Thursday, October 05, 2006

Surat Dari Seberang...

SURAT DARI SEBERANG:

Ecun……
Sudah lama aku ingin menulis surat ini. Tapi entah, baru sekarang aku melaksanakannya. Aku tahu persis apa yang mendorong hatiku. Mungkin karena kerinduan yang telah menumpuk, membengkak dan tak tertahan. Mungkin karena dorongan hati dari dalam atau kegemasan melihat faktor-faktor yang berada di luar.
Waktu itu sudah lama sekali.
Pertama kali aku angkat kaki dari Tana Samawa –sudah kabur, seputar tahun 1954—ke Yogyakarta. Kenyataan-kenyataan kecil sudah mengabur. Meninggalkan Tana Samawa pada waktu itu merupakan perantauan dalam arti sesungguhnya. Jarak dan waktu benar-benar kita hayati: bagaimana seorang anak muda—yang dijuluki Teruna Ngining oleh pelukis Abdullah Sidik [almarhum] pada senja hari berdiri di atas dek kapal KPM Waikelo, merasakan terpaan angin senja melihat ke belakang. Makin lama tana samawa makin menghilang, dan air mata tak terasa mengalir perlahan. Terlalu banyak yang harus kutinggalkan dan hatiku seberat tugu.

Ecun…….
Kini jarak dan waktu tak terasa, tak terhayati, tak ada waktu untuk ngelamun, hiruk –pikuk membuyarkan semua kenangan, pandangan sekitar mengaburkan wajah-wajah yang di Tana Samawa. Waktu merupakan garis lurus dan kepastian yang dituju sudah jelas dan semua energi dihimpun untuk membelanya.
Aku tidak tahu pasti, apakah kebo karong Paman Dawid yang selalu menjadi kebanggaan itu masih ada keturunannya. Kau masih ingat bagaimana kebo-kebo itu memenangkan karapan kerbau di kecamatan dulu. Bagaimana Paman Dawid ngumang di depan dadara di atas tribun bambu memuji kerbaunya dan menunjuk pada dadara yang jadi kembang di desa? Aku masih ingat betul peristiwa itu, kau tahu apa isi lawas Nde Dawid waktu itu? Ia bilang begini:
Kerbau ini milikku
kupelihara dengan hati bersih
tinggi yang telah ia capai
tapi apa arti itu semua
bila kau masih memalingkan wajah?

Lawasnya disambung lagi begini
Kau jauh lebih berarti
walau cahayamu seperti kerlip
bintang di kejauhan
hatiku yang merana tak bosan
bertanya pada apa saja
Sebelum ia berpaling dari tribun bambu itu, Nde Dawid sempat melontarkan lagi lawas yang sudah kita kenal bersama,di seluruh Tana Samawa:
Lamin sia dunung notang
Sowe santek bonga bintang
Pang bulan ketemu mata

Terjemahan bebasnya barangkali begini:
Kalau anda duluan merindu.,
Sibaklah atap, tataplah bintang
Di wajah bulan kita berpandangan

Dan dadara di atas tribun bambu itu cekikikan. Tetapi peristiwa menyedihkan terjadi. Sementara aku menyaksikan peristiwa yang menggetarkan hatiku itu, adegan yang mempesona, adegan yang benar-benar teatral, alamiah, wajar: tiba-tiba temanku, si Alwi yang berdiri di sampingku terjatuh, terkulai ke tanah. Katanya ia disambar oleh bura’. Ia dilarikan ke rumahnya—kebetulan bapaknya seorang sanro. Aku tidak tahu kabarnya, sebab besoknya aku sudah berdiri di atas dek kapal Waikelo.
Aku merindukan semua itu. Dan inilah sebenarnya yang membuat aku bersedih ketika mendengar bahwa kesenian Tana Samawa sudah hampir punah, kalau tidak dikatakan memang sudah punah.
Lawas dan entah apa lagi namanya—langko, seketa,bagesa,badede dengan kosok kancingnya—bukan cuma ekspresi perasaan seorang Paman dawid, tetapi ekspresi sesungguhnya Tau Samawa secara keseluruhan. Kita—generasi sekarang—sudah tidak peka, tumpul dan tidak mampu menyimak ekspresi Tau Samawa tersebut. Kita kini dihirukpikukkan oleh kontras antara politik dan kedamaian. Apakah kau, Ecun, pernah mencoba untuk sedikit peduli pada luka-luka sosial di sekitarmu dan betapa pedih memikirkan kelanjutan dari sesuatu yang menihilkan selain dari pertengkaran, agresi, teror dan ancaman-ancaman lainnya. Keasyikan dalam bermain politik—terakhir ribut-ribut ingin membuat pulau Sumbawa menjadi sebuah propinsi—akan memencilkan kesenian menjadi sesuatu yang hampa.
Kita tidak lagi memiliki semacam pengalaman estetika, yaitu kemampuan untuk bereaksi terhadap apa yang disebut “permukaan-permukaan estetika”. Aku melihat Tana Samawa dari kejauhan sudah compang camping. Ia goyah dan semua orang sudah tunduk pada hiruk-pikuk. Kita kehilangan kesunyian, tidak mampu untuk berdiri sendiri dalam arti spiritual dan tiba pada suatu kehidupan kreativitas intelektual. Aku percaya, bahwa kemampuan kita untuk melakukan kontemplasi, perenungan juga telah dihancurkan.
Ada jarak yang begitu jauh antara nurani dengan kehadiran kita. Nde Dawid-Nde Dawid dan Papen Dio-Papen Dio sudah tiada. Wajah politik itu begitu menjadi personal, telanjang dan kasar. Kita dijajah oleh ketenangan yang kita ciptakan sendiri dan kita tidak memiliki ketenangan suatu mekanisme yang beroperasi dari dalam untuk stimuli-stimuli di kejauhan—katakanlah keluhan Nde Pedil di Emang atau Papen Tenri di Aipaya sana.
Kita-kita tampak seperti karikatur yang tidak punya nurani. Sejauh mana jiwa—orang Inggris menyebutnya soul—memasuki daerah publik [public realm] itu? Apa yang mendorongnya? Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition—kubaca tahun lalu, Ecun menulis, bahwa yang mendorong jiwa kita memasuki daerah publik antara lain karena adanaya realtitas ancaman terhadap peradaban dan terhadap eksistensi kita. Kedua, kewajiban kita untuk berjuang dan bertahan. Ketiga, adanaya pengaruh diskusi-diskusi publik di koran-koran, TV, buku-buku ditempat-tempat ceramah. Dan keempat, keinginan kita yang paling dalam untuk mengirimkan jiwa dan semangat kita ke dalam masyarakat.
Kita tidak tahu apakah politikus-politikus itu –yang diisukan bermain politik uang yang kotor, yang menghilangkan kepribadiannya, yang membekukan nuraninya, yang tidak tahu malu itu—memahami hal itu sebagai pemahaman politik yang lebih tinggi. Kalau memang ya,-maka tak akan ada politik uang, dan lain-lain itu—maka tak ada lagi yang kita keluhkan. “Dengan kata-kata dan perbuatan kita menyelinapkan kedirian kita ke dalam dunia manusiawi” kata Arendt, “dan penyelinapan ini adalah seperti kelahiran kedua kita”. Manusia merindukan keabadian. Untuk merealisasikannya, kita sekali lagi—dan sekali lagi—harus menegaskan identitas kita lewat kata-kata dan action, mengajarkan kepada orang-orang bagaimana melahirkan yang besar dan berkilauan.
Politik telah mengotori wajah kita. Aku lalu ingat ucapan John Kennedy—waktu dilantik jadi Presiden—kalau politik mengotori wajah kita, maka bersihkan dengan puisi. Dengan kata lain: bersihkan dengan lawas.

Ecun……..
Aku merindukan ini: politikus-politikus yang melempar wajah kita dengan lumpur itu duduk bersama—tanpa ada yang walk out—dan memanggil jago-jago lawas dari Ano Rawi dan Ano Siep dan membawakan lawas yang mampu membuat kita saling berpandangan dalam waktu yang lama. Kita saling menyimak hati kita masing-masing lewat kesenian. Dan aku pastikan, gema suara Nde Dawid atau Papen Pio akan terdengar:
Lamen nonda ila, melakopamendi; lamen nonda pamendi, melako ila.
Memang kewajiban kita untuk memperbaiki Sumbawa. Tusabalong sama lewa. Keindahan fisik material Tana Samawa dan keindahan spiritual anak negerinya. Aku lalu ingat Dewan Kesenian Sumbawa itu dan mengharapkan bisa melaksanakannya. Atau Dewan itu sendiri sudah terpercik lumpur politik ke wajahnya atau ikut melempar? Dan melupakan fungsinya?
Aku takut Ecun, atavisme yang disebut-sebut oleh Saul Bellow [seorang pemenang hadiah Nobel] pada akhir bukunya To Jerussalem and Back [1977:232] memang terus masih mengikuti kita. Ia menulis:
Di zaman purba di tembok-tembok kota yang ditaklukkan di Timur Tengah kadang-kadang digantung kulit-kulit orang yang ditaklukkan. Kebiasaan itu sudah hilang. Tetapi keinginan untuk membunuh untuk tujuan-tujuan politik itu---adalah masih tetap seperti dulu.
Anak cucu Adam yang bermartabat tentu akan mengingat hal itu dan menampiknya. Sungguh. Ecun.
Sekian dulu, ecun, salam rinduku pada semua keluarga kita: Iyun, Hafni, La dan Hannah beserta suami-istri mereka. Dan juga pada Gani. Aku selalu merindukan kalian semua.

Salam ,
Max Arifin.
Jl.Bola Volley Blok E 33,Perm Japan Raya, Sooko,
Kabupaten Mojokerto 61361
Jawa timur
Telp 0321- 326915
Hp 085 2300 39807
Email: daxxenos2@yahoo.com.


*Max Arifin ,sejak di Mataram dikenal sebagai dramawan, penerjemah, esais dan wartawan. Setelah pensiun sebagai pegawai Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud NTB, pria kelahiran Alas, Sumbawa ini hijarah ke Jawa Timur. Tinggal dirumahnya yang tenang dan sejuk di Mojokerto bersama isteri tercinta: Siti Hadidjah.
Dua buku terjemahannya Taruhan Mewujudkan Tulisan, Wawancara dengan Penulis Pria dan Wanita Dunia, baru diterbitkan penerbit Jalasutra, Yogyakarta.
Sementara My Life in Art [Konstantin Stanislavsky] dan The Other Voice [Octavio Paz] dalam proses penerbitan oleh Pustaka Kayutangan, Malang.
Novel Seratus Tahun Kesunyian [Gabriel Garcia Marquez] segera cetak ulang oleh Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Novel An Echo of Heaven [Kenzaburo Oe] segera terbit oleh Bentang Pustaka.

**tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Rungan Samawa No.09-tahun 1 Maret 2001

No comments: