Saturday, December 02, 2006

Surat Dari Seberang 2 (Max Arifin)

SURAT DARI SEBERANG.

Ngunglu ayam ling Samawa
Samung ling sanak do tokal
Mole tu sakompal ate.



Ecun,

Bulan lalu aku diundang oleh PT Newmont Nusa Tenggara. Undangan untuk pulang kampung, atau dalam bahasa “tau Samawa” “mole jango desa”; karena sesungguhnya sudah 65 tahun aku tidak pernah melihat daerah yang sekarang disebut Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) itu. Sayup-sayup terngiang-ngiang sepotong lawas Samawa yang dibawakan oleh seoramg pemuda yang kesepian yang sedang menjaga padinya di sawah pada malam hari. Rindu pada wajah kekasih yang lama tidak bersua karena pekerjaan yang mendera badan……..kudatang jango desa, nonda kaleng kubawa, selamat gama parana.
Di samping aku dan istriku ikut pula sdr. Abdul Malik dan Novarita teman-teman baikku yang selama ini membantu aku dalam berbagai hal dan pekerjaanku.. Aku banyak melihat dan berbicara dengan beberapa orang staf dan karyawan PT Newmont.
Ecun,
Waktu terasa berjalan cepat sekarang ini, karena di sana orang-orang berbicara dan berdiskusi tentang perencanaan masa depan. Waktu tidak beku atau membatu seperti terdapat dalam otak orang-orang yang berpikir tradisional. Empat puluh tahun yang lalu, kita bisa mengatakan waktu itu malah tidak ada. Apapun jenisnya, perencanaan berarti suatu antisipasi keadaan masa depan. Penegasan visi tentang masa depan pada saat ini adalah bertujuan untuk memotivasi, membimbing dan mengarahkan tindakan sekareang---suatu masa depan yang berbeda dengan masa sekarang, namun penuh dengan agen dan kontra agen, objek-objek yang perlu dihindari, objek-objek yang perlu dicakup, sarana untuk memungkinkan penghindaran, kekuatan yang saling berkaitan, manusiawi dan yang non manusiawi, lunak, bermusuhan atau netral.
Manusia terkondisi untuk berubah dan membuat perencanaan menjadi penting dan perlu bagi diri mereka untuk memilih dan bertindak karena kebutuhan dalam medium sejarah. Namun karena masa depan itu akan berbeda dengan masa seakarang, maka manusia tidak mengetahui seberapa jauh mempercayai antisipasinya yang sekarang mengenai masa depan itu dalam rangka menyiapkan diri untuk menghadapi dan menanggulanginya.. Seperti dikatakan oleh Warren G.Bennis, dan kawan-kawan, dalam bukunya, The Planning of Change (Rinehart & Winston, Inc. 1985) semua perencanaan manusia adalah perencanaan perubahan dan memerlukan pertimbangan mengenai keseimbangan yang layak antara investasi energi dan sumberdaya untuk mengejar atau menghindari akibat yang dapat kita antisipasi sekarang., suatu masa depan yang kurang lebih akan menimbulkan keterkejutan, karena sistem sosial yang selama ini kita hadaapi adalah bersifat evolusioner.
Manusia modern dikhianati oleh arah tradisi, Ecun. Mereka menghadapi sekaligus harapan dan ketakutan akan masa depan yang belum diketahui secara langsung karena kehilangan kepercayaan pada pedoman dari kebiasaan dan kebijaksanaan tradisional. Kita kadang-kadang menjadi gamang, bergerak antara harapan dan ketakutan. Kukira itulah sebenarnya yang dimaksud oleh Pak Basar, seorang staf Comdev ketika mengantar kami berkeliling ke desa-desa sampai ke Tatar. Pak Basar menyebut-nyebut tentang mentalitas dan peri laku. Kompas (30 November 2006) mengutip ceramah Prof. Michael Porter dalam sebuah seminar di Jakarta. Profesor itu bertanya, lalu kenapa Indonesia tetap stagnan? Dia jawab sendiri, “Saya pikir penyebabnya sebagian adalah masalah mentalitas dan perilaku” dan dia meminta agar pola berpikir kita diubah. Hal serupa sedikit banyak disebut-sebut pula oleh Bapak Malik Salim, Asisten Senior Manager External Relation PT Newmont dalam diskusi kecil dengan beliau di Hotel Lombok Raya, Mataram. Masyarakat sedang mengalami perubahan secara drastis dan dunia kini dibayangi oleh perubahan ke arah masyarakat informasi. Dalam waktu dekat kita akan memasuki suatu dunia yang benar-benar baru. Di dalam dunia yang baru ini kesatuan pengetahuan, sifat komunikasi manusia, tatanan masyarakat, tatanan gagasan dan gagasan yang sesungguhnya mengenai masyaraakat dan kebudayaan mengalami perubahan dan tidak akan kembali seperti semula. Dunia baru yang kita hadapi adalah dunia “jungkir-balik” nilai-nilai yang akan melahirkan kegamangan di sebagian besar anggota masyarakat; terjadinya pembubaran dan perubahan wewenang secara besar-besaran dalam keyakinan, dalam ritual dan dalam tata-tertib duniawi. Namun inilah dunia yang kita diami. Suka atau tidak suka. Pak Basar dan Pak Malik Salim tentu mengalami dan menghadapi kesulitan-kesulitan; banyak kesulitan. Kesulitan-kesulitan ini barangkali berasal dari perkembangan dalam pemahaman, dalam ketrampilan, bahkan dalam keluasaan.
Ecun,
Sebuah masyarakat atau individu yang “well-informed” atau tercerahkan akan mudah berubah atau beradaptasi dengan gagasan-gagasan atau ide-ide baru. Bukan dalam arti menerima begitu saja, tetapi (yang kita kehendaki) adalah terjadinya proses analisis dan internalisasi pada dirinya. Distorsi informasi---apalagi kalau disengaja atau memanipulasi informasi---akan bisa menimbulkan hal-hal yang fatal. Seperti yang terjadi di daerah-daerah dan tawuran antar kelompok. “Proses tentang informasi” adalah penting, karena dengan proses itu kita berusaha memberikan pada masyarakat kita tentang wawasan tentang apa yang sedang berlangsung di sekitar kita, di dalam diri kita dan antara diri kita dan orang lain. Selama ini barangkali saja ada yang salah. Kita haruslah berpendapat bahwa informasi diperlakukan sebagai isi dalam lingkungan yang mempunyai potensi untuk mengubah proses, strategi dan rencana sistem yang dibuat dengan sengaja (by designed). Bisa saja pemecahan masalah oleh Comdev akan menimbulkan masalah baru (yang tidak diramalkan). Mungkin kita tidak pernah dapat mengambil langkah yang akibatnya memang kita maksudkan. Mungkin pula selama penelitian Comdev sering menemukan tujuan baru yang dipertaruhkan dalam tindakan kita yang berada di luar batas tujuan kita sendiri. Dengan de mikian secara metafora---maaf pada Pak Basar--- langkah perencanaan dan tanggapan pihak yang direncanakan (rakyat Sekongkang dan Jereweh khususnya dan KSB umumnya) dapat dilihat sebagai suatu percakapan. Namun konteks perencanaan adalah konteks di mana perencanaan dan pihak yang direncanakan mungkion benar-benar berbicara satu-sama-lain (berkomunikasi atau bermiskomunikasi), sebagaimana mungkin terjadi tentang makna yang telah mereka bentuk atau sepakati, baik untuk langkah mereka sendiri maupun untuk langkah pihak lain.
Ecun,
,PT Newmont ini tentu mempergunakan perencanaan modern. Secara sepintas aku dapat melihat dan merasakan “aura” rasional-komprehensif yang berada di dalam konteks kesadaran objektif: suatu keadaan kesadaran yang dibersihkan dari semua penyimpangan subjektif dan semua keterlibatan atau kesalahan pribadi. Perencanaan seperti ini terasa elitis dan cenderung sentralistis yang benar-benar menutup semua kemungkinan untuk perubahan sosial kecuali yang sudah diprogramkan sebelumnya. Sejarah mengajarkan kita, bahwa perubahan penting selalu unik, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat diulang. Kita orang-orang modern sering tidak sabaran dengan mengatakan perubahan adalah sebuah proses yang tidak ada akhirnya. Aku akan mengatakan pada manusia modern, bahwa sumber perubahan sosial kreatif itulah yang tidak dapat diperhitungkan. Atau seperti yang ditulis oleh dua orang dramawan Inggris, Richard Edmund dan Nigel Hughes yang mengunjungi jantung Kalimantan sampai ke Longpahangan: “ Usaha kami bukanlah memaksakan metode dan nilai-nilai kami, tetapi sebaliknya adalah belajar dari mereka dan mengembangkan ideologi kaya, kesenian dan kreativitas mereka sendiri yang telah dihancurkan dan dipinggirkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar, terutama oleh bangsanya sendiri” (Rainforest Quest/Trees of Paradise,Green ress, 1991: 169). Lebih jauh dua orang dramawan ini menulis di sana: “Rakyat di sana bukan cuma contoh dari kebudayaan yang sudah tua, tetapi mereka adalah penjaga-penjaga, guardians misteri yang ada di daerah mereka, walau sebagai penjaga mereka tidak punya konsep tentang bahaya besar yang mengintai mereka, bahaya yang mengancam ‘the core of their existence’ , the mystery itself” (hal 278).
Ecun,
Di sinilah kayaknya ada pemahaman yang saling bertentangan tentang apa kebudayaan itu. Bagi kita orang-orang modern---aku, Pak Malik Salim, Pak Basar, Pak Kasan Mulyono, Pak Zambani, Pak Jarot, dan lain-lain---tidaklah memandang kerbudayaan---tradisi, perilaku, adat-istiadat, dan lain-lain---sebagai suatu heritage, suatu warisan yang sebagaimana dipahami oleh masyarakat setempat, masyarakat lingkar tambang atau KSB umumnya. Bagi mereka heritage adalah pedoman-hidup, pedoman dalam bertingkah-laku dan berperilaku dan bersikap serta alat-perekat anggota masyarakat. Lawas, sakeco, badede, langko, dan lain-lain harus dilestarikan. Bagi mereka kebudayaan adalah terdiri atas kebudayaan-kebudayaan yang sudah lama ada yang saling berdamai satu sama lain. Tetapi bagi kita---manusia-manusia modern yang dikhianati oleh tradisi itu---kebudayaan kita pahami sebagai fragmen-fragmen masa lalu yang saling tak terdamaikan, bukan penemuan tetapi warisan yang bermetamorposes, melalui kreativitas budi dan akal manusia. Masa lalun itu adalah sesuatu yang harus ditaklukkan dan dianeksasi dan adalah dalam diri kita---manusia-manusioa modern itu---di mana dialog-dialog besar dengan kebudayaan=kebudayaan kebesarabn masa lalu itu menjadi hidup. Dengan demikian---terutama dengan hormat pada Bapak Malik Salim---kebudayaan itu menjadi kompendium dan menyokong kebesaran Manusia (manusia dengan huruf besar M) dan membuat mereka memiliki dan banggga akan harkat mereka sebagai manusia. Lewat kebudayaan, terutama seni kita ---seni modern dan seni tradisional---kita mencoba menolak takdir kita. “All art is a revolt agaisnt man’s fate”, kata Andre Malraux dalam bukunya The Voices of Silence (Granada Publishing House, 1974: 639)
Ecun,
Aku dan teman-teman timku telah melihat geliat Jereweh. Gairah Sakongkang, Magnet Maluk dan Benete, Harapan Belo. Kegigihan Goa. Kiprah Beru. Optimisme Tongo dan Tatar----terima kasih lagi pada Pak Basar----. Mungkin apa yang kami lihat adalah secara fisik saja, tetapi kami berharap adalah pula geliat itu dalam bentuk mental dan peri laku.
Terakhir aku ingin mengucapkan terima kasih pada dua orang siswa SMA Negeri Jereweh, Pipin Riyanto dan Fitri yang telah menelpon aku menanyakan masalah kreativitas dalam penulisan. Semoga kalian kelak menjadi penulis-penulis yang handal.


Kepada seluruh masyarakat lingkar tambang, kami mengucapkan”
No soda su ku ko sia
Ko paranaku baesi
Ling genras ku sayang sia..

Salam hormat,

Max Arifin.
Jl.Bola Voli Blok E 33
Perum Griya Japan Raya,Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361
Jawa Timur
Telp 0321-326915
HP 085 2300 39 807
Email: daxxenos2@yahoo.com

No comments: