Wednesday, October 31, 2007

Pariwisata di Trowulan suatu keniscayaan

PARIWISATA
DI TROWULAN.
SUATU KENISCAYAAN.
Oleh: Max Arifin.
(I).
Banyak orang dan banyak kalangan mengatakan, bahwa daerah Trowulan ini merupakan daerah yang potensial untuk membangun pariwisata.
Benarkah?
Saya belum tahu, apakah pihak-pihak terkait di sini telah mengadakan atau melakukan identifikasi masalah untuk bisa mengatakan bahwa daerah ini adalah potensial. Kita jangan terlalu silau dengan nama besar Majapahit. Secara fisik Majapahit meninggalkan beberapa candi yang tidak begitu monumental
Saya pernah menulis dalam tabloit Majatama yang diterbitkan oleh Pemkab Mojokerto, edisi no. 52 tahun 2003. Waktu itu saya mendengar ada gagasan yang ingin membangun desa Majapahit, sebuah gagasan yang inspiratif dan imajinatif. Secara fisik barangkali desa seperti itu tidak begitu sulit dibangun, tetapi yang jauh lebih penting, adalah, bahwa di sana tergambar adanya sebuah budaya. Sebuah budaya yang usianya tujuh ratus tahun, yang telah mampu menjadi kekuatan pendorong ditambah dengan ambisi imajinatif seorang mahapatih: menjamah hampir seluruh nusantara. Sebuah budaya yang mampu mengantarkan adanya “sphere of influence”, area di mana sebuah negara mengklaim memiliki hak-hak tertentu atau diakui memiliki hak seperti itu. Juga di sana harus terasa adanya semacam aura---yang menurut Walter Benjamin---memiliki asal-usulnya pada cultic ritual---pada ritual-ritual yang bersifat pemujaan.
Itulah hal-hal abstrak yang tentu sulit untuk diwujudkan, untuk tidak dikatakan sebagai sesuatu yang mustahil. Memang ada yang mengatakan, dapat saja hal-hal itu dinyatakan lewat simbol-simbol, lambang-lambang, pataka-pataka, kitab-kitab suci, dan lain-lain, tetapi persoalannya adalah: mampukah benda-benda itu “memancarkan” aura yang dimaksud. Dalam hal ini kita berbicara dalam dimensi-dimensi waktu, jarak waktu yang tentu saja memperlihatkan kesenjangan psikoloigis yang begitu mengangah.
(II).
Atau, bagi mereka yang memiliki buku Kalangwan yang ditulis oleh Prof. P.J.Zoetmulder, dapat saja mereka menyimak secara spiritual apa yang ditulis di sana. Karena dengan membaca buku ini seakan-akan kita mendengar gema suara leluhur kita dan suara-suara itu datang pada kita dari suatu sumber terdalam kebudayaan tanah air kita. Pentingnya karya ini terutama bagi mereka yang mencoba meletakkan suatu konfrontasi antara kepercayaan dan pengalaman hidup generasi-generasi terdahulu dengan pengalaman-pengalaman dan prasangka-prasangka kita pada masa kini---ya, katakan saja bagi mereka yang mencoba membangun daerah ini menjadi daerah pariwisata. Pada karya besar seperti Kalangwan ini terdapat suatu kekuatan, yaitu efeknya yang katalistik: ia mencoba membuka pintu bagi kita dan menghidupkan mesin kewaspadaan dalam diri kita. Di sana terdapat ceritera tentang kemenangan kemanusiaan atas kekuatan buta sang takdir; suara-suara itu seperti tersembul ke luar dari suatu kesepian yang menyesakkan, mencoba menguak mengatasi batas-batas tanah airnya, batas-batas waktu dan batas nasib yang ditentukan pada mereka.
“Penggali-penggali” potensi pariwisata daerah ini haruslah mampu “membaca dan menyimak” suara-suara tersebut dan kemudian mencoba memvisualisasikannya.
Mampukah?
(III).
Membangun pariwisata, haruslah dengan perencanaan yang matang. Bersentuhan dengan dunia pariwisata sebagai suatu usaha, maka kita harus menyadari adanya dua kutub yang seakan-akan terus-menerus mencoba saling menaklukkan: kecenderungan manusia dunia ketiga untuk tidak mau ketinggalan dalam nmenyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, karena dunia ini sendiri (seperti dikatakan oleh Arthur Koestler) bergerak ke arah sebuah kebudayaan yang uniform, mechanized and stereotyped---suatu kebudayaan massa yang menghentak kita sebagai suatu “form of mass suicide”. Kutub yang lain (kesadaran yang harus ada dalam otak pengelola atau penggiat pariwisata dan mempertahankannya) dengan password: exotica. Ke dalam kata ini terkandung makna asli, aneh, asing, tidak biasa. Paul Fussel---seorang petualang Amerika---mengatakan, bahwa dalam setiap travel, perjalanan atau bepergian, terselubung makna pencarian sesuatu yang anomaly, sesuatu yang tidak biasa, dalam beberapa hal berbeda dari apa yang normal.
Barangkali apa yang saya katakan itu kurang tepat, tetapi cobalah kita simak bersama ucapan seorang pengeliling dunia Pico Iyer dalam bukunya Video Night in Kathmandu (Black Swan Book, London, l989: 40): tentang Bali sebagai “the Elysian isle famous for its other-worldly exoticism, its cultural integrity, its natural grace”---pulau surgawi yang terkenal akan eksotisme-dunia-yang-lain, integritas kebudayaan dan keanggunannya yang alami.
Semua itu terkait dalam apa yang disebut tourism-psychology.
(IV).
Namun demikian, kita tidak boleh terlalu silau dengan dunia pariwisata dengan keberhasilan-keberhasilannya di daerah lain yang telah mampu memberi sumbangan pendapatan pada daerah yang bersangkutan.
Bukunya yang saya sebut di atas---Video Night in Kathmandu---selain sebagai buku yang menguraikan “exotica” dunia yang ia lalui, tetapi juga dengan baik meneliti “what kind of resistence” yang telah muncul dalam menghadapi kekuatan-kekuatan kolonial Coca-Cola dan “what kind of counter-strategies were planned”, kita melihat bagaimana Bali mempertahankan dirinya.
Turisme merupakan serdadu-serdadu pejalan kaki terhadap invasi-invasi baru: para turis, dalam suatu pengertian, adalah ekspansionisme lewat teroris-teroris kebudayaan. Dan Jean-Paul Sartre menyebutnya sebagai “ the cool invaders”---penyerbut-penyerbu berdarah dingin. Begitu paradise,surga itu menggoda, merayu para wisatawan, maka secepat itu pula wisatawan itu akan memperkosa dan mengurangi keanggunan surga (pariwisata) itu..
Mungkin kita tidak atau kurang atau pura-pura tidak memahami berlakunya hukum itu. Untuk berlaku seperti itu, berarti kita telah mengaburkan atau tidak mengindahkan adanya suatu asimetri besar yang menguasai setiap perjumpaan antara turis dan lokal: wisatawan berada di sana karena pilihannya sendiri dan (penduduk) lokal memang berada di sana, terikat oleh takdir di tempatnya. Wisatawan melakukan perjalanan dalam semangat kesenangan, petualangan dan romans, sementara penduduk lokal berkubang dalam lumpur usaha untuk tetap bisa hidup. Wisatawan sering diterima oleh pemerintah, menikmati imunitas diplomatik (walau tidak resmi), diberikan tetesan-tetesan otoritas tanpa rasa tanggung-jawab apapun, sementara penduduk lokal di sana menancapkan harapan-harapan mereka pada setiap transaksi-transaksi yang mungkin diadakan. Pico bilang: “Every foreigner is a messenger from a world of dreams”---setiap orang asing adalah pembawa pesan dari suatu dunia mimpi”.
(V).
Bagaimana peta pariwisata Jawa Timur sendiri?
Saya pernah diundang ke Seminar Pendekatakan Kebudayaan dalam Pembangunan di Jawa Timur, di Jember pada bulan Juli 2003. Di sana, I Nyoman Naya Sujana---dosen Universitas Airlangga---mengatakan, bahwa pariwisata dianggap belum begitu signifikan terhadap peningkatan PAD. Hal ini didasarkan pada Propeda dan Renstra Propinsi Jawa Timur 2000-2005. Karena itu pula pariwisata Jawa Timur belum menjadi suatu “industri rakyat”. Dan Festival Budaya Majapahit yang digelar di Trowulan, Mojokerto tahun 2000 dapat dikatakan sebagai festival yang gagal . Wisatawan yang datang sangat terbatas. Ini merupakan evaluasi yang membuat kita harus mawas diri.
Pariwisata yang kita kembangkan di Mojokerto adalah (industri) pariwisata budaya dan sekaligus memakai pendekatan kebudayaan dalam pelaksanaannya. Prinsip-prinsipnya antara lain:
1. Kata kebudayaan di sini hendaklah diterjemahkan menjadi kebudayaan lokal, yaitu kebudayaan yang dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat lokal.
2. Kebudayaan sebagai basis pengembangan industri pariwisata sehingga nilai-nilai industri yang meluncur di masyarakat lokal tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma budaya lokal.
3. Pariwisata haruslah memiliki semangat atau ruh dari budaya masyarakat setempat dan mengandung nilai-nilai kultural yang positif. Di sana terdapat norma-norma dan nilai-nilai untuk mewujudkan suatu peradaban manusia yang lebih baik.
4. Kita harus memahami realitas pembangunan pariwisata dengan landasan pengertian budaya, dengan “paradigma budaya”.
5. Pembangunan pariwisata di Mojokerto haruslah berdasarkan kebudayaan
Mojokerto (=Jatim) dan menjadi dasar segala aktivitas pembangunan pariwisata.
6. Masyarakat harus mampu mengendalikan “prilaku industri pariwisata”
sesuai dengan nilai dan norma budaya masyarakat sendiri.
7. Pariwisata dewasa ini telah dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi, adalah
kegiatan negara atau rakyat yang mempunyai tujuan memperoleh keuntungan. Oleh sebab itu ia harus dikelola secara ekonomi dengan mengedepankan hukum-hukum ekonomi.
(VI).
Kalau kita bicara tentang pariwisata, maka kita membayangkan adanya modal besar, restoran besar dan kehidupan sosial yang materialistic. Hal itu tidak seluruhnya benar dan kurang tepat. Untuk membangun sarana dan prasarana pariwisata---hotel, tempat rekreasi, jalan dan tempat hiburan besar---memang membutuhkan modal yang sangat besar dan ini berarti perlu investor besar. Tetapi kita harus mampu memobilisasi potensi dan kekuatan lokal dalam pengembangan daerah-daerah tujuan wisata yang berstandar nasional dan internasional.
Tugas dalam era otonomi daerah haruslah mengembangkan konsep (industri) pariwisata lokal: mengembangkan potensi dan daya masyarakat lokal sebagai pilar pengembangan pariwisata. Umpama, rumah penginapan tidak perlu besar-besar, cukup hanya satu atau dua kamar dengan kualitas yang standar. Begitu pula rumah-rumah adat yang dikelola oleh masyarakat lokal; berbagai jenis tanaman dan lain-lain.
Setelah masyarakat lokal memiliki konsep pembangunan industri pariwisata rakyat, maka masyarakat haruslah memiliki kemampuan-kemampuan tertentu. Antara lain, yang terpenting, melakukan koordinasi lintas sektoral dalam masyarakat lokal sehingga semua kepentingan kelompok sosial dapat disertakan. Hal ini kita dasarkan pada teori Pierre Bourdieu tentang “the field of cultural production”. Bourdieu menekankan, bahwa karya budaya ditemukan pada sejarah dan struktur medan budaya di mana karya itu ada---dengan keseluruhan komponen yang membentuknya dan juga di dalam hubungan medan budaya dengan medan kekuasaan.
Juga dalam soal-soal keamanan dan ketertiban; sikap sosial masyarakat yang terbuka, ramah dan penuh komunikatif; perlu pelatihan petugas wisata; produk-produk wisata dan cendera mata, peta wisata, akomodasi yang standar; membangun pengertian dan kesadaran hidup bersama antar ras dan suku; mendorong warga masyarakat untuk membangun mitra kerja denagn siapa saja yang menjadi wisman dan sebagainya. Di sinilah arti kolaboratif dalam mengelola dunia pariwisata. Membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak terkait dan jaringan kerja (net working) yang luas.
Pandangan-pandangan yang miring dan sinis (konservatif) terhadap pembangunan industri pariwisata yang tentu masih ada di daerah ini perlu dibenahi, antara lain yang memandang pariwisata sebagai industri maksiat. Hal ini bisa dicapai lewat sosialisasi dunia pariwisata itu. Sosialisasi penting dalam hal ini.
(VII)
Setelah semuanya terbenahi, maka barulah Pemda setempat berpikir tentang PAD.
Terima kasih.
Japan Raya, 5 Juli 2004.
Max Arifin.

1 comment:

mrhery123 said...

We don’t work with companies only interested in buzz words. We want clients who are devoted to their customers. Clients that can’t sleep at night because the energy for what they do pumps furiously through their veins. We want clients who are as hungry for success as we are.
Katalistik