Sunday, November 18, 2007

Cupak Tanah: Spirit Tradisi dan Semangat Modern

Cupak Tanah: Spirit Tradisi dan Semangat Modern

Senin, 12 Nopember 2007 pukul 19.00 WIB. Bau dupa mulai tercium begitu memasuki Gedung Gelangang Mahasiswa IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Setting panggung sangat sederhana. Tampak level setinggi dua meter dan bambu berbentuk segitiga dibalut kain kotak hitam putih. Tata lampu sederhana.

Pukul 19.30 WIB, penonton mulai memasuki ruang pertunjukan. Sekitar 200 penonton memenuhi gedung Gema meskipun tidak semuanya membeli tiket seharga tiga ribu rupiah. Mereka berasal dari Pasuruan, Malang, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan tentu saja Surabaya. Banyaknya penonton (khususnya luar kota) merupakan kerja yang patut diacungi jempol dari Luhur Kayungga dkk dari Lintas Masyarakat Teater Jawa Timur. Suasana gedung cukup panas, hanya ada beberapa kipas angin, sedangkan pendingin udara tidak tersedia.

Pukul 20.15 WIB Lampu padam dan pementasan Cupak Tanah Produksi Sanggar Kampoeng Seni Banyoening, Singaraja, Bali, dimulai. Sembilan pemain—dua di antaranya perempuan—muncul membawa daun pisang menutup wajah mereka. Seluruhnya memakai kostum kotak-kotak hitam putih khas Bali. Mereka bergerak di panggung sambil menumpahkan air. Tanah di atas panggung menjadi becek. Penonton hanya berjarak satu meter dengan pemain. Separuh penonton berdiri di belakang. Mereka terlihat antusias mengikuti pementasan. Salah seorang pemain membacakan riwayat Cupak.

Lampu padam karena korsleting. Pementasan berjalan terus. Lampu neon gedung dinyalakan. Di sini terlihat kekuatan pemain Cupak Tanah sebagai seniman tradisi. Terlatih spontanitas.

Cupak (Nengah Wijana) tengah tiduran dengan kaki bersilang di atas level. Sembilan pemain berjejer di sekeliling Cupak. Mereka berusaha membangunkan Cupak yang sedang terlelap. Cupak bangun dengan perlahan. Mereka mulai berdialog tentang rakyat yang sudah mulai habis memiliki tanah tempat mereka hidup. Mengingatkan penonton pada tragedi lumpur Lapindo yang tak begitu jauh dari kampus IAIN Surabaya.

Humor seringkali hadir di atas pentas membalut narasi yang sarat kritik. Sehingga pementasan tidak terlalu membuat kening kita berkerut. Humor muncul dalam bentuk teks maupun bahasa tubuh. Pementasan malam itu seakan mengingatkan akan kebiasaan pemimpin di negeri kita yang mudah lupa—lupa pada tragedi lumpur Lapindo, hutan tropis Kalimantan yang mulai habis, tambang emas Freeportyang tak juga membuat masyarakat Papua sejahtera. Malam itu Milan Kundera seakan hadir menyampaikan pesan bahwa, “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.”

Mereka memasukkan isu-isu lokal agar pementasan malam itu lebih mengena pada penonton misalnya soal pemilihan Gubernur Jatim yang memang mulai menghangat, namun tak semuanya tepat seperti ungkapan, “Harga tanah paling mahal adalah tanah Balaikota di Jalan Pahlawan”. Letak Balaikota Surabaya di dekat Jalan Walikota Mustajab, sementara di jalan Pahlawan adalah kantor Gubernur Jawa Timur.

Deddy Obeng salah satu penonton memberikan komentar bahwa pementasan Cupak Tanah menarik dari sisi vitalitas dan eksplorasi bahasa tubuh, juga spontantitas pemain misalnya ketika lampu padam, terjatuh karena tanah becek di panggung.

Secara pribadi saya tertarik dengan pementasan Cupak Tanah karena Kampoeng Seni Banyoening memadukan spirit tradisi (mengingatkan pada pementasan ludruk Karya Budaya di Mojokerto) dengan semangat modern lewat sosok Putu Satria Kusuma. Dalam diskusi seusai pentas, Putu Satria Kusuma mengaku telah membaca literatur Teater Miskin (Grotowski), Teater Realis (Stanislavsky).

Tepat pukul 21.15 wib pementasan berakhir.

**

Diskusi dimulai pukul 21.25 wib dengan narasumber Drs Hardiman, M.Si (Dosen Seni Rupa Universitas Pendidikan Singaraja(Undiksha), Kurniasih Zaitun, S.Sn (dosen teater STSI Padangpanjang), Putu Satria Kusuma (sutradara Cupak Tanah), moderator Anwar Sobary (Teater Pancar).

Suasana diskusi berjalan serius namun santai diikuti sekitar 100 peserta. Sebagian besar pertanyaan berkutat pada istilah teater tradisi dan modern. Hardiman menjelaskan perkembangan teater di Bali dan posisi Kampoeng Seni Banyoening (nama ini diberikan oleh penyair Umbu Landu Paranggi) sebagai sebuah kampung seni. Dalam bagian lainHardiman menjelaskan sosok Putu Satria Kusuma sebagai warga Kampoeng Seni Banyoening namun terpengaruh juga dengan kehidupan teater di luar kampung seni. Kurniasih Zaitun merasa terkesan dengan penampilan Cupak Tanah di mana spirit tradisi begitu kental. Putu Satria Kusuma menjelaskan pemilihan bentuk setting yang berbeda dari dua tempat sebelumnya—Celah celah langit (Bandung) dan ISI (Yogyakarta). Sebagai penutup Halim HD menjelaskan ada baiknya peserta diskusi tidak terlalu mempersoalkan istilah tradisi dan modern tetapi lebih melihat pada vitalitas tubuh aktor dan tema yang diusung malam itu bahwa tanah bukan hanya persoalan tempat tinggal tetapi hidup mati. Diskusi berakhir pukul 22.30 wib.

Banyaknya penonton malam itu semoga menunjukan indikasi segmentasi penonton seni di Surabaya sudah mulai terbentuk mengingat pada saat yang sama Taman Budaya Jatim sedang menyelenggarakan Festival Cak Durasim.

Selamat dan sukses untuk pementasan Cupak Tanah Sanggar Kampoeng Seni Banyoening. (Abdul Malik)

Dimuat di www.kelolaarts.or.id

No comments: