Thursday, October 05, 2006

Puisi: Wajah Ibu

WAJAH IBU.
Max Arifin.


Wajah ibuku di Aceh berkelebat di layar kaca
meledakkan seribu duka yang kau usung
bersama sejarah negerimu.

Wajah ibuku menyeruak di tengah
wajah derita yang sulit kau terjemahkan
yang mengalir sampai ke ujung-ujung
yang tak pernah tahu arah
berhadapan dengan sejarah yang membisu
sampai air mata kami
berubah jadi biru tinta.

Ibu itu mengetuk-menggedor dan
si pongang menyeringai dari tengah laut
memupus lautanmu tenang dan teduh yang menyimpan
rindu, air mata dan mutiara dan mengelus kaki-kaki bocah di pantai.

Kota-kotaku menghumbalang ke langit kelabu
Dan tak sempat mendengar serapah sang ibu
ketika tangis si bayi dalam buaian mencari tetek ibunya
ditelan bahana gelombang amarah ratu kidul.

Wajah ibuku di Aceh berkelebat di layar kaca
di tengah gerombolan wajah tanpa nama
yang ikut mengusung kutukan sejarah negerinya
dan menghadapi kematian tanpa akhir,
kereta-kereta terbakar, senjata api, teriakan di lorong-lorong
bintang-bintang yang marah dengan wajah teror
yang menggeliat di balik balutan kepala compang-camping.

Ibuku pernah bersurat: kini bukan waktunya berkelana
ke seberang, ada tugas untukmu.
Dan aku diberi topi baja, senjata AK
di garis depan yang jauh aku berdiri.
Jangan berpaling, bergeraklah ke arah tembok bisu itu.

Wajah ibuku di Aceh yang berkelebat di layar kaca
berubah menjadi silhuet yang memudar.
Tuhanku, kenapa Kau menunduk rendah
hanya untuk menghancurkan kami?
Tatapan mataMu yang licik tidak menghendaki kesaksian apapun
untuk makhlukMu yang lemah, juga dalam doa yang khusuk yang
setiap saat kami panjatkan.

Ibu, sebuah ceritera baru dimulai.



Casa di Lansia, akhir 2004.

No comments: