah partai yang lalu bergagahgagahan bahwa dia dekat dengan gubernur, bupati atau walikota karena satu partai. Orang-orang seperti itu cuma akan jadi broker kesenian. Celaka, bukan? Untuk itu perlu digariskan kualifikasi-kualifikasi yang diperlukan.

Menurut anda, apakah pemerintah seharusnya turut bertanggungjawab/ ikut andil dalam membentuk kualitas seniman?
Pemerintah juga berkepentingan bila kesenian di daerahnya berkualitas. Sebab persyaratan sebuah kota berbudaya sangat bergantung pada karya-karya kreatif dan berkualitas para senimannya.

Sebaliknya, haruskah seniman bergantung pada pemerintah untuk berkesenian atau mengembangkan kesenian di kotanya?
Seniman tidak harus bergantung pada pemerintah dalam mengembangkan keseniannya. Namun tidak dapat dipungkiri, ada seniman yang bergantung pada (sumbangan) pemerintah dan ada yang tidak. Tergantung sejauh mana sikap seniman itu menjaga independensinya.

Haruskah kita/ seniman menuntut pemerintah untuk memperhatikan kesenian, atau keberadaan senimannya?
Kita tidak menuntut, tapi memang kewajiban pemerintah untuk memperlakukan kesenian atau keberadaan senimannya.

Kebanyakan seniman, biasanya kelompok teater, di Surabaya khususnya, masih bergantung pada pemerintah untuk urusan membiayai ongkos produksinya. Haruskah begitu, atau, kalau tidak, alternatifnya seperti apa?
Selain pemerintah, masih ada masyarakat dan pihak swasta yang peduli pada perkembangan kesenian. Tapi seniman perlu memperbaiki citranya dalam mengelola bantuan (baik dari pemerintah maupun swasta). Ada seniman atau badan/ kelompok yang kurang sehat dalam mengelola bantuan ini. Lalu kita harus bagaimana terhadap seniman/kelompok yang seperti itu? Indonesia adalah negara terkorup nomor tiga di dunia, bukan? Ya, mau gimana lagi…
*****
Dalam suatu kesempatan di Museum Mpu Tantular, Surabaya, saat ditemui seusai berbicara dalam suatu forum diskusi yang digelar oleh DKJT akhir Agustus lalu, kepada Jurnal, Max Arifin sempat melontarkan gagasan tentang seniman teater yang professional. Dalam artian: 24 jam seorang seniman mengabdikan hidupnya untuk teater, mencari makan dari teater. “Seniman ludruk bisa (professional), kenapa seniman teater (modern) tidak?,” ungkapnya.
Diakuinya, seniman teater modern memang sulit untuk berlaku seperti seniman ludruk. Sebab seniman teater (modern) terikat pada banyak hal, seperti hukum-hukum yang melingkupi seni teater tersebut, semacam menghafal naskah, latihan-latihan blocking, grouping dan lain-lain yang berbeda-beda sesuai dengan (tuntutan) naskah yang akan dipentaskan. (Untuk keterangan lebih terperinci, lihat buku Jamaes L.Peacock, Ritus Modernisasi, hal.58 dst,).
Sehingga dengan begitu, dalam sekali berproduksi saja, dalam kaitannya untuk memenuhi naskah yang akan dipentaskan itu, sebuah kelompok teater sedikitnya butuh waktu enam bulan, bahkan ada yang sampai satu tahun, untuk kemudian dipentaskan.
Berbeda dengan seniman ludruk yang memang nonkonsptual sehingga tanpa berlatih terlebih dahulu, langsung naik ke atas panggung pun jadi. “Seni ludruk dari dulu tetap begitu-begitu saja. Tak ada "keinginan" untuk meningkatkannya. Yang ada adalah pakem-pakem dan ugeran-ugeran. Tak ada pertimbangan nilai pada kualitas bentuk-bentuk kesenian tersebut yang mempunyai pola dramatik tertentu yang dapat diduga sebelumnya. Tak ada naskah, yang ada cuma catatan-catatan (outline),” terang Max. Namun begitu, bukan berarti seniman teater modern tidak bisa professional.
“Profesioanalisme dalam arti yang ketat membutuhkan kualifikasi, pemahaman teoritik yang mendalam, seperangkat etika profesi, sertifikasi sebagai pengakuan akan kemampuannya. Juga dibutuhkan ketekunan dan dedikasi. Dalam pengertian tersebut, seniman teater (modern) dimasukkan ke dalam seniman yang professional,” terangnya. “Sementara itu, dalam arti yang longgar (sehari-hari), orang yang bisa mencukupi hidupnya dengan pekerjaan yang ditekuni disebut sebagai orang-orang profesional. Ludruk dapat dimasukkan ke sana,” ujarnya menambahkan.
Max Arifin lahir di Sumbawabesar, Nusa Tenggara Barat (NTB), 18 Agustus 1936. Masa kecilnya, dari SD hingga SMP, dihabiskan di kota kecil itu. Dia sempat pindah ke Yogjakarta dan menyelesaikan pendidikan SMA-nya di sana. Dia pun sempat mengenyam pendidikan di jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada. Tapi tak lama kemudian dia kembali lagi ke NTB dan melanjutkan pendidikannya di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris IKIP Mataram.
Lalu dia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Depdikbud Provinsi NTB, Mataram (Lombok). Di masa pensiunnya, dia kini tinggal di Sooko, sebuah kecamatan yang terletak di kota Mojokorto, Jatim. Praktis Max Arifin lebih banyak menghabiskan hidupnya di kota-kota kecil.

Menurut anda, bagi seniman muda di daerah, tanpa harus datang ke kota besar, seperti Surabaya atau bahkan Jakarta, misalnya, bisakah karyanya menasional?
Yang penting, bagi seni modern adalah bagaimana meningkatkan mutu dan bobot karya, terlepas di manapun dia berdomisili, di pusat atau daerah, di tempat terpencil sekalipun. Mutu dan bobot akan memunculkan seorang seniman untuk dikenal secara nasional. Tak ada kesulitan bagi seniman yang tinggal di daerah. Sekali lagi, yang penting adalah mutu dan bobot karyanya.

(dimuat dalam Jurnal Budaya Surabaya, Tahun I, No.3 Oktober 2006)
Wawancara oleh:
Abdul Malik (Mojokerto) dan Hanif Nasrullah (Surabaya).

Kontak :
1.Bapak Max Arifin, Jl.Bola Voli Blok E 33, Perum Griya Japan raya, Sooko, kabupaten Mojokerto 61361 Jawa Timur, telp 0321- 326915 , HP 085 2300 39 807, email: daxxenos2@yahoo.com.

2.Abdul Malik (Mojokerto), Hp 081 80 32 30 472, email: banyumili@telkom.net, blog: http://majapahitan2.blogspot.com

3.Hanif Nasrullah (Surabaya), Hp 081 7480 2453, email: revolusioner@hotmail.com, blog; http://hanifnasrullah.blogspot.com

NB:
Jurnal Budaya Surabaya terbit tiap bulan, dibagi secara cuma-cuma. Untuk luar Surabaya, silakan mengganti biaya kirim.Kontak: Farid Syamlan, Telp 031- 5454120, Hp 0817391883.

Masalah dan Posisi Teater di Sekolah

MASALAH DAN POSISI SENI TEATER DI SEKOLAH.

Oleh : Max Arifin.


Nani Yuliana, pelajar SMA 6 Surabaya (Kompas, 15/9-2004) mengeluh. Fauzi Salim, pembina teater di SMA 21 Surabaya mengeluh. Dan tentu terdapat banyak Yuliana dan Fauzi-Fauzi yang lain yang juga mengeluh. Bukan cuma di Surabaya, tetapi di banyak kota dan tempat di seluruh Indonesia: betapa pelajaran (ekstra kurikuler) seni teater di sekolah masih belepotan dengan masalah.
Seorang guru atau pembina kesenian yang akan mengajar seni teater di sekolah akan menghadapi dua macam kondisi dan kondisi-kondisi ini perlu dibenahi lebih dulu.
Pertama: Kondisi obyektif. Apakah di sekolah tersebut terdapat suasana yang kondusif, yang mampu menghidupkan suasana berkesenian yang bisa menimbulkan kebanggaan berkesenian. Juga kita pertanyakan apakah terdapat persepsi yang padu di antara para guru/kepala sekolah tentang arti dan fungsi kesenian di sekolah bagi para siswa. Selain itu apakah di sekolah tersebut cukup tersedia fasilitas untuk berkesenian.
Bila hal-hal itu secara minim dapat dicapai maka dapat dikatakan “masyarakat” sekolah akan mampu menggairahkan kehidupan berkesenian. Dan ini juga berarti, sekolah mampu menghargai hasil cipta para “seniman” di sekolahnya. Sekolah menciptakan suasana yang merangsang pertumbuhan seni dan gairah mencipta. Kita juga tidak bisa memungkiri, bahwa dewasa ini penetrasi radio dan terutama Tv telah membuat para pelajar menjadi manusia-manusia konsumptif dan pasif, takada gairah untuk aktif berkesenian.
Kedua, Kondisi subyektif. Apakah pembina kesenian (saya tidak tahu istilah yang dipakai di sekolah-sekolah dewasa ini) memiliki wawasan yang cukup luas tentang bagaimana sebenarnya mengembangkan tujuan kurikulum pendidikan kesenian dewasa ini.
Dalam buku-buku teks memang tercantum tujuan persyaratan bagi semua pekerja (seni) teater, antara lain: 1), Visi yang baik dalam masalah-masalah kebudayaan, seni, sastra , drama/teater. 2). (Diharapkan) mereka memiliki ketrampilan teknis yang memadai dalam cabang-cabang kesenian, namun dalam bidang seni teater mereka harus memiliki ketrampilan teknis yang cukup.
Saya memang menekankan pertimbangan pentingnya pengetahuan teori, bahkan mutlak diperlukan, karena: untuk membentuk visi yang baik; untuk memberikan dasar kepada penguasaan ketrampilan teater; dan merangsang orisinalitas dan kreativitas, di samping bacaan yang luas berupa karya-karya sastra pada umumnya dan karya-karya drama pada khususnya. Juga pengetahuan yang luas tentang hidup dan manusia pada umumnya. Kalau kita simpulkan, maka persyaratan umum seniman teater yang akan menjadi pembina teater di sekolah-sekolah bisa ditinjau dari segi kultural, artistik, literer dan teatral. Barangkali hal-hal itu terlalu ideal, tetapi kita perlu mendapatkan gambaran yang cukup.

SAYA tidak memiliki informasi yang baru tentang tujuan pendidikan kesenian di sekolah-sekolah. Namun demikian, saya kira, sepanjang yang berkenaan dengan dunia kesenian, tujuan yang tersirat dari pelajaran kesenian adalah: pertama, agar siswa mampu berapresiasi terhadap lingkungan dan terhadap karya seni. Di sini mereka diharapkan menjadi apresiator yang baik, yaitu kemampuan untuk bisa menghargai, menghayati dan menikmati kesenian Kedua, Agar dapat memanfaatkan pengalamannya untuk berkomunikasi secara kreatif melalui kegiatan berkarya seni. Mereka diharapkan menjadi kreator atau seniman kreatif.
Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:
Pertama: Kemungkinan sekolah dapat melaksanakan kedua tujuan tersebut---tersedianya pembina kesenian yang berkualitas;
Kedua: Kalau point pertama itu tak tercapai, maka tujuan yang tersirat dapat dipecah menjadi: a). Sepanjang yang berhubungan dengan pembentukan apresiasi adalah tugas guru kesenian di sekolah dengan memberikan sentuhan-sentuhan akademik, yaitu yang bersifat latar belakang teoretik; b). Sepanjang yang berkenaan dengan usaha “pembentukan” kreator kita mempercayakan pada sanggar-sanggar dengan pelajaran ekstra kurikuler tersebut. Di sana mereka akan berkenalan dengan sentuhan-sentuhan emosional lebih jauh berupa eksperimentasi, pengolahan dan latihan-lathan serta ceramah-ceramah yang bersifat teknis kesenian. Dengan sendirinya seniman (luar) yang akan memimpin sanggar tersebut haruslah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang kita sebutkan di atas.

DALAM dunia teater terdapat apa yang disebut etika teater yang harus dipraktikkan oleh orang-orang teater. Di sana juga tersirat tujuan seni teater, antara lain: dedikasi dan kecintaan pada seni teater; rendah hati; mementingkan kerja kolektif yaitu sifat kolegial, saling menghargai, berdisiplin, mendahulukan kepentingan bersama; kesetiaan pada penulis, kepada sesama orang teater dan kepada penonton; bertanggung jawab dalam arti, kalau telah diberi peran maka ia harus menunaikan peran tersebut dengan sebaik-baiknya.
Selain itu para pelajar SLTP/SMA (sekarang!) sudah saatnya menyimak pengalaman-pengalaman dan kebenaran lewat karya-karya sastrawi, termasuk dan terutama lewat seni teater. Mereka juga akan berjumpa dengan nilai-nilai sastrawi yang ada di dalamnya dan yang terpenting kebenaran sastrawi itu. Kebenaran sastrawi biasanya jauh lebih meyakinkan ketimbang hasil riset ilmiah. Dikatakan, kebenaran ilmiah selalu bersifat relatif, subyektif dan sementara. Oleh sebab itu pekerja teater harus selalu mempertanyakan setiap kebenaran. (Bandingkan novel Kremil karya Suparto Brata dan Dolly hasil riset/skripsi Tjahjo Purnomo. Settingnya sama, yaitu dunia pelacuran. Tetapi Kremil jauh lebih meyakinkan ketimbang Dolly yang terasa kering dan kaku, tak punya nuansa human interest.
Teater telah menjadi sebuah ilmu, kata Putu Wijaya pada pengantar buku Menyentuh Teater. Sebagai ilmu ia dipelajari, diajarkan, dianalisa, sementara teater itu sendiri terus berkembang, bertumbuh, serta berubah dengan segala bentuk pengekspresian dan konsep-konsepnya sehingga ilmu teater juga terus mengucur.
Nah, Nani Yuliana dan Fauzi Salim berhentilah mengeluh dan bersedih kalau di sekolah kalian seni teater itu masih belepotan dengan seribu satu masalah. Memang masih banyak masalah yang harus kita benahi. Oke?


Japan Raya, September 2004.
Max Arifin, pengamat teater tinggal
Di Mojokerto.

Puisi: Wajah Ibu

WAJAH IBU.
Max Arifin.


Wajah ibuku di Aceh berkelebat di layar kaca
meledakkan seribu duka yang kau usung
bersama sejarah negerimu.

Wajah ibuku menyeruak di tengah
wajah derita yang sulit kau terjemahkan
yang mengalir sampai ke ujung-ujung
yang tak pernah tahu arah
berhadapan dengan sejarah yang membisu
sampai air mata kami
berubah jadi biru tinta.

Ibu itu mengetuk-menggedor dan
si pongang menyeringai dari tengah laut
memupus lautanmu tenang dan teduh yang menyimpan
rindu, air mata dan mutiara dan mengelus kaki-kaki bocah di pantai.

Kota-kotaku menghumbalang ke langit kelabu
Dan tak sempat mendengar serapah sang ibu
ketika tangis si bayi dalam buaian mencari tetek ibunya
ditelan bahana gelombang amarah ratu kidul.

Wajah ibuku di Aceh berkelebat di layar kaca
di tengah gerombolan wajah tanpa nama
yang ikut mengusung kutukan sejarah negerinya
dan menghadapi kematian tanpa akhir,
kereta-kereta terbakar, senjata api, teriakan di lorong-lorong
bintang-bintang yang marah dengan wajah teror
yang menggeliat di balik balutan kepala compang-camping.

Ibuku pernah bersurat: kini bukan waktunya berkelana
ke seberang, ada tugas untukmu.
Dan aku diberi topi baja, senjata AK
di garis depan yang jauh aku berdiri.
Jangan berpaling, bergeraklah ke arah tembok bisu itu.

Wajah ibuku di Aceh yang berkelebat di layar kaca
berubah menjadi silhuet yang memudar.
Tuhanku, kenapa Kau menunduk rendah
hanya untuk menghancurkan kami?
Tatapan mataMu yang licik tidak menghendaki kesaksian apapun
untuk makhlukMu yang lemah, juga dalam doa yang khusuk yang
setiap saat kami panjatkan.

Ibu, sebuah ceritera baru dimulai.



Casa di Lansia, akhir 2004.

Surat Dari Seberang...

SURAT DARI SEBERANG:

Ecun……
Sudah lama aku ingin menulis surat ini. Tapi entah, baru sekarang aku melaksanakannya. Aku tahu persis apa yang mendorong hatiku. Mungkin karena kerinduan yang telah menumpuk, membengkak dan tak tertahan. Mungkin karena dorongan hati dari dalam atau kegemasan melihat faktor-faktor yang berada di luar.
Waktu itu sudah lama sekali.
Pertama kali aku angkat kaki dari Tana Samawa –sudah kabur, seputar tahun 1954—ke Yogyakarta. Kenyataan-kenyataan kecil sudah mengabur. Meninggalkan Tana Samawa pada waktu itu merupakan perantauan dalam arti sesungguhnya. Jarak dan waktu benar-benar kita hayati: bagaimana seorang anak muda—yang dijuluki Teruna Ngining oleh pelukis Abdullah Sidik [almarhum] pada senja hari berdiri di atas dek kapal KPM Waikelo, merasakan terpaan angin senja melihat ke belakang. Makin lama tana samawa makin menghilang, dan air mata tak terasa mengalir perlahan. Terlalu banyak yang harus kutinggalkan dan hatiku seberat tugu.

Ecun…….
Kini jarak dan waktu tak terasa, tak terhayati, tak ada waktu untuk ngelamun, hiruk –pikuk membuyarkan semua kenangan, pandangan sekitar mengaburkan wajah-wajah yang di Tana Samawa. Waktu merupakan garis lurus dan kepastian yang dituju sudah jelas dan semua energi dihimpun untuk membelanya.
Aku tidak tahu pasti, apakah kebo karong Paman Dawid yang selalu menjadi kebanggaan itu masih ada keturunannya. Kau masih ingat bagaimana kebo-kebo itu memenangkan karapan kerbau di kecamatan dulu. Bagaimana Paman Dawid ngumang di depan dadara di atas tribun bambu memuji kerbaunya dan menunjuk pada dadara yang jadi kembang di desa? Aku masih ingat betul peristiwa itu, kau tahu apa isi lawas Nde Dawid waktu itu? Ia bilang begini:
Kerbau ini milikku
kupelihara dengan hati bersih
tinggi yang telah ia capai
tapi apa arti itu semua
bila kau masih memalingkan wajah?

Lawasnya disambung lagi begini
Kau jauh lebih berarti
walau cahayamu seperti kerlip
bintang di kejauhan
hatiku yang merana tak bosan
bertanya pada apa saja
Sebelum ia berpaling dari tribun bambu itu, Nde Dawid sempat melontarkan lagi lawas yang sudah kita kenal bersama,di seluruh Tana Samawa:
Lamin sia dunung notang
Sowe santek bonga bintang
Pang bulan ketemu mata

Terjemahan bebasnya barangkali begini:
Kalau anda duluan merindu.,
Sibaklah atap, tataplah bintang
Di wajah bulan kita berpandangan

Dan dadara di atas tribun bambu itu cekikikan. Tetapi peristiwa menyedihkan terjadi. Sementara aku menyaksikan peristiwa yang menggetarkan hatiku itu, adegan yang mempesona, adegan yang benar-benar teatral, alamiah, wajar: tiba-tiba temanku, si Alwi yang berdiri di sampingku terjatuh, terkulai ke tanah. Katanya ia disambar oleh bura’. Ia dilarikan ke rumahnya—kebetulan bapaknya seorang sanro. Aku tidak tahu kabarnya, sebab besoknya aku sudah berdiri di atas dek kapal Waikelo.
Aku merindukan semua itu. Dan inilah sebenarnya yang membuat aku bersedih ketika mendengar bahwa kesenian Tana Samawa sudah hampir punah, kalau tidak dikatakan memang sudah punah.
Lawas dan entah apa lagi namanya—langko, seketa,bagesa,badede dengan kosok kancingnya—bukan cuma ekspresi perasaan seorang Paman dawid, tetapi ekspresi sesungguhnya Tau Samawa secara keseluruhan. Kita—generasi sekarang—sudah tidak peka, tumpul dan tidak mampu menyimak ekspresi Tau Samawa tersebut. Kita kini dihirukpikukkan oleh kontras antara politik dan kedamaian. Apakah kau, Ecun, pernah mencoba untuk sedikit peduli pada luka-luka sosial di sekitarmu dan betapa pedih memikirkan kelanjutan dari sesuatu yang menihilkan selain dari pertengkaran, agresi, teror dan ancaman-ancaman lainnya. Keasyikan dalam bermain politik—terakhir ribut-ribut ingin membuat pulau Sumbawa menjadi sebuah propinsi—akan memencilkan kesenian menjadi sesuatu yang hampa.
Kita tidak lagi memiliki semacam pengalaman estetika, yaitu kemampuan untuk bereaksi terhadap apa yang disebut “permukaan-permukaan estetika”. Aku melihat Tana Samawa dari kejauhan sudah compang camping. Ia goyah dan semua orang sudah tunduk pada hiruk-pikuk. Kita kehilangan kesunyian, tidak mampu untuk berdiri sendiri dalam arti spiritual dan tiba pada suatu kehidupan kreativitas intelektual. Aku percaya, bahwa kemampuan kita untuk melakukan kontemplasi, perenungan juga telah dihancurkan.
Ada jarak yang begitu jauh antara nurani dengan kehadiran kita. Nde Dawid-Nde Dawid dan Papen Dio-Papen Dio sudah tiada. Wajah politik itu begitu menjadi personal, telanjang dan kasar. Kita dijajah oleh ketenangan yang kita ciptakan sendiri dan kita tidak memiliki ketenangan suatu mekanisme yang beroperasi dari dalam untuk stimuli-stimuli di kejauhan—katakanlah keluhan Nde Pedil di Emang atau Papen Tenri di Aipaya sana.
Kita-kita tampak seperti karikatur yang tidak punya nurani. Sejauh mana jiwa—orang Inggris menyebutnya soul—memasuki daerah publik [public realm] itu? Apa yang mendorongnya? Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition—kubaca tahun lalu, Ecun menulis, bahwa yang mendorong jiwa kita memasuki daerah publik antara lain karena adanaya realtitas ancaman terhadap peradaban dan terhadap eksistensi kita. Kedua, kewajiban kita untuk berjuang dan bertahan. Ketiga, adanaya pengaruh diskusi-diskusi publik di koran-koran, TV, buku-buku ditempat-tempat ceramah. Dan keempat, keinginan kita yang paling dalam untuk mengirimkan jiwa dan semangat kita ke dalam masyarakat.
Kita tidak tahu apakah politikus-politikus itu –yang diisukan bermain politik uang yang kotor, yang menghilangkan kepribadiannya, yang membekukan nuraninya, yang tidak tahu malu itu—memahami hal itu sebagai pemahaman politik yang lebih tinggi. Kalau memang ya,-maka tak akan ada politik uang, dan lain-lain itu—maka tak ada lagi yang kita keluhkan. “Dengan kata-kata dan perbuatan kita menyelinapkan kedirian kita ke dalam dunia manusiawi” kata Arendt, “dan penyelinapan ini adalah seperti kelahiran kedua kita”. Manusia merindukan keabadian. Untuk merealisasikannya, kita sekali lagi—dan sekali lagi—harus menegaskan identitas kita lewat kata-kata dan action, mengajarkan kepada orang-orang bagaimana melahirkan yang besar dan berkilauan.
Politik telah mengotori wajah kita. Aku lalu ingat ucapan John Kennedy—waktu dilantik jadi Presiden—kalau politik mengotori wajah kita, maka bersihkan dengan puisi. Dengan kata lain: bersihkan dengan lawas.

Ecun……..
Aku merindukan ini: politikus-politikus yang melempar wajah kita dengan lumpur itu duduk bersama—tanpa ada yang walk out—dan memanggil jago-jago lawas dari Ano Rawi dan Ano Siep dan membawakan lawas yang mampu membuat kita saling berpandangan dalam waktu yang lama. Kita saling menyimak hati kita masing-masing lewat kesenian. Dan aku pastikan, gema suara Nde Dawid atau Papen Pio akan terdengar:
Lamen nonda ila, melakopamendi; lamen nonda pamendi, melako ila.
Memang kewajiban kita untuk memperbaiki Sumbawa. Tusabalong sama lewa. Keindahan fisik material Tana Samawa dan keindahan spiritual anak negerinya. Aku lalu ingat Dewan Kesenian Sumbawa itu dan mengharapkan bisa melaksanakannya. Atau Dewan itu sendiri sudah terpercik lumpur politik ke wajahnya atau ikut melempar? Dan melupakan fungsinya?
Aku takut Ecun, atavisme yang disebut-sebut oleh Saul Bellow [seorang pemenang hadiah Nobel] pada akhir bukunya To Jerussalem and Back [1977:232] memang terus masih mengikuti kita. Ia menulis:
Di zaman purba di tembok-tembok kota yang ditaklukkan di Timur Tengah kadang-kadang digantung kulit-kulit orang yang ditaklukkan. Kebiasaan itu sudah hilang. Tetapi keinginan untuk membunuh untuk tujuan-tujuan politik itu---adalah masih tetap seperti dulu.
Anak cucu Adam yang bermartabat tentu akan mengingat hal itu dan menampiknya. Sungguh. Ecun.
Sekian dulu, ecun, salam rinduku pada semua keluarga kita: Iyun, Hafni, La dan Hannah beserta suami-istri mereka. Dan juga pada Gani. Aku selalu merindukan kalian semua.

Salam ,
Max Arifin.
Jl.Bola Volley Blok E 33,Perm Japan Raya, Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361
Jawa timur
Telp 0321- 326915
Hp 085 2300 39807
Email: daxxenos2@yahoo.com.


*Max Arifin ,sejak di Mataram dikenal sebagai dramawan, penerjemah, esais dan wartawan. Setelah pensiun sebagai pegawai Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud NTB, pria kelahiran Alas, Sumbawa ini hijarah ke Jawa Timur. Tinggal dirumahnya yang tenang dan sejuk di Mojokerto bersama isteri tercinta: Siti Hadidjah.
Dua buku terjemahannya Taruhan Mewujudkan Tulisan, Wawancara dengan Penulis Pria dan Wanita Dunia, baru diterbitkan penerbit Jalasutra, Yogyakarta.
Sementara My Life in Art [Konstantin Stanislavsky] dan The Other Voice [Octavio Paz] dalam proses penerbitan oleh Pustaka Kayutangan, Malang.
Novel Seratus Tahun Kesunyian [Gabriel Garcia Marquez] segera cetak ulang oleh Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Novel An Echo of Heaven [Kenzaburo Oe] segera terbit oleh Bentang Pustaka.

**tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Rungan Samawa No.09-tahun 1 Maret 2001

Cerpen: Malam Terakhir Seorang Presiden

CERPEN:
MALAM TERAKHIR SEORANG PRESIDEN

Oleh MAX ARIFIN


Seorang lelaki tua dalam pakaian tidur melangkah menuju jendela. Di ruang keluarga itu ia melayangkan pandangannya ke arah jam yang menempel di tembok. Pukul 24.00. lalu ia meneruskan langkahnya ke jendela. Agak lama ia tertegun di sana, tetapi akhirnya ia membuka jendela itu. Wajahnya menengadah ingin menghitung bintang-bintang di langit sana.

Tuhanku, katanya, kenapa aku bisa terjebak dalam akhir seperti ini. Selama ini aku selalu meminta petunjuk padaMu. Tetapi Kau tidak menunjukkan jalan yang benar yang kau ridoi itu. Apa yang salah pada diriku ? Lima puluh tahun yang lalu aku juga berada dalam malam hari seperti ini dan aku yakin benar jalan itu. Kau tunjukkan padaku. Bergemuruh sambutan terhadap diriku. Aku adalah jenderal yang keluar dengan kemenangan dari sebuah peperangan yang besar. Peperangan yang besar ? Sebenarnya bukan suatu peperangan yang besar, tetapi “the real war” yang sebenarnya---ah, aku meminjam nama buku karangan Richard Nixon, buku yang sudah kubaca beberapa kali, tetapi ternyata terjadi kekurangpahaman dalam menarik kesimpulan. Nixon menulis, bahwa sejarah kegagalan dalam peperangan dapat disimpulkan dalam dua kata: terlalu terlambat. Terlambat dalam memahami tujuan yang mematikan dari musuh yang potensial; terlalu terlambat dalam menyadari bahaya yang mematikan; terlalu terlambat dalam persiapan; terlalu terlambat dalam menyatukan semua kekuatan yang memungkinkan untuk bertahan dan terlalu terlambat dalam mencari teman yang benar.
Padahal aku seorang jendral. Dan sebagai jendral aku tidak boleh melupakan hal-hal itu. Itu adalah prinsip.

Ia berbalik, memandang ke segenap sudut kamar itu. Buku-buku yang teratur rapi berjejer dalam rak-rak buku yang penuh ukiran Jepara. Lalu ia mondar-mandir di sana.

Apa yang salah pada diriku ? Tentu wajahku tampak seperti dalam cermin pecah. Tetapi tentu tidak akan tampak seperti jendral-diktator tua dalam buku karya Gabriel Garcia Marquez. Aku membaca buku itu dengan harapan dapat melakukan hal-hal yang sebaliknya yang dilakukan diktator tua itu, walau aku mempunyai bakat luar biasa untuk berkomando dengan naluri politikus yang tidak pernah melesat dan meleset dari perhitungan dan mempunyai kemampuan untuk bertepo seliro, yaitu kemampuan untuk mencintai dan dicintai.

Tentu ada yang salah dalam diriku. Kemanusiaanku dan aku pribadi ternyata terlalu terpisah dan keduanya selalu melakukan tawar-menawar. Dalam keadaan seperti itu ternyata pikiranku sering menjadi lumpuh. Buaya adalah spesimen binatang paling primitif dibandingkan dengan manusia. Tetapi ketika manusia melangkah dalam keadaan buta dan telanjang ke dalam sungai, maka dapat dipastikan buaya itu yang akan selamat. Salah satu pelajaran sejarah yang harus dipelajari--- walaupun tidak menyenangkan adalah, bahwa peradaban itu tidak datang dengan sendirinya. Ini yang mungkin kulupakan. Sifat permanen sebuah peradaban tidak dapat diduga sama sekali. Akan selalu terdapat bidang-bidang gelap menanti kita di setiap sudut. Langkah-langkah harus diatur dengan teliti agar kita tidak terjebak.

Ia mendekati rak buku dan mencomot buku The Real War karangan Richard Nixon. Cepat-cepat ia membalik beberapa halaman lalu berhenti pada halaman 271.

Ya, halaman 271 ini sudah sepuluh kali kubaca. Di sana ada “ten rules” yang harus kuperhatikan. Seharusnya rules ini kugantung dengan indahnya di kamar kerja istana kepresidenan. Rule delapan berbunyi: Harap selalu berhati-hati dalam membedakan antara teman-teman yang selalu menyodorkan hak-hak azasi dan musuh-musuh yang selalu menolak semua masalah yang berkenaan dengan hak-hak asazi manusia. Dan rule sepuluh menulis: jangan kehilangan kebajikan. Pada masalah-masalah yang tertentu kebajikan mampu menggerakkan sebuah gunung. Kebajikan tanpa kekuatan adalah tidak berguna, tetapi kekuatan tanpa kebajikan adalah mandul.

Ia menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan menutup buku itu dan meletakkan kembali di rak buku.

Bagaimana seharusnya aku bersikap terhadap sebuah buku ? Buku-buku ini kini begitu menakutkan, seakan-akan mencemoh dan mengejek diriku.

Lalu pandangannya tertuju pada lukisan besar istrinya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia maju beberapa langkah, mendekat ke lukisan itu.

Kau tidak bisa merasakan kesunyian dan kesepian ini. Juga kesedihanku pada malam ini. Selama ini kau adalah kekuatanku. Aku selalu mengajak kau melanglang buana. Bagaimana kita berpose di tembok besar Cina. Ah, semua terbayang berkelebat di dalam pikiranku.

Anak-anak tak ada di dekatku. Selama ini kaulah yang menuntun mereka menjadi besar, lalu menjadi bagian dari masalah-masalah yang melilit diriku.

Tiba-tiba jam di tembok itu berdentang tiga kali. Ia agak terkejut juga tetapi dengan segera membenahi sikapnya. Ia merasa malu pada keterkejutannya tadi, padahal seorang prajurit sejati tidak boleh kaget.

Besok pagi kekuatan dan kekuasaan yang ada dalam kedua tanganku ini akan kuserahkan pada orang lain sesuatu yang tak terpikirkan ketika aku melangkah tiga puluh tahun yang lalu kekuatan dan kekuasaan kuperoleh pada waktu itu adalah karena aku memahami benar aspirasi masyarakatku, aspirasi bangsaku. Apa yang salah pada diriku selama ini? Apakah aku cuma mempermainkan benda abstrak yang bernama aspirasi itu? Dan menafsirkan sesuai dengan kehendakku? Bagaimana dengan orang-orang yang mengelilingi aku selama ini? Orang-orang yang mendukung tanpa reserve terhadap penafsiran itu? Kalau aku mau jujur, aku Cuma melaksanakan semua desain yang dibuat oleh mereka. Kemana mereka malam ini?

Tanpa sengaja matanya menatap dua buku yang ada di rak sebelah kanan. Yang pertama berjudul The Great Cover Up karangan dua orang wartawan The Washington Post, hadiah dari GM, seorang pemimpin redaksi sebuah majalah terkenal waktu itu. [Tapi beberapa tahun yang lalu dibbreidel]. Ada satu bab yang mengerikan di sana, yaitu bab delapan: The Road to Impeachment. Ia membolak-balik halaman buku itu dan ketika tiba pada bab tersebut ia melempar buku itu sekuat tenaganya dan mengenai lukisan besar istrinya.

GM, GM, ia menggumam, takut pada suaranya sendiri, dulu aku mengagumi kau. Tetapi kenapa kita harus berseberangan dan memerintahkan agar majalahmu ditutup saja. Padahal kau benar ketika kau menulis tentang pembelian kapal bekas ex Jerman Timur itu. Di mana kau, GM ? Persahabatan sejati sebenarnya tidak boleh terhalang oleh naluri kekuasaan yang besar. Aku buta terhadap nilai-nilai yang ada dalam sebuah persahabatan sejati.

Yang paling mengerikan adalah buku yang satu itu. Karangan seorang wartawan luar negeri yang bertugas di sini selama beberapa tahun, A Nation in Waiting. Hampir setiap halaman menulis tentang dia. Jam berdentang lima kali.

Inilah musuh utamaku selama ini: wartawan; padahal mereka menulis hati nurani bangsanya. Tetapi kenapa aku tidak bisa memahami mereka. Mereka muncul dalam sosok-sosok gelap sebagai musuh terselubung yang akan menikam dari belakang. Kuakui betapa gagalnya departemen yang katanya akan “membina” mereka. Apa yang salah dalam kebijaksanaan “pers bebas dan bertanggung jawab” itu, suatu kebijaksanaan yang telah mengubur banyak koran dan majalah selama ini. Dulu aku pernah membaca---ya, dalam buku Freedom of Information karangan Herbert Brucker--- bahwa kebebasan untuk mengeluarkan pendapat itu sebenarnya kegunaannya bukan bagi golongan minoritas yang ingin berbicara, tetapi bagi golongan mayoritas yang tidak mau mendengar. Dan aku selama ini cuma mau mendengar pada golongan mayoritas yang didesain dengan penuh kelicikan. Aku tahu itu tetapi naluriah kekuasaan yang ada dalam diri seorang manusia membuat dia buta. Aku tahu itu. Aku tahu itu. Ternyata pembantu-pembantuku tidak berani memberikan informasi yang sebenarnya padaku. Seperti yang ada dalam ceritera wayang yang sering kusaksikan waktu aku masih kecil dulu.

-Prabu : Aku bilang itu adalah bulan.
-Durno : Aku tahu, memang itu bulan.
-Prabu : Bukan; kau telah berbohong padaku. Itu adalah matahari.
-Durno : Semoga Gusti Allah memberkahinya; memang itu adalah matahari yang
diberkahi.
Itu bukanlah matahari bila Prabu berkata bukan.
Bahkan bulan itu akan berubah sesuai dengan yang ada dalam benak
Prabu.Apapun nama yang Prabu kehendaki maka itulah namanya.

Itulah watak orang-orang yang berada di sekelilingku selama ini, watak yang menyumbangkan sahamnya dalam percepatan kebobrokan negara ini. Watak manusia-manusia yang tidak akan mampu mengantarkan bangsa ini menuju abad dua puluh satu.

Tiba-tiba terdengar jam di tembok itu berdentang tujuh kali. Dari kamar sebelah seorang cucunya menyetel televisi dan terdengar teriakan-teriakan mahasiswa yang berkumpul di gedung MPR/DPR, meneriakkan kata-kata Reformasi, Reformasi ! Ia tertegun sejenak dan memasang telinga.

Itu adalah generasi baru bangsa ini. Generasi yang menyongsong abad baru; menggeliat-geliat dalam membentangkan sayap-sayapnya. Sebenarnya aku membutuhkan generasi seperti itu. Tetapi terlalu terlambat dalam memperhitungkan mereka. Dua jam lagi kekuasaan yang ada dalam tanganku ini, yang kugenggan kuat-kuat selama ini akan kuserahkan.

Ketika ia berbalik untuk menuju kamar sebelah, ia menatap buku A Nation in Waiting tergeletak di atas meja. Ia menyambar buku itu dan mengusap-usap judulnya.

Buku ini akan merupakan pelengkap sejarah hidupku. Merupakan muka yang satunya dari muka berjudul A Smiling General.

Ia tersenyum. Ternyata sisa sejarah selebihnya masih juga menyediakan senyuman. Tetapi mungkin juga senyum merupakan salah satu dari banyak topeng yang kita kenakan setiap hari. Entahlah.-***

(dimuat di harian jawa pos minggu 9 juni 2006)

Max Arifin, Absurditas Dari Mojokerto

ABSURDITAS DARI MOJOKERTO

Buku-buku teater kontemporer terbilang langka di dunia penerbitan kita. Tapi, tiga tahun terakhir, mengalir deras terjemahan-terjemahan berbobot dari tangan seorang pensiunan yang tinggal di Mojokerto.

SEPASANG merpati tua-----demikian mereka menyebut dirinya---tinggal di Perumahan Griya Japan Raya, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Mereka pekerja seni: Max Arifin, 70 tahun, dan istrinya, Siti Hadidjah, 70 tahun. Pasangan ini tinggal di rumah tipe 36. Di halaman depan yang tak terlalu luas, terdapat sebuah gazebo. Di sanalah anak-anak muda Mojokerto, bahkan Malang dan Surabaya yang bergelut di bidang seni sering mampir dan berdiskusi soal teater.

Max, pensiunan pegawai negeri sipil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, Lombok, dikenal memiliki minat luas terhadap teater. Dewan Kesenian jakarta akhir Agustus lalu menerbitkan buku terjemahan Max tentang biografi dan pemikiran “absurd” Antonin Artaud, seorang peletak dasar konsepsi teater kontemporer. Buku karya Stephen Barber, Blows and Bombs, tersebut diterjemahkan menjadi Artaud: Ledakan dan Bom. Bukan hanya Artaud. Sebelumnya, Max telah menerjemahkan karya penting Peter Brook, sutradara opera kontemporer berjudul Shifting Point. Juga “kitab suci” para teaterwan eksperimental, Toward Poor Theater karya Jerzy Grotowsi.
Di sebuah ruang 4 x 7 meter yang juga merupakan ruang makan, Max sehari-hari mengetik. Di situ ia dikurung dua rak buku-buku filsafat dan sastra. Sekilas Tempo melihat judul-judul koleksinya: Political Theatre karya David Goodman, The Ship of Fool karya Chritiana Perr Rossi, An Echo of Heaven karya Kenzaburo Oe, The Blind Owl karya Sadeq Hedayat, buku-buku Nurcholish Madjid dan seri lengkap Catatan Pinggir Goenawan Mohammad. “Hampir semua buku ada, kecuali buku-buku teknik,” katanya.
Tahun 1990-an, duna terjemahan sastra bangkit di Yogya. Max termasuk seorang “pelopor”-nya. Penerbit Bentang banyak mempublikasikan terjemahan-terjemahannya. Diantaranya Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude) oleh Gabriel Garcia Marquez. Karya ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Jawa Pos tahun 1997. Selanjutnya, Pemberontak (The Rebel) karya Albert Camus.
Mulanya ia banyak menerjemahkan novel untuk cerita bersambung di koran. Tahun 1976 Max menerjemahkan karya James van Marshall berjudul Walkabout (Pengembaraan) dan dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas. Tahun 1983, ia menerjemahkan The Beauty and Sadness karya Yasunari Kawabata yang dikasih judul Kecantikan dan Kesedihan dan juga dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas.
Semua ini berawal tahun 1976. Saat itu ia mengalihbasakan The Sound of Waves karya Yukio Mishima menjadi Nyanyian Laut dan dipublikasikan oleh penerbit Matahari, Yogyakarta. Tahun 1980 ia menerbitkan karya Albert Camus berjudul The Stranger, yang ia alihbahasakan menjadi Orang Aneh. Buku ini diterbitkan oleh Nusa Indah, Flores. Tahun 1978, Max menerjemahkan Thousand Cranes karya Yasunari Kawabata, yang diterbitkan Nusa Indah Flores berjudul Seribu Burung Bangau.
Agaknya Yogya dan Sumbawa merupakan sumber inspirasi. Terlahir bernama Mochamad Arifin, ia menghabiskan masa SD hingga SMP di Sumbawa Besar. Saat SMA, ia hijrah ke Yogyakarta bersekolah di SMA Piri, Baciro. Max sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Hubungan Internasional , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik, Universitas Gadjah Mada. Tidak sampai tamat, ia kembali ke Mataram.
Di sana, ia melanjutkan ke Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram.Lulus, ia bekerja di Departemen pendidikan dan kebudayaan Nusa Tenggara barat dan menangani seksi drama dan sastra. Di Mataram, ia membina kelompok-kelompok drama SMA dan kampus. Ia pernah menjadi redaktur budaya harian Suara Nusa (sekarang Lombok Post) dan menjadi koresponden majalah Tempo untuk Lombok tahun 1975-1979.
Tak hanya menerjemahkan. Max juga menulis buku. Bukunya Teater:Sebuah Pengantar diterbitkan oleh Nusa Indah Flores tahun 1990. Ia menulis naskah drama Putri Mandalika, yang pernah dipentaskan secara kolosal di Pantai Seger, Lombok Selatan, 1988. ia menulis naskah Matinya Demung Sandubaya, yang dibawa kontingen Nusa Tenggara Barat pada Festival Teater di Solo dan kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Suara Nusa. Tahun 1990, naskah drama remajanya berjudul Badai Sepanjang Malam diterbitkan oleh Gramedia Jakarta.
Di hari tuanya, Max tetap “gila’ buku. Tapi semangatnya tetap semangat seorang pendidik. Ia baru saja menghibahkan 250 judul buku ke Dewan Kesenian Mojokerto. “Biar semakin banyak orang yang bisa menikmati buku,” katanya. Telah 26 buku ia terjemahkan. Kini ia menanti terjemahannya atas buku lama teaterwan Rusia, Konstantin Stanislavsky: My Life in Art (Hidupku dalam Seni) yang akan diterbitkan Pustaka Kayutangan Malang.
Mengapa Stanislavsky masih penting baginya? Sebab, menurut Max, di dalam buku itu ada segudang pelajaran untuk para pekerja seni kita. Stanislavsky mengharapkan aktornya menjadi seorang humanis. Stanislavsky menolak aktor yang melacurkan hidupnya hanya untuk dikeploki penonton. “Aktor harus memiliki disiplin ketat. Aktor harus selalu menguji dirinya, memiliki standar etika yang tinggi, dan mengejar selera, baik di atas pentas maupun di luar pentas”, kata Max menirukan Stanislavsky.
(Sunudyantoro, Seno Joko Suyono)

Dikutip dari Majalah TEMPO, edisi 11-17 September 2006, halaman 62-63.

Ralat:
-Ia baru menghibahkan 250 judul buku ke Dewan Kesenian Mojokerto, semestinya ke Balai Pustaka NOL Mojokerto.
-……The Sound of Waves karya Yukio Mishima menjadi Nyanyian Laut dan dipublikasikan oleh penerbit Matahari, Yogyakarta semestinya penerbit Mahatari, Yogyakarta.



Alamat rumah:
MAX ARIFIN,
Jl.Bola Volley Blok E 33,
Perum Griya Japan Raya, Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361
Jawa Timur
Telp 0321- 326915
Hp 085 2300 39 807 dan 0888 32 86 967.
Email: daxxenos2@yahoo.com

Friday, June 09, 2006

Esai: Ivek [Max Arifin]

I V E K .
Oleh: max arifin.


IVEK membunuh orang tanpa berpikir dua kali. Yang dibunuh adalah seseorang yang kebetulan berdiri di sampingnya, bernama Moshe, seorang Yahudi. Di depan polisi ia tidak menyangkal perbuatannya dan dengan enteng menjawab: “Dan bagaimana tentang mereka-mereka yang membunuh nabi Isa?”
“Tetapi itu peristiwa yang telah terjadi dua ribu tahun yang lalu”, keluh polisi yang memeriksanya. “Ya”, katanya lagi, “tapi baru kemarin aku mendengarnya!”


(I).
Peristiwa di atas dilukiskan oleh seorang penulis Bosnia terkenal, Dzevad Karahasan dalam tulisannya yang berjudul Literature is the Defence of History yang termuat dalam majalah tiga bulanan ART & THOUGHT No, 76/2003 yang juga terbit serempak dalam bahasa Arab, Fikrun wa Fann.
Lalu, premis logis dan garis pemikiran yang bagaimana dapat diterapkan pada peri laku Ivek? Kita bisa saja mengatakan perbuatannya sebagai sesuatu yang ahistorical: Ivek tidak memiliki sense tentang masa lalu dan tak ada jarak dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu. Baginya, masa lalu itu, apapun kejadian itu dan kapanpun terjadinya memiliki semacam kekinian-yang-potensial dan pantas menjadi sesuatu topik (yang dibicarakan). Lagi, baginya, bentuk eksistensi itu adalah “sekarang dan di sini”.
Ada juga yang meninjaunya sebagai suatu tipe kolektivisme. Bagi Ivek, identitas pribadinya terwujudkan tanpa kecuali dalam identitas kolektif dan secara lengkap teridentifikasi dengan hal itu: antara “kami” dan “mereka”. Premis logis yang ketiga yang dapat dikemukakan pada Ivek adalah sikap oposisi, atau lebih tepat lagi, konflik di mana “Aku”-nya mencakup hubungan dengan identitas yang lain.

(II).
Kalau kita mau merenung sejenak, itulah lapisan-lapisan dari banyak Ivek di tanah air, yang mengendap selama Indonesia meredeka dengan gejolak-gejolak yang berkesinambungan sampai sekarang. Kadang-kadang membuat kita berkesimpulan, bertapa tercabik-cabiknya bangsa ini. Di sana mungkin saja terjadi proses reduksi identitas manusiawi dan Ivek-Ivek yang banyak itu mereduksi hubungan antara identitas-identitas individual menjadi perorangan-perorangan yang memendam permusuhan. Dan di sana akan tampil bendera kebersamaan yang eksklusif. Mungikin pada saat itulah pemahaman mereka tentang kemanusiaan itu terlupakan dan diganti dengan pengertian “orang banyak”. Kemanusiaan, humankind, adalah suatu notion, suatu ide, gagasan atau pikiran, suatu abstraksi, sementara “orang banyak” adalah suatu jumlah.

(III).
Kita bisa pula berbicara dari aspek budaya dalam menghadapi hal-hal seperti itu. Kebudayaan adalah suatu campuiran dari yangt bersifat universal dan yang bersifat spesisik, yang umum dan yang konkrit. Yang pertama terbuka untuk semua orang dan dihubungkan dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain; sementara yang kedua, memisahkannya dari kebudayaan yang lain dan membuatnya menjadi semacam lingkungan spiritual dari suatu kelompok khusus orang-orang.
Inti dasar alam semesta ini adalah sama bagi semua kebudayaan dan ini menyebabkan ruang-kebudayaan itu sebenarnya saling melingkupi. Kita lalu bisa bilang, bahwa adalah sesauatu yang mustahil terjadinya tabrakan-tabrakan antar budaya, karena bila terjadi tabrakan maka tiap kebudayaan akan berjuang menentang setiap bagian dirinya yang menyebabkan tabrakan itu. (Segi inilah yang menjadi pertimbangan diplomasi Yusuf Kala di Poso dan Ambon).
Kalau konflik-konflik (perang) itu dikaitkan dengan kebudayaan, kalau terdapat keinginan untuk menghubungkannya dengan kebudayaan dengan resiko apapun, maka hal itu hanya bisa terjadi dengan versi-versi persiapan yang bersifat politis (dari kebudayaan-kebudayaan) yang dengan gampangan “diterapkan” pada unsur-unsur yang bersifat individual dari kebudayaan-oebudayaan itu, lalu dihubungkan dengan kebudayaan secara keseluruhan, maka jelas itu bukan kebudayaan tetapi suatu sistem ideologis. Sistem-sistem ideologis seperti itu disebut oleh Dzevad Karahasan sebagai “politically instrumentalised cultures”---kebudayaan-kebudayaan yang diperalat untuk (kepentingan-kepentingan) politik. Kebudayaan-kebudayaan seperti itu---yang dipersiapkan dan direduksi menjadi karikatrur-karikatur ideologias tentu saja bisa saling bertabrakan. Itulah gambaran yang terjadi di beberapa daerah tanah air kita ini.

(IV).
Itulah sebabnya kita harus berhati-hati ketika kita membaca buku Samuel P.Huntington yang berjudul The Clash of Civilization yang kesohor itu. Soalnya, bagaimana mungkin seorang Samuel Huntington yang mempelajari kebudayaan-kebudayaan dapat menulis sebuah buku dengan begitu menyederhanakan hakekat pokok kebudayaan dan melakukannya dengan karikatur-karikatur seperti itu. Kesimpulan Huntington adalah menerapkan bedah yang sama terhadap kebudayaan-kebudayaan, seperti Ivek menerapkannya pada dirinya sendiri dan pada Moshe: mereduksi menjadi (makhluk-makhluk) politik, yaitu karikatur-karikatur yang bersifat mekanis dari diri mereka sendiri.
Banyak Ivek-Ivek dan Moshe-Moshe di tanah air tercinta ini, di samping banyak pula orang-orang macam Samuel Huntington itu.


Japan Raya, Juni 2004.

Max Arifin: Kritik Teater,Kontroversi Cerita Lama

KRITIK TEATER,
Kontroversi cerita lama.

Oleh: Max Arifin**

One of a critic’s main jobs
is to prick balloons.
Eric Bentley.

(1).
Menulis kritik teater, kata Eric Bentley (1958: 235) adalah lebih buruk ketimbang jalan di atas telur; rasanya seperti kita jalan di atas tubuh-tubuh manusia yang hidup dan menyebabkan tubuh-tubuh itu berdarah-darah. Dan barangkali agak berlebihan bila ia menambahkan, bahwa ia merasa kritik teater itu merupakan seni membuat musuh dan gagal mempengaruhi orang. Namun orang ini terus juga menulis kritik-kritik teaternya sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan yang ia miliki tentang kritik.

Umpamakan tak ada kritik teater yang serius; maka pujian-pujian dari apa yang “sok disebut kritikus” itu juga tidak akan diterima dengan serius. Bila semua lakon dan semua pementasan dipuji, sebuah kritik teater yang baik tidaklah akan berarti apa-apa. Seniman yang dikritik belajar memfokuskan diri pada kritik-kritik yang menyalahkan dia dan melupakan yang lain; sebagian besar mereka bersikap seperti itu. Mereka yang tak tahan (terhadap kritik) biasanya bukanlah mereka yang lapar akan sedikit pengakuan, tetapi mereka yang telah kenyang dengan pujian yang berlimpahan. Kebudayaan kita sudah terlalu banyak menjual setiap produk Reputasi-reputasi tidaklah selalu benar-benar tinggi, mereka malah terlalu banyak dipompa, sesuatu yang sia-sia.

Namun demikian, kita akan serempak berseru: kritik teater sangat diperlukan. Maju-tidaknya kehidupan herteater tergantung pada kritik-kritik teater yang berbobot. Kita seakan-akan merindukan kritik teater yang berbohot, kritik teater yang mencerminkan kecerdasan dan intelektualitas.

(II),
Ada kontroversi seputar masalah kritik sastra, termasuk kritik teater; persaingan antara sastrawan kreatif dan para kritikus dan ini adalah ceritera lama.
Pertama, kita masih ingat metode kritik Ganzheit (Arief Budiman dan Gunawan Mohamad) yang mengingatkan kita pada ucapan Jean-Paul Sartre: “Karya sastra tidak bisa direduksi menjadi sebuah pemikiran” dan kritik akademik yang berpegang pada analisa, yang diwakili para sarjana sastra UI Rawamangun, yang mengingatkan kita pada The New School of Criticism. Dan debat ini telah dipecahkan melalui teori lingkaran, di mana diandaikan bahagian dan keseluruhan akan selalu mengandaikan secara terus-menerus dalam suatu lingkaran yang memutar.
Kedua, ada pertentangan antara otonomi pengarang dan otonomi semantic, atau antara textual meaning dan authorial meaning.
Tugas teori dan metode adalah membantu kita memahami sifat-sifat objek sedekat mungkin dan bukan malah melakukan distorsi dengan menjadikan objek kajiannya hanya sebagai ilustrasi untuk suatu teori. (Ignas Kleden, 2004: 193). Kritik dinilai berdasarkan keberhasilannya atau kegagalannya dan bukan berdasarkan pendekatan yang digunakan.

Ketiga, antara pendapat yang mengatakan, bahwa semua lakon itu adalah baik dan pendapat yang mengatakan ada lakon yang baik dan ada yang tidak baik (dan menelurkan kriteria tentang lakon yang baik). Naskah-naskah yang dibuat sendiri dipandang berbeda dengan naskah-naskah terjemahan dari luar negeri. Naskah-naskah buatan sendiri cenderung dipandang “kurang” memenuhi kriteria lakon yang baik. Seperti Peter Brook, umpamanya (1989: 46) memberikan kriteria umum tentang lakon yang baik dan yang tidak baik. Lalu ia menyimpulkan, masalah utama teater dewasa ini adalah: how can we make plays dense in experiences?! George Lukacs rnenyebutnya sebagai “dilema intelektual kesusastraan”:
sejauh mana sebuah lakon itu mampu melukiskan keadaan suatu masyarakat sambil mengusulkan suatu dunia baru, suatu possible wor/d suatu proposed world. Sekalipun belum ada dalam kenyataan, sanggup mengundang dan meyakinkan penonton tentang perlunya dunia tersebut; suatu masa depan yang hakiki, masa depan sebagai suatu “struktur konseptual” suatu penganganan dramatik. Brook lagi: jika suatu lakon itu mengkonfirmasikan pada kita sesuatu yang sudah kita yakini atau percaya, maka lakon itu tak ada gunanya. Kecuali, tentu saja lakon itu mengkonfirmasikan the real belief, di mana teater dapat membantu kita untuk melihat dan memahami dengan Iebih baik,
(III)
Ada tiga persoalan yang mendasar dalam usaha kita membuat kritik teater yang baik pertama, penganalisaan lakon lewat suatu studi terhadap naskah tersebut. Juga studi tentang latar belakang pengarangnya studi tentang fakta-fakta yang dominan pada periode tersebut---agama atau hal-hal yang bersifat psikologis---dan sejauh mana naskah itu (bisa) dieksekusi ke dalam realitas pentas. Kedua, kemungkinan-kemungkinan teatral dari naskah tersebut yang meliputi kebutuhan visual, kebutuhan verbal, kebutuhan karakteristik dan kontak antar karakter, kebutuhan struktural serta kebutuhan auditif---kontras, jedah yang baik dan ilustrasi musik. Ketiga, menunjukkan kriteria yang digunakan dalam penilaian.
Menurut Max Lerner pengarang mempunyai dua macam filsafat: kredo artistic yang sadar lewat medium drama dan visinya tentang kehidupan serta nilai yang terletak di bawah sadarnya---pandangan hidupnya berupa pengendapan fakta-fakta yang datang dari luar.
Sernentara tujuan dan kritik teater, Oscar G.Brockett (1964: 19) menyebut tiga tujuan: expository, appreciation dan evaluative. Mungkin saja dalam sebuah kritik teater ketiga tujuan tersebut terdapat bersama-sama.
Kritik teater expository antara lain mempelajari pengarangnya, kapan naskah itu ditulis, sumber-sumber dan ide-ide yang diekspresikan dalam naskah.
Kritik teater yang appreciative biasanya ditulis oleh kritikus teater yang telah memutuskan, bahwa naskah tersebut adalah baik. Motif utamanya adalah agar orang lain, masyarakat penonton juga ikut merasakan kekuatan naskah tersebut. Bisa juga kritikus tersebut menguraikan responnya sendiri kemudian membangkitkan perasaan yang sama pada pembaca penonton. Atau bisa juga ia memperlihatkan kesungguhan penulisnya dalarn struktur naskah, karakterisasi, penciptaan mood, dan lain- lain.
Kritik teater yang evaluative bisa menggunakan (kritik) expository, appreciative dan bahkan bisa menghukumnya. Tujuan utamanya adalah menilai efektivitas dari naskah tersebut.
Dengan demikian kita mendapat bayangan kira-kira bagaimana seorang kritikus teater yang “baik” itu: (1). Ia harus sensitive terhadap perasaan dan ide-idenya; (2). Ia harus mengenal benar teater dari segala periode dan semua tipe/gaya/aliran, terutama perkembangan teater di Indonesia sehingga tampak tahap-tahap hubungan dialektik antara teater setempat dan pengaruh-pengaruh dari luar terutama yang merangsang bangkitnya kesadaran kecendikiawanan perteateran (Bakdi Soemanto, 2001: 120); (3). Ia harus mau mengeksplore naskah lakon sampai ia memahaminya secara tuntas; (4). Ia harus awas, hati-hati terhadap prasangka pribadi dan nilai-nilainya; (5). Ia harus pandai berbicara dan jelas dalam mengeluarkan penilaiannya dan dasar-dasarnya; (6). Ia harus mau mengubah pendapatnya bila ada pengalaman dan bukti-bukti baru.
Peter Brook (1990: 37) menekankan, bahwa ia, kritikus teater itu mempunyai suatu citra (image) tentang bagaimana seharusnya sebuah teater itu berada dalam komunitasnya. Akan jauh lebih baik bila ia menjadi orang dalam (insider). Ia menceburkan diri ke dalam hidup kita,bertemu dengan para aktor, berbicara dan berdiskusi, menyaksikan dan (kalau perlu) campur tangan. Memang terdapat sedikit masalah: bagaimana mungkin seorang kritikus berbicara pada seseorang yang tadinya dikecam dalam surat kabar. Bagaimanapun juga hubungan itu tetap dijaga dan diperbaiki karena keduanya saling membutuhkan. Kritikus yang tidak lagi menyukai teater adalah “a deadly critic”; kritikus yang mencintai teater tetapi tidak dengan tegas dan jelas apa yang dimaksudkan dalam kritiknya, juga adalah “a deadly critic”. Kritikus yang baik adalah kritikus yang dengan jelas memformulasikan untuk dirinya sendiri (lebih dulu) bagaimana seharusnya sebuah teater dan cukup berani melemparkan formula tersebut ke dalam “kancah yang beresiko” setiap waktu, saat ia berpartisipasi dalam peristiwa teater. Memang berat baginya untuk mempertahankan suatu entusiasme bila cuma ada sedikit lakon yang baik: suatu pilihan yang tidak menyenangkan antara karya-karya besar konvensional dan karya-karya modern yang kurang baik.
Brook menulis di sana: “We are now in another area of the problem, also considered to be central: the dilemma of the deadly writer”. Apakah pernyataan ini berlaku juga bagi kita di Indonesia? Ada kecenderungan lakon-lakon itu cumalah pengulangan atau penulisan dalam bentuk baru. Drama lalu menjadi kantong pakaian-pakaian rombeng, keisengan dan ide- ide yang kemarin.
Menurut Eric Bentley, kemunduran ini disebabkan oleh dua hal: (1), penulisan naskah lakon cuma dipandang sebagai suatu craft, ketukangan. Dramaturgi diturunkan dan the fine arts menjadi the useflul arts dan juga tidak berguna:, (2). Naskah ditulis khusus untuk penonton tertentu yang ada dalam pikirannya dan tidak berpikir ada penonton yang lain untuk naskah yang baik. Alasan utamanya adalah untuk menarik perhatian dan menyenangkan penonton. Dia melihat dramaturgi itu sebagai persoalan bagaimana menepatkan lakon itu pada penontonnya; yang benar adalah penonton itu diminta/dihimbau to adjust dirinya pada lakon tersebut.
(IV).
“Is there another language just as exacting for the author as a language of words?” tanya Brook lagi ketika ia berbicara tentang The Holy Theatre sebagai suatu penghormatan bagi Artaud. (hal.55). Apakah ada bahasa untuk actions, untuk suara, “a language of word-as-part-of movement”, “of word-as-lie, word-as-parody, word-as-rubbish, word-as-contradiction, word-shock or word cry”?
Teater yang mencoba memberikan arti yang lebih dalam lagi tentang gestur, umpamanya; gestur sebagai suatu statement, ekspresi, komunikasi dan suatu manifestasi pribadi tentang kesepian, yang disebut Artaud sebagai “a signal through the flames” sekaligus sebagai tempat berbagi pengalaman begitu kontak itu terjadi.
Perlahan-lahan kita menuju ke “wordless language” yang lain: kita mengambil sebuah peristiwa, sepotong pengalaman dan membuat gerak-gerak dengan tubuh yang mengubahnya menjadi bentuk-bentuk di mana kita dapat saling berbagi. Kita mendorong para aktor itu untuk melihat diri mereka bukan hanya sebagai improvisers, menuntun diri mereka ke dalam inner impulses mereka, tetapi sebagai seniman bertanggung jawab mencari dan menyeleksi di antara bentuk-bentuk tersebut sehingga sebuah gestur itu atau sebuah teriakan menjadi sebuah objek yang ia temukan dan bahkan dibentuk-ulang. Kita menolak bahasa topeng tradisional dan dandanan-dandanan sebagai sesuatu yang tidak cocok lagi. Kita bereksperimen dengan keheningan kita ingin menemukan hubungan antara keheningan dengan durasi. Kita bereksperimen dengan ritual dalam arti pola-pola yang berulang-ulang, melihat apakah hal itu mungkin untuk menghadirkan lebih banyak arti lagi dan lebih cepat ketimbang lewat suatu pembongkaran peristiwa secara logik. Tujuannya, seperti dikatakan oleh Brook, adalah bagaimana yang tidak tampak itu menjadi tampak lewat kehadiran para aktor, terlepas buruk atau baik atau sukses atau gagal.
Seperti dikatakan sendiri oleh Artaud (Stephen Barber, 1993: 44) teaternya tidak mempercayai lagi bahasa, karena teks itu cumalah pengulangan-pengulangan yang nyinyir. Di bagian lain Artaud menulis begini (hal. 145)

the theatre
is the condition
the place
the point
where the human anatomy can be seized
and used to heal and direct life.

Persoalannya bagi kita atau bagi (calon) kritikus teater: rasanya kita belum mempunyai rumusan atau kriteria yang baku dalam menilai pementasan-pementasan yang mengambil gaya Artaudian. Apakah hal itu perlu atau tidak perlu dirumuskan seperti yang terjadi pada teater-teater yang mengambil gaya Brechtian atau Chekhovian. Kriteria tersebut juga diperlukan oleh para penonton agar mereka mengetahui bagaimana kita menikmati pergelaran-pergelaran Artaudian tersebut.
(V).
Perlukah para kritikus mempunyai sebuah organisasi ? Saya tidak bisa menjawab secara tegas. Di lnggris ada Guild of Drama Adjudicators atas restu dan British Drama League. Pada awal pembentukannya organisasi ini beranggotakan empat puluh enam orang, orang-orang yang mempunyai pengalaman yang baik dalam festival-festival drama. Sekarang anggotanya sebanyak dua ratus lima puluh orang dengan cabang-cabangnya di New Zealand, Kanada, Australia dan Amenika Serikat. Organisasi ini membuat standar penilaian terhadap pementasan-pementasan. Syarat-syarat keanggotaannya cukup ketat. Anggota-anggotanya adalah orang-orang professional, berpengalaman sebagai aktor, sutradara, stage manager atau produsir. (Derek Bowskill, 1973: 328).
Di Inggris juga ada British Theatre Association, The National Association of Drama Advisers ada pula National Drama Conference, National Federation of Women’s Institutes, The National Operatic and Dramatic Association. Mereka mempunyai program kerja yang luas:
pelatihan-pelatihan, effective speech courses, pelayanan perpustakaan, informasi, penerbitan bulletin, pelatihan menjadi kritikus, penulisan naskah, ceramah-ceramah, konsultasi, dan lain-lain.
Apakah tidak mungkin kita memikirkan organisasi-organisasi seperti di lnggris itu ? Saya mendukung gagasan untuk membentuk Federasi Teater Indonesia.
Di samping itu perlu dipertimbangkan agar PT-PT Seni dan sanggar-sanggar mampu memunculkan kritikus-kritikus teater yang handal seperti dirisaukan oleh Bakdi Soemanto dalam bukunya Jagat Teater (2001: 321). Ia juga mengkritik sutradara beberapa sanggar yang bertindak sebagai pemilik dari company itu yang tidak memungkinkan munculnya kritikus-kritikus teater dari sana.
(VI).
Sesungguhnya teater itu berada dalam situasi antara kekuatan-kekuatan yang sedang bertanding yang memberinya hidup; teater itu sendiri adalah pemberi hidup. Kita ingat akan The Great Initiatory Wheel-nya Richard Schechner (1994: 318) yang terbentuk bila kerja kelompok itu sukses. Personal (yang mempertanyakan siapa aku sekarang) sebagai suatu realisasi diri menuju ke Group (munculnya kreativitas kolektif)... .menuju ke social (solidaritas)... .menuju ke Political (kesadaran)... menuju ke Metaphysical (manusia dapat mengubah dirinya)... menuju kembali ke Personal dan seterusnya dalam sebuah lingkaran yang makin menaik
Ya, bagaimana lagi?
That’s all. Terima kasih.

Casa di Lansia, 20 Juni 2005.

*Disampaikan pada Symposium Kritik Seni Dewan Kesenian Jakarta
tanggal 23-24 Juni 2005 di Jakarta
* *Max Arifin, pengamat teater tinggal di Mojokerto, Jl. Bola Volley Blok E-33, Perum Griya Japan Raya, Sooko, Kabupaten Mojokerto. (0321) 326915. Email : daxxenos2@yahoo.com