DESA MAJAPAHIT
Oleh Max Arifin
SEBUAH desa Majapahit kabarnya direncanakan akan dibangun di Trowulan. Penggagas dan pelaksananya tentulah orang-orang yang mempunyai gagasan yang visioner dan imajinatif. Hasil kerja mereka (nanti) bukan cuma secara fisik cukup memadai, tetapi yang jauh lebih penting adalah bahwa di
Sebuah budaya yang mampu mengantarkan adanya “sphere of influence”, area dimana sebuah negara mengklaim memiliki hak-hak tertentu atau diakui memiliki hak seperti itu. Juga disana terasa adanya semacam aura yang menurut Walter Benjamin memiliki asal-usulnya pada cultic ritual, pada ritual-ritual yang bersifat pemujaan. Itulah hal-hal abstrak yang tentu saja sulit diwujudkan, untuk tidak dikatakan sebagai sesuatu yang mustahil. Memang ada yang mengatakan, dapat saja hal-hal itu dinyatakan lewat simbol-simbol, lambang-lambang, pataka-pataka, kitab-kitab suci, dan lain-lain, tetapi persoalannya adalah: mampukah benda-benda itu “memancarkan” aura yang dimaksud.
Sebuah ilustrasi kita kutip dari kakawin Hariwangsa yang termuat dalam buku Kalangwan, karya monumental Prof. P.J. Zoetmulder, sebuah buku yang jarang dibicarakan sekarang (Djambatan,
Situasi seperti itulah yang harus ada dalam diri para penggagas dan pelaksana rencana tersebut. Pada karya besar seperti Kalangwan ini terdapat suatu kekuatan, yaitu efeknya yang katalistik: ia membuka pintu bagi kita dan menghidupkan mesin kewaspadaan dalam diri kita. Di sana terdapat ceritera tentang kemenangan kemanusiaan atas kekuatan buta sang takdir, suara-suara itu seperti tersembul keluar dari suatu kesepian yang menyesakkan, mencoba menguak mengatasi batas-batas tanah airnya, batas-batas waktu dan batas nasib yang ditentukan pada mereka.
Saat-saat yang sering disebut dalam kakawin ialah sore dan senja, malam yang disinari rembulan dan menjelang fajar. Sesudah pukul tujuh sore udara sudah mulai sejuk. Dalam Hariwangsa tertulis indah: semua suara mulai lenyap dan alam raya merasa bimbang, takut karena malam yang akan datang menjelma.
Bunga padma yang pada pagi hari mekar, menutup daun-daunnya agar tepung sarinya terlindung dengan baik, sambil menyediakan tempat tidur bagi kumbang-kumbang. Awan-awan gelap berputar-putar bersama gemuruhnya
Pada malam purnama para wanita dan gadis-gadis genit luwes dari kratobon bercengkerama dibawah sinar bulan purnama.
Mereka menyanyi, menari dan menabuh gamelan, berkelompok untuk tukar menukar rahasia, berbisik-bisik atau duduk sendiri-sendiri merindukan kekasih.
Membaca Kalangwan membuat kita merindukna sesuatu: kedamaina, ketenangan alam, perasaan satu dengan alam, tidak saling mengusik (apalagi menjadi musuh alam). Alam begitu tampak, nyata, mewujud dan terasa benar bagi manusia. Dan indah !
Itu sekedar ilustrasi dari suatu sudut, entah dimana itu, sebuah desa di Majapahit, tujuh ratus tahun yang lalu, yang coba kita “ciptakan” dalam jaman modern ini, Sesuatu yang fantastik dan rasanya sulit dijangkau di sebuah desa (Trowulan) dengan poros jalan Surabaya-Yogyakarta, jalan sempit berdebu namun jalan ini tidak pernah tidur, bergemuruh selalu.
Malam-malam memang membuat fantasi kita melayang ke
Kita memang diminta untuk terus bercermin pada hasil budi pendahulu-pendahulu kita. Dan itu berarti semua seniman yang ada dalam buku Kalangwan telah mampu mengatasi takdirnya !
Desa Majapahit? Kenapa tidak!
Japan Raya, awal Nopember
Max Arifin
(Pernah dimuat di Warta Majatama, Dinas Infokom Kabupaten Mojokerto edisi 52 Tahun 2003)
Keterangan gambar:
Poster Achmady, Bupati Mojokerto saat ini, dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur dengan mengusung slogan “Lurahe Majapahit”.
No comments:
Post a Comment