Thursday, October 05, 2006

Masalah dan Posisi Teater di Sekolah

MASALAH DAN POSISI SENI TEATER DI SEKOLAH.

Oleh : Max Arifin.


Nani Yuliana, pelajar SMA 6 Surabaya (Kompas, 15/9-2004) mengeluh. Fauzi Salim, pembina teater di SMA 21 Surabaya mengeluh. Dan tentu terdapat banyak Yuliana dan Fauzi-Fauzi yang lain yang juga mengeluh. Bukan cuma di Surabaya, tetapi di banyak kota dan tempat di seluruh Indonesia: betapa pelajaran (ekstra kurikuler) seni teater di sekolah masih belepotan dengan masalah.
Seorang guru atau pembina kesenian yang akan mengajar seni teater di sekolah akan menghadapi dua macam kondisi dan kondisi-kondisi ini perlu dibenahi lebih dulu.
Pertama: Kondisi obyektif. Apakah di sekolah tersebut terdapat suasana yang kondusif, yang mampu menghidupkan suasana berkesenian yang bisa menimbulkan kebanggaan berkesenian. Juga kita pertanyakan apakah terdapat persepsi yang padu di antara para guru/kepala sekolah tentang arti dan fungsi kesenian di sekolah bagi para siswa. Selain itu apakah di sekolah tersebut cukup tersedia fasilitas untuk berkesenian.
Bila hal-hal itu secara minim dapat dicapai maka dapat dikatakan “masyarakat” sekolah akan mampu menggairahkan kehidupan berkesenian. Dan ini juga berarti, sekolah mampu menghargai hasil cipta para “seniman” di sekolahnya. Sekolah menciptakan suasana yang merangsang pertumbuhan seni dan gairah mencipta. Kita juga tidak bisa memungkiri, bahwa dewasa ini penetrasi radio dan terutama Tv telah membuat para pelajar menjadi manusia-manusia konsumptif dan pasif, takada gairah untuk aktif berkesenian.
Kedua, Kondisi subyektif. Apakah pembina kesenian (saya tidak tahu istilah yang dipakai di sekolah-sekolah dewasa ini) memiliki wawasan yang cukup luas tentang bagaimana sebenarnya mengembangkan tujuan kurikulum pendidikan kesenian dewasa ini.
Dalam buku-buku teks memang tercantum tujuan persyaratan bagi semua pekerja (seni) teater, antara lain: 1), Visi yang baik dalam masalah-masalah kebudayaan, seni, sastra , drama/teater. 2). (Diharapkan) mereka memiliki ketrampilan teknis yang memadai dalam cabang-cabang kesenian, namun dalam bidang seni teater mereka harus memiliki ketrampilan teknis yang cukup.
Saya memang menekankan pertimbangan pentingnya pengetahuan teori, bahkan mutlak diperlukan, karena: untuk membentuk visi yang baik; untuk memberikan dasar kepada penguasaan ketrampilan teater; dan merangsang orisinalitas dan kreativitas, di samping bacaan yang luas berupa karya-karya sastra pada umumnya dan karya-karya drama pada khususnya. Juga pengetahuan yang luas tentang hidup dan manusia pada umumnya. Kalau kita simpulkan, maka persyaratan umum seniman teater yang akan menjadi pembina teater di sekolah-sekolah bisa ditinjau dari segi kultural, artistik, literer dan teatral. Barangkali hal-hal itu terlalu ideal, tetapi kita perlu mendapatkan gambaran yang cukup.

SAYA tidak memiliki informasi yang baru tentang tujuan pendidikan kesenian di sekolah-sekolah. Namun demikian, saya kira, sepanjang yang berkenaan dengan dunia kesenian, tujuan yang tersirat dari pelajaran kesenian adalah: pertama, agar siswa mampu berapresiasi terhadap lingkungan dan terhadap karya seni. Di sini mereka diharapkan menjadi apresiator yang baik, yaitu kemampuan untuk bisa menghargai, menghayati dan menikmati kesenian Kedua, Agar dapat memanfaatkan pengalamannya untuk berkomunikasi secara kreatif melalui kegiatan berkarya seni. Mereka diharapkan menjadi kreator atau seniman kreatif.
Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:
Pertama: Kemungkinan sekolah dapat melaksanakan kedua tujuan tersebut---tersedianya pembina kesenian yang berkualitas;
Kedua: Kalau point pertama itu tak tercapai, maka tujuan yang tersirat dapat dipecah menjadi: a). Sepanjang yang berhubungan dengan pembentukan apresiasi adalah tugas guru kesenian di sekolah dengan memberikan sentuhan-sentuhan akademik, yaitu yang bersifat latar belakang teoretik; b). Sepanjang yang berkenaan dengan usaha “pembentukan” kreator kita mempercayakan pada sanggar-sanggar dengan pelajaran ekstra kurikuler tersebut. Di sana mereka akan berkenalan dengan sentuhan-sentuhan emosional lebih jauh berupa eksperimentasi, pengolahan dan latihan-lathan serta ceramah-ceramah yang bersifat teknis kesenian. Dengan sendirinya seniman (luar) yang akan memimpin sanggar tersebut haruslah sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang kita sebutkan di atas.

DALAM dunia teater terdapat apa yang disebut etika teater yang harus dipraktikkan oleh orang-orang teater. Di sana juga tersirat tujuan seni teater, antara lain: dedikasi dan kecintaan pada seni teater; rendah hati; mementingkan kerja kolektif yaitu sifat kolegial, saling menghargai, berdisiplin, mendahulukan kepentingan bersama; kesetiaan pada penulis, kepada sesama orang teater dan kepada penonton; bertanggung jawab dalam arti, kalau telah diberi peran maka ia harus menunaikan peran tersebut dengan sebaik-baiknya.
Selain itu para pelajar SLTP/SMA (sekarang!) sudah saatnya menyimak pengalaman-pengalaman dan kebenaran lewat karya-karya sastrawi, termasuk dan terutama lewat seni teater. Mereka juga akan berjumpa dengan nilai-nilai sastrawi yang ada di dalamnya dan yang terpenting kebenaran sastrawi itu. Kebenaran sastrawi biasanya jauh lebih meyakinkan ketimbang hasil riset ilmiah. Dikatakan, kebenaran ilmiah selalu bersifat relatif, subyektif dan sementara. Oleh sebab itu pekerja teater harus selalu mempertanyakan setiap kebenaran. (Bandingkan novel Kremil karya Suparto Brata dan Dolly hasil riset/skripsi Tjahjo Purnomo. Settingnya sama, yaitu dunia pelacuran. Tetapi Kremil jauh lebih meyakinkan ketimbang Dolly yang terasa kering dan kaku, tak punya nuansa human interest.
Teater telah menjadi sebuah ilmu, kata Putu Wijaya pada pengantar buku Menyentuh Teater. Sebagai ilmu ia dipelajari, diajarkan, dianalisa, sementara teater itu sendiri terus berkembang, bertumbuh, serta berubah dengan segala bentuk pengekspresian dan konsep-konsepnya sehingga ilmu teater juga terus mengucur.
Nah, Nani Yuliana dan Fauzi Salim berhentilah mengeluh dan bersedih kalau di sekolah kalian seni teater itu masih belepotan dengan seribu satu masalah. Memang masih banyak masalah yang harus kita benahi. Oke?


Japan Raya, September 2004.
Max Arifin, pengamat teater tinggal
Di Mojokerto.

No comments: