Thursday, October 05, 2006

Cerpen: Malam Terakhir Seorang Presiden

CERPEN:
MALAM TERAKHIR SEORANG PRESIDEN

Oleh MAX ARIFIN


Seorang lelaki tua dalam pakaian tidur melangkah menuju jendela. Di ruang keluarga itu ia melayangkan pandangannya ke arah jam yang menempel di tembok. Pukul 24.00. lalu ia meneruskan langkahnya ke jendela. Agak lama ia tertegun di sana, tetapi akhirnya ia membuka jendela itu. Wajahnya menengadah ingin menghitung bintang-bintang di langit sana.

Tuhanku, katanya, kenapa aku bisa terjebak dalam akhir seperti ini. Selama ini aku selalu meminta petunjuk padaMu. Tetapi Kau tidak menunjukkan jalan yang benar yang kau ridoi itu. Apa yang salah pada diriku ? Lima puluh tahun yang lalu aku juga berada dalam malam hari seperti ini dan aku yakin benar jalan itu. Kau tunjukkan padaku. Bergemuruh sambutan terhadap diriku. Aku adalah jenderal yang keluar dengan kemenangan dari sebuah peperangan yang besar. Peperangan yang besar ? Sebenarnya bukan suatu peperangan yang besar, tetapi “the real war” yang sebenarnya---ah, aku meminjam nama buku karangan Richard Nixon, buku yang sudah kubaca beberapa kali, tetapi ternyata terjadi kekurangpahaman dalam menarik kesimpulan. Nixon menulis, bahwa sejarah kegagalan dalam peperangan dapat disimpulkan dalam dua kata: terlalu terlambat. Terlambat dalam memahami tujuan yang mematikan dari musuh yang potensial; terlalu terlambat dalam menyadari bahaya yang mematikan; terlalu terlambat dalam persiapan; terlalu terlambat dalam menyatukan semua kekuatan yang memungkinkan untuk bertahan dan terlalu terlambat dalam mencari teman yang benar.
Padahal aku seorang jendral. Dan sebagai jendral aku tidak boleh melupakan hal-hal itu. Itu adalah prinsip.

Ia berbalik, memandang ke segenap sudut kamar itu. Buku-buku yang teratur rapi berjejer dalam rak-rak buku yang penuh ukiran Jepara. Lalu ia mondar-mandir di sana.

Apa yang salah pada diriku ? Tentu wajahku tampak seperti dalam cermin pecah. Tetapi tentu tidak akan tampak seperti jendral-diktator tua dalam buku karya Gabriel Garcia Marquez. Aku membaca buku itu dengan harapan dapat melakukan hal-hal yang sebaliknya yang dilakukan diktator tua itu, walau aku mempunyai bakat luar biasa untuk berkomando dengan naluri politikus yang tidak pernah melesat dan meleset dari perhitungan dan mempunyai kemampuan untuk bertepo seliro, yaitu kemampuan untuk mencintai dan dicintai.

Tentu ada yang salah dalam diriku. Kemanusiaanku dan aku pribadi ternyata terlalu terpisah dan keduanya selalu melakukan tawar-menawar. Dalam keadaan seperti itu ternyata pikiranku sering menjadi lumpuh. Buaya adalah spesimen binatang paling primitif dibandingkan dengan manusia. Tetapi ketika manusia melangkah dalam keadaan buta dan telanjang ke dalam sungai, maka dapat dipastikan buaya itu yang akan selamat. Salah satu pelajaran sejarah yang harus dipelajari--- walaupun tidak menyenangkan adalah, bahwa peradaban itu tidak datang dengan sendirinya. Ini yang mungkin kulupakan. Sifat permanen sebuah peradaban tidak dapat diduga sama sekali. Akan selalu terdapat bidang-bidang gelap menanti kita di setiap sudut. Langkah-langkah harus diatur dengan teliti agar kita tidak terjebak.

Ia mendekati rak buku dan mencomot buku The Real War karangan Richard Nixon. Cepat-cepat ia membalik beberapa halaman lalu berhenti pada halaman 271.

Ya, halaman 271 ini sudah sepuluh kali kubaca. Di sana ada “ten rules” yang harus kuperhatikan. Seharusnya rules ini kugantung dengan indahnya di kamar kerja istana kepresidenan. Rule delapan berbunyi: Harap selalu berhati-hati dalam membedakan antara teman-teman yang selalu menyodorkan hak-hak azasi dan musuh-musuh yang selalu menolak semua masalah yang berkenaan dengan hak-hak asazi manusia. Dan rule sepuluh menulis: jangan kehilangan kebajikan. Pada masalah-masalah yang tertentu kebajikan mampu menggerakkan sebuah gunung. Kebajikan tanpa kekuatan adalah tidak berguna, tetapi kekuatan tanpa kebajikan adalah mandul.

Ia menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan menutup buku itu dan meletakkan kembali di rak buku.

Bagaimana seharusnya aku bersikap terhadap sebuah buku ? Buku-buku ini kini begitu menakutkan, seakan-akan mencemoh dan mengejek diriku.

Lalu pandangannya tertuju pada lukisan besar istrinya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Ia maju beberapa langkah, mendekat ke lukisan itu.

Kau tidak bisa merasakan kesunyian dan kesepian ini. Juga kesedihanku pada malam ini. Selama ini kau adalah kekuatanku. Aku selalu mengajak kau melanglang buana. Bagaimana kita berpose di tembok besar Cina. Ah, semua terbayang berkelebat di dalam pikiranku.

Anak-anak tak ada di dekatku. Selama ini kaulah yang menuntun mereka menjadi besar, lalu menjadi bagian dari masalah-masalah yang melilit diriku.

Tiba-tiba jam di tembok itu berdentang tiga kali. Ia agak terkejut juga tetapi dengan segera membenahi sikapnya. Ia merasa malu pada keterkejutannya tadi, padahal seorang prajurit sejati tidak boleh kaget.

Besok pagi kekuatan dan kekuasaan yang ada dalam kedua tanganku ini akan kuserahkan pada orang lain sesuatu yang tak terpikirkan ketika aku melangkah tiga puluh tahun yang lalu kekuatan dan kekuasaan kuperoleh pada waktu itu adalah karena aku memahami benar aspirasi masyarakatku, aspirasi bangsaku. Apa yang salah pada diriku selama ini? Apakah aku cuma mempermainkan benda abstrak yang bernama aspirasi itu? Dan menafsirkan sesuai dengan kehendakku? Bagaimana dengan orang-orang yang mengelilingi aku selama ini? Orang-orang yang mendukung tanpa reserve terhadap penafsiran itu? Kalau aku mau jujur, aku Cuma melaksanakan semua desain yang dibuat oleh mereka. Kemana mereka malam ini?

Tanpa sengaja matanya menatap dua buku yang ada di rak sebelah kanan. Yang pertama berjudul The Great Cover Up karangan dua orang wartawan The Washington Post, hadiah dari GM, seorang pemimpin redaksi sebuah majalah terkenal waktu itu. [Tapi beberapa tahun yang lalu dibbreidel]. Ada satu bab yang mengerikan di sana, yaitu bab delapan: The Road to Impeachment. Ia membolak-balik halaman buku itu dan ketika tiba pada bab tersebut ia melempar buku itu sekuat tenaganya dan mengenai lukisan besar istrinya.

GM, GM, ia menggumam, takut pada suaranya sendiri, dulu aku mengagumi kau. Tetapi kenapa kita harus berseberangan dan memerintahkan agar majalahmu ditutup saja. Padahal kau benar ketika kau menulis tentang pembelian kapal bekas ex Jerman Timur itu. Di mana kau, GM ? Persahabatan sejati sebenarnya tidak boleh terhalang oleh naluri kekuasaan yang besar. Aku buta terhadap nilai-nilai yang ada dalam sebuah persahabatan sejati.

Yang paling mengerikan adalah buku yang satu itu. Karangan seorang wartawan luar negeri yang bertugas di sini selama beberapa tahun, A Nation in Waiting. Hampir setiap halaman menulis tentang dia. Jam berdentang lima kali.

Inilah musuh utamaku selama ini: wartawan; padahal mereka menulis hati nurani bangsanya. Tetapi kenapa aku tidak bisa memahami mereka. Mereka muncul dalam sosok-sosok gelap sebagai musuh terselubung yang akan menikam dari belakang. Kuakui betapa gagalnya departemen yang katanya akan “membina” mereka. Apa yang salah dalam kebijaksanaan “pers bebas dan bertanggung jawab” itu, suatu kebijaksanaan yang telah mengubur banyak koran dan majalah selama ini. Dulu aku pernah membaca---ya, dalam buku Freedom of Information karangan Herbert Brucker--- bahwa kebebasan untuk mengeluarkan pendapat itu sebenarnya kegunaannya bukan bagi golongan minoritas yang ingin berbicara, tetapi bagi golongan mayoritas yang tidak mau mendengar. Dan aku selama ini cuma mau mendengar pada golongan mayoritas yang didesain dengan penuh kelicikan. Aku tahu itu tetapi naluriah kekuasaan yang ada dalam diri seorang manusia membuat dia buta. Aku tahu itu. Aku tahu itu. Ternyata pembantu-pembantuku tidak berani memberikan informasi yang sebenarnya padaku. Seperti yang ada dalam ceritera wayang yang sering kusaksikan waktu aku masih kecil dulu.

-Prabu : Aku bilang itu adalah bulan.
-Durno : Aku tahu, memang itu bulan.
-Prabu : Bukan; kau telah berbohong padaku. Itu adalah matahari.
-Durno : Semoga Gusti Allah memberkahinya; memang itu adalah matahari yang
diberkahi.
Itu bukanlah matahari bila Prabu berkata bukan.
Bahkan bulan itu akan berubah sesuai dengan yang ada dalam benak
Prabu.Apapun nama yang Prabu kehendaki maka itulah namanya.

Itulah watak orang-orang yang berada di sekelilingku selama ini, watak yang menyumbangkan sahamnya dalam percepatan kebobrokan negara ini. Watak manusia-manusia yang tidak akan mampu mengantarkan bangsa ini menuju abad dua puluh satu.

Tiba-tiba terdengar jam di tembok itu berdentang tujuh kali. Dari kamar sebelah seorang cucunya menyetel televisi dan terdengar teriakan-teriakan mahasiswa yang berkumpul di gedung MPR/DPR, meneriakkan kata-kata Reformasi, Reformasi ! Ia tertegun sejenak dan memasang telinga.

Itu adalah generasi baru bangsa ini. Generasi yang menyongsong abad baru; menggeliat-geliat dalam membentangkan sayap-sayapnya. Sebenarnya aku membutuhkan generasi seperti itu. Tetapi terlalu terlambat dalam memperhitungkan mereka. Dua jam lagi kekuasaan yang ada dalam tanganku ini, yang kugenggan kuat-kuat selama ini akan kuserahkan.

Ketika ia berbalik untuk menuju kamar sebelah, ia menatap buku A Nation in Waiting tergeletak di atas meja. Ia menyambar buku itu dan mengusap-usap judulnya.

Buku ini akan merupakan pelengkap sejarah hidupku. Merupakan muka yang satunya dari muka berjudul A Smiling General.

Ia tersenyum. Ternyata sisa sejarah selebihnya masih juga menyediakan senyuman. Tetapi mungkin juga senyum merupakan salah satu dari banyak topeng yang kita kenakan setiap hari. Entahlah.-***

(dimuat di harian jawa pos minggu 9 juni 2006)

No comments: