Monday, November 05, 2007

Desa Majapahit


DESA MAJAPAHIT

Oleh Max Arifin

SEBUAH desa Majapahit kabarnya direncanakan akan dibangun di Trowulan. Penggagas dan pelaksananya tentulah orang-orang yang mempunyai gagasan yang visioner dan imajinatif. Hasil kerja mereka (nanti) bukan cuma secara fisik cukup memadai, tetapi yang jauh lebih penting adalah bahwa di sana tergambar adanya sebuah budaya. Sebuah budaya yang usianya tujuh ratus tahun, yang telah mampu menjadi kekuatan pendorong ditambah dengan ambisi imajinatif seorang mahaatih: menjamah hampir seluruh nusantara.

Sebuah budaya yang mampu mengantarkan adanya “sphere of influence”, area dimana sebuah negara mengklaim memiliki hak-hak tertentu atau diakui memiliki hak seperti itu. Juga disana terasa adanya semacam aura yang menurut Walter Benjamin memiliki asal-usulnya pada cultic ritual, pada ritual-ritual yang bersifat pemujaan. Itulah hal-hal abstrak yang tentu saja sulit diwujudkan, untuk tidak dikatakan sebagai sesuatu yang mustahil. Memang ada yang mengatakan, dapat saja hal-hal itu dinyatakan lewat simbol-simbol, lambang-lambang, pataka-pataka, kitab-kitab suci, dan lain-lain, tetapi persoalannya adalah: mampukah benda-benda itu “memancarkan” aura yang dimaksud.

Sebuah ilustrasi kita kutip dari kakawin Hariwangsa yang termuat dalam buku Kalangwan, karya monumental Prof. P.J. Zoetmulder, sebuah buku yang jarang dibicarakan sekarang (Djambatan, Jakarta, dengan tebal 648 halaman). Membaca buku ini seakan-akan kita mendengarkan gema suara leluhur kita dan suara-suara itu datang pada kita dari suatu sumber terdalam kebudayaan tanah air kita. Karya ini menarik terutama bagi mereka yang mencoba meletakkan suatu konfrontasi antara kepercayaan dan pengalaman hidup generasi-generasi terdahulu dengan pengalaman-pengalaman dan prasangka-prasangka kita pada masa kini.

Situasi seperti itulah yang harus ada dalam diri para penggagas dan pelaksana rencana tersebut. Pada karya besar seperti Kalangwan ini terdapat suatu kekuatan, yaitu efeknya yang katalistik: ia membuka pintu bagi kita dan menghidupkan mesin kewaspadaan dalam diri kita. Di sana terdapat ceritera tentang kemenangan kemanusiaan atas kekuatan buta sang takdir, suara-suara itu seperti tersembul keluar dari suatu kesepian yang menyesakkan, mencoba menguak mengatasi batas-batas tanah airnya, batas-batas waktu dan batas nasib yang ditentukan pada mereka.

Saat-saat yang sering disebut dalam kakawin ialah sore dan senja, malam yang disinari rembulan dan menjelang fajar. Sesudah pukul tujuh sore udara sudah mulai sejuk. Dalam Hariwangsa tertulis indah: semua suara mulai lenyap dan alam raya merasa bimbang, takut karena malam yang akan datang menjelma.

Bunga padma yang pada pagi hari mekar, menutup daun-daunnya agar tepung sarinya terlindung dengan baik, sambil menyediakan tempat tidur bagi kumbang-kumbang. Awan-awan gelap berputar-putar bersama gemuruhnya guntur memperingatkan manusia akan bahaya yang mungkin mengancam, supaya ia berjaga-jaga. Tetapi segalanya lenyap, rasa bimbang menghapuskan diri tatkala rembulan terbit dan mengusir kegelapan.

Pada malam purnama para wanita dan gadis-gadis genit luwes dari kratobon bercengkerama dibawah sinar bulan purnama.

Mereka menyanyi, menari dan menabuh gamelan, berkelompok untuk tukar menukar rahasia, berbisik-bisik atau duduk sendiri-sendiri merindukan kekasih.

Membaca Kalangwan membuat kita merindukna sesuatu: kedamaina, ketenangan alam, perasaan satu dengan alam, tidak saling mengusik (apalagi menjadi musuh alam). Alam begitu tampak, nyata, mewujud dan terasa benar bagi manusia. Dan indah !

Itu sekedar ilustrasi dari suatu sudut, entah dimana itu, sebuah desa di Majapahit, tujuh ratus tahun yang lalu, yang coba kita “ciptakan” dalam jaman modern ini, Sesuatu yang fantastik dan rasanya sulit dijangkau di sebuah desa (Trowulan) dengan poros jalan Surabaya-Yogyakarta, jalan sempit berdebu namun jalan ini tidak pernah tidur, bergemuruh selalu.

Malam-malam memang membuat fantasi kita melayang ke sana. Apa kira-kira yang terjadi pada malam seperti itu tujuh ratus tahun yang lalu di Candi Tikus, di Candi Bajang Ratu, Candi Kedaton, Candi Brahu, Candi Gentong (yang kini sedang dipugar), Gapura Wringin Lawang, di Candi Siti Hinggil. Atau, apakah para putri sedang berenang dan berendam di Kolam Segaran? Atau apakah terdengar suara sang kawi Prapanca mengutip dan membaca potongan-potongan Negarakertagama yang terkenal itu, dengan suara yang penuh dan berat berwibawa dan kemungkinan kita dissolve ke seorang anak muda modern dengan celana jins dan kaos hitam, berdiri di pelataran Candi Brahu sambil menggenggam lembaran-lembaran Negarakertagama yang telah disunting. Atau mungkin kita membayangkan, di suatu sudut Desa Majapahit Mahapatih Gajahmada sedang berunding dengan salah seorang palnglima perangnya yang bernama Empunala. Mengatur siasat dan taktik bagaimana menundukkan Bali, Lombok, Dompu. Dan bayangan kita menjejak pada masa kekinian dan menemukan besarnya pengarauh tata budaya Majapahit sampai sekarang di Lombok. Dan orang-orang Lombok mengklaim bahwa Empu Nala meninggal di Lombok dan kuburannya dapat ditemukan sampai sekarang di atas sebuah bukit kecil di luar Desa Sembalun, di kaki Gunung Rinjani yang berudara dingin.

Kita memang diminta untuk terus bercermin pada hasil budi pendahulu-pendahulu kita. Dan itu berarti semua seniman yang ada dalam buku Kalangwan telah mampu mengatasi takdirnya !

Desa Majapahit? Kenapa tidak!

Japan Raya, awal Nopember

Max Arifin

(Pernah dimuat di Warta Majatama, Dinas Infokom Kabupaten Mojokerto edisi 52 Tahun 2003)

Keterangan gambar:

Poster Achmady, Bupati Mojokerto saat ini, dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur dengan mengusung slogan “Lurahe Majapahit”.

No comments: